webnovel

Menuju Kebenaran – 6

Kami bergegas pulang ke rumah Evergreen dan menghubungi dokter Youngfeather. Butuh waktu beberapa jam menunggunya sementara aku duduk di luar dengan gelisah. Evergreen tampak dengan senang hati mengizinkan kami menginap di rumahnya.

Evergreen duduk di samping sambil menepuk bahuku. "Ia akan baik-baik saja."

Aku yang telanjur takut, beringsut memeluk Gill yang duduk di sampingku sambil terisak.

Michelle hanya mengelus bahuku tanpa bisa berbuat banyak.

"Tidak apa, Nak." Evergreen berbisik dengan lembut disertai belaian. "Semua akan baik-baik saja. Aku janji."

"Ada apa tadi?" tanya Michelle. "Dimana Nemesis?"

"Vampir itu menghilang," jelas Evergreen. "Begitulah kata Monsieur Perrier."

"Bagaimana bisa?" heran Michelle. "Dia tidak akan hilang secepat itu!"

"Tahan dulu, Putri!" balas Evergreen. "Biar kami yang cari untukmu. Asal kautahu, aku punya banyak anak buah. Sayang, Lucius berkhianat tanpa alasan yang jelas."

Aku makin penasaran dengan Lucius. Dari tampangnya, vampir itu seharusnya tidak tertarik untuk membunuh seseorang, apalagi jika jasadnya dimanfaatkan entah untuk apa. Atau ...

"Kalian tinggal saja di rumahku untuk saat ini," kata Evergreen. "Aku ingin melindungi kalian. Firasatku buruk."

Kulirik Gill, wajahnya tersirat keraguan. Namun, memilih diam seakan setuju.

Aku tidak tahu harus percaya atau tidak. Pancaran dari kalung tidak membantu. Kugenggam buah kalungnya, terasa hangat meski dalam hati terasa ada lubang kosong.

Benarkah? Hanya itu yang kupikirkan.

Aku saat itu tidak tahu harus berbuat apa. Hanya bisa mengandalkan Evergreen, satu-satunya Guardian yang ada selain Gill. Ia masih mendekapku, berusaha menenangkan.

Akhirnya, aku terlelap di dekapan Gill.

***

"Akan kubawa ia."

Ucapan Dokter Youngfeather lantas menguatkan teoriku. Begitu bangun, sudah disuguhi wajah dinginnya. Aku hendak beranjak dari kasur, namun ditahan Evergreen.

"Kenapa?" tanya Evergreen. "Ia tidak aman bila dibawa ke tempat lain. Hanya tempatku bagi kalian berlindung. Kini, sedang mewabah vampir dan bertambah parah dua hari kemarin."

Dokter Youngfeather menghela napas. "Monsieur, jika di sini terus, aku cemas ia tidak akan bertahan lama."

"Kalau begitu, bawakan peralatannya!" Evergreen menatapnya tajam. "Akan kubayar."

Dokter jelas keberatan. "Tapi ... "

Evergreen memamerkan cakarnya yang lantas membungkam mulut Dokter. Aku tahu, ia pasti punya niat lain selain membawa kami menjauh dari Evergreen.

Dokter bergegas pergi. Melihatnya, aku jadi semakin cemas. Belaian Evergreen tidak menenangkanku. Aku perlu tahu kondisi Arsene!

"Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?" protesku.

Evergreen menghela napas. "Kalau ke sana, bakal banyak vampir menyerang. Dokter punya pelindung sementara Monsieur Perrier tidak."

Aku terdiam, tidak tahu harus balas apa lagi. Lalu, terbesit di benakku yang langsung kuucapkan. "Boleh jenguk Arsene? Aku tidak akan mengganggu."

"Ayo!"

Tidak kusangka, aku malah diizinkan masuk. Evergreen menggandengku menuju kamar di ujung kiri. Aku heran, ada berapa kamar di rumahnya? Apa lebih dari rumah Gill?

Perlahan, ia bukakan pintu. Begitu pelan hingga hampir tidak terdengar suara.

Kamar begitu gelap namun masih bisa melihat bayangan Arsene yang berbaring di kasur.

Evergreen menyalakan lampu remang sehingga tidak mengganggu tidurnya. Arsene tengah dikompres sementara wajahnya kian pucat.

Aku terdiam. Niatku hendak menjaganya hingga bangun. Evergreen masih menunggu meski aku sengaja mengulur waktu dengan menunduk di samping Arsene agar ia pergi.

Tak lama, Evergreen meninggalkan kami. Aku lega akhirnya bisa bersama Arsene tanpa pria itu. Sampai sekarang, aku masih skeptis meski ia telah menolong kami.

Aku berbisik, ada yang ingin kusampaikan. "Arsene?"

Arsene tidak bergerak bahkan merespons ketika kupanggil atau saat dibangunkan. Andai tidak mendengar helaan napasnya, aku sudah pasti mengira ia sudah tiada. Melihat Arsene begini karenaku, membuatku hendak lekas menghajar vampir tadi.

Aku pun terlelap di sisinya.

***

Elusan pelan mengagetkanku.

"Arsene?" bisikku.

Arsene yang mengelus rambutku. Rupanya aku terbaring di sisinya. Secara langsung juga menghangatkan badannya. Aku duduk, menatap cemas.

Ia lalu merapikan rambut kelabunya, masih dengan mata terpejam. Setelah beberapa saat hening, ia buka suara.

"Aku tahu ia berkhianat."

"Siapa?"

"Ia hendak memukulku, tapi aku berhasil lolos." Arsene melanjutkan kalimat dengan gumaman tidak jelas.

"Arsene?"

Ia bergumam lagi. Kali ini, aku tidak dapat mencerna kalimatnya.

Aku mendengarnya mengucapkan sesuatu dengan sangat pelan sehingga sulit terdengar.

Ternyata, ia hanya mengingau.

Demi menenangkannya, aku terus mengelus keningnya yang panas.

Selama beberapa menit, akhirnya ia mengucapkan sesuatu yang menyambung. Meski matanya terpejam, aku tahu ia siuman.

"Remi, kamu mungkin akan kesusahan merawatku di kemudian hari."

Aku hendak menyela. Aku tidak keberatan harus merawatnya. Fakta kalau dialah yang menyelamatkanku dari dulu, kini giliranku membalas kebaikannya, bukan?

"Apa kamu tidak malu dan letih melihatku seperti ini?"

"Tidak," jawabku polos. "Itu tidak papa."

Aku elus dahinya, jelas iba dan tidak tega meninggalkannya kendati malam masih larut.

Kenapa ia jadi ragu? Bukannya aku yang dirawat selama ini?

Arsene terdiam, menahan rasa yang dipendam selama puluhan tahun, jelas terlukis di wajahnya. Belum pernah kulihat ia masygul begini.

"Semua ini tidak hanya berlaku untukku," lanjutnya lirih. Barangkali, ia bercerita tentang orangtuanya.

"Orangtuamu juga sakit?" Aku bertanya sepelan mungkin, takut menyinggung.

Tidak terduga, ia memejamkan mata dan menyanggahnya. "Tidak. Mereka ..."

Aku mengerutkan kening, penasaran. Jelas tidak paham. Kuputuskan untuk terus mengelus dahi Arsene yang semakin panas. Berharap ia membaik.

Diam. Ia tidak melanjutkan.

Meski banyak sekali pertanyaan melayang, aku tidak mau menyakiti perasaannya dengan begitu. Terus mengelus bahkan memijat keningnya.

Hening lama. Tiada yang bersuara. Kantuk perlahan menguasai, baru hendak terpejam, terbesit dalam benakku untuk mengganti kompresnya.

"Tunggu sebentar." Aku beranjak dari kamar ke dapur.

Butuh waktu beberapa saat ke sana, walau letaknya terlalu jelas, samping ruang makan dan utama.

Kuambil sewadah air dingin dan sebuah kain lalu membawanya kembali ke kamar.

Kubuka pintu dengan pelan, mendekat lalu mengompresnya sementara ia hanya diam memandang langit-langit. Beberapa saat berlalu dengan senyap, ia kembali bersuara.

"Kamu sudah sarapan?"

Dengan pelan kubalik kompresnya. "Ini masih malam."

Ia tersenyum tipis. "Benarkah? Kukira sudah fajar."

Aku menggeleng.

Suasana hening kembali menguasai. Aku mencoba mengobrol lagi untuk menghibur.

"Arsene," panggilku.

Ia menyahut.

"Saat kecil dulu, kamu mau jadi apa?"

Arsene terkekeh pelan. "Kenapa?"

"Aku ingin tahu," balasku. "Soalnya aku bingung mau jadi apa."

Ia termenung sejenak. "Aku tidak sempat berpikir. Dahulu, aku tidak punya tujuan hidup. Tapi, sekarang aku tahu."

"Apa?"

Ia tepuk pelan pucuk kepalaku, tanpa menjawab selain senyuman.

Aku lantas tersenyum. "Arsene, boleh minta sesuatu?"

Ia tampak bingung. "Hm?"

"Aku boleh memanggilmu 'Papa?'"

Siapa tahu, nanti setelah bertemu orangtuaku, akan kuajak ia tinggal bersama kami. Maka, kami tidak akan terpisah meski sudah bertemu orangtua kandungku.

Kutatap ia yang kini terduduk. Tampak salah tingkah, terlihat sedikit senyum malu di bibir.

Setelah lama jeda, ia akhirnya menjawab. "Ya."

"Yey!" Aku lantas memeluknya.

Arsene terkekeh sambil menepuk rambutku. "Panggil aku 'Papa!'"

"Papa!"

"Kalian sudah bangun?"

Arsene refleks mempererat pelukan begitu mendengar suara asing di luar.

Terlihat Evergreen tengah tersenyum. "Ah, kamu membaik."

Arsene tidak membalas.

"Ayo, Remi, tidur. Ini sudah larut," ajak Evergreen. Ia berpaling dan membiarkan pintu terbuka lebar.

Aku lirik Arsene. "Kamu tidak tidur?"

Ia menggeleng. "Remi, ada yang ingin kusampaikan soalnya."

"Apa itu?"

"Dia ..."