webnovel

Menuju Kebenaran – 5

Aku mengenalnya. Salah satu antek-antek Evergreen.

Tangannya menjelma jadi benda tajam merah yang menusuk dahan tadi, dengan tatapan tajam. Seringainya seolah mencengkeram jantungku.

Lucius.

Ya, aku masih ingat namanya. Bukanya dia berjanji tidak akan menganggu?

Lucius menyeringai. "Ia mencarimu!"

Gill refleks menarik kami menjauh, melesat lebih tepatnya.

DUR!

Dentuman bersahutan berima di telinga. Aku sempat menoleh dan melihatnya berjuang menangkap kami. Segala rintangan dilompati Gill seperti permainan anak-anak. Hanya kami berdua yang tidak tahu harus berbuat apa sementara Gill terus menjerit entah menambah kekuatan atau memberi sinyal. Pastinya, itu jeritan jiwa yang terbelenggu oleh ketakutan nan nyata.

"Mampus aku!" serunya sambil melompati dahan demi dahan, masih kuat memegang baju kami. "Apa jadinya kalau kalian yang trauma?!"

Kami diam saja, tidak tahu harus balas apa lagi.

Aku terus mengamati Lucius. Vampir itu entah sengaja melambat atau Gill yang makin cepat. Yang jelas, kami aman dari jangkauannya untuk saat ini. Aku sedikit bersyukur dengan "bakat" Gill.

BUK!

Tak disangka, kami terjatuh menimpa tanah akibat Gill salah pijak. Ia manfaatkan tubuhnya sebagai bantalan bagi kami, hingga mengurangi nyeri.

Aku refleks berdiri dan membantunya bangun. "Gill?"

Entah efek pusing atau takut, Gill menatap kami tanpa ekspresi.

Aku menepuk pipinya. "Gill!"

Michelle mendekat dan ikut menepuk pipinya. Kasihan Gill, tampak jelas ia syok, apalagi menerima dua beban sekaligus.

Lucius berhenti tepat di depan kami. Menyeringai. "Wah! Lumayan, tiga tubuh!"

Michelle terkesiap. "Gill!"

Aku tahu apa yang bakal terjadi, kuharap.

Lucius mendesis, merapalkan mantra ke arahku. Aku hendak berdiri dan menghindar.

Dur!

Benar saja. Gill perlahan berdiri, tangan kirinya melindungiku. Meski terpotong, ujungnya terbentuk lagi dengan cepat. Ia menatap dingin Lucius yang seketika heran.

Gill menggeram. Ia serang vampir itu.

Tanah terkikis akibat gesekan kakinya, menciptakan kabut tipis antara kami. Begitu menipis, aku sedikit lega sekaligus cemas.

Guardian kami nyaris memecah kepala Lucius dengan tangannya meski tanpa cakar. Namun, ditahan sihir. Mereka berada di posisi saling cekik.

Aku meraih tanah, satu-satunya benda yang bisa dipegang, lalu menebarnya dekat mereka.

"Hei!" Lucius berhasil kulumpuhkan dengan mengotori matanya. Ia meronta sementara Gill tidak mau melepaskan. "Keparat!"

Lucius berhasil melempar Gill menjauh, beruntung pemuda itu berhasil mendarat dengan selamat. Terengah-engah dengan tatapan buas, siap menyerang lagi.

Michelle rupanya tidak menduga itulah kekuatan Gill. Dia diam sedari tadi sementara aku berusaha menghalau Lucius dengan tanah meski vampir itu kelilipan.

Lucius menggeram. "Sial! Mataku! Ish, bodoh!"

"Bukannya kamu berjanji untuk tidak menganggu?!" protesku.

Lucius hendak membuka mulut. Namun, tubuhnya terbelenggu bunga hitam.

"A ... Apa-apaan ini?!" Lucius terkesiap.

Dari kejauhan, Arsene berlutut menahan vampir itu dalam cengkeramannya. Tubuhnya bersimbah darah, entah milik siapa. Ia fokus menyegel.

"Ada apa?!" tanyaku. "Ayo! Beritahu aku–"

DUAR!

Lucius berhasil lolos menggunakan sihirnya. Meski warnanya merah, jelas termasuk Sihir Hitam dari kegunaannya sebagai kejahatan. Ia menggeram, menatap tajam Arsene.

Arsene berlutut. Ia terbatuk darah.

Aku mengernyit, jelas cemas. "Arsene!"

Lucius menyeringai. "Kutukan, ya? Malangnya."

"Hentikan!" Gill mencengkeram tangan Lucius, berhasil mengantamnya ke tanah.

Lucius merintih. Meski ukuran mereka tampak sama, kekuatan Gill jauh melampaui vampir itu.

"Apa maumu?!" geram Gill.

Lucius membalas geramannya. "Aku ingin mencari jasad untuk tiga roh baru!"

"Siapa menyuruhmu?"

Seolah tabu, Lucius menggeram dan berhasil lolos. Ia melayang di udara dengan tatapan maut. Kepalan tangan mengeluarkan cahaya merah, siap menyerang.

Lucius mengarahkannya ke Arsene.

Arsene berjuang bangkit dan berhasil menangkis serangannya.

Dum!

Dentuman keras saling bersahutan kala pertempuran antara Lucius dan Arsene berlangsung. Kami berusaha menolong dengan melempari beragam benda, terutama aku yang berusaha membutakannya.

"Jangan paksakan dirimu!" seru Lucius. "Kamu sendiri tahu jika penyakitmu tiada obatnya, 'kan?"

Arsene tidak membalas, malah berhasil melukai pipi kiri Lucius sihirnya. Darah menetes dan vampir itu malah menyeringai.

"Beraninya!" Lucius terkekeh. Ia menciptakan bola hitam raksasa di atas kepalannya sambil tersenyum bahagia.

"Awas!" Gill refleks menarikku dan Michelle ke pelukannya.

DUAR!

Arsene lagi-lagi berhasil menahan sihir lawannya dengan Sihir Hitam. Dapat kulihat darah segar menetes dari mulut, membuatku kian cemas.

"Dimana Nemesis?!" Michelle jelas heran.

Gill mempererat pelukan. "Jangan bergerak!"

Lucius menyeringai. Kekuatannya membesar selagi Arsene sedikit lengah akibat Michelle. Ia nyaris kalah kalau saja tidak fokus. Keduanya sama-sama kuat. Aku hanya terpana, berusaha membantu tapi dicegah Gill.

Whuuuussshhh ...!

Tak lama, hutan dikuasai bayangan hitam. Anehnya, kami tidak merasa takut. Gill longgarkan pelukan dan membiarkan kami mengamati sekitar selagi Arsene menahan sihir Lucius. Itu jelas kekuatannya.

Lucius terlihat semakin bersemangat sementara Arsene berjuang untuk tidak roboh.

"Gill! Bantu dia!" seruku.

Gill yang awalnya ragu, akhirnya mendekat–dan sama sepertiku–mencoba membutakan makhluk itu. Ia arahkan cakar ke wajah lawannya.

Lucius menangkis tangan Gill, meski wajahnya tergores, membuatnya lengah.

DUM!

Gill sempat menjauh sebelum vampir itu terpental. Akibat sihir Arsene, separuh hutan gempar disertai getaran tanah. Sebagian hutan terkikis bayangan mematikan.

Bruk!

Aku terdorong akibat sihir tadi sementara Gill terpelanting meski tidak terkena efek sihir.

Aku bangkit dan mengamati Arsene.

Arsene berlutut lalu muntah darah. Ia lalu batuk selama beberapa saat.

"Arsene!" Aku mendekat.

Tepat saat itulah, muncul sosok yang selama ini ditunggu.

Ia merangkul Arsene yang melemah sambil mengelus bahunya.

"Pengkhianat!" seru Evergreen ke arah Lucius yang tak berdaya di tanah.

Makhluk itu tampak hangus, yang membuatku bergidik adalah fakta dia masih bisa bergerak selama beberapa saat sebelum akhirnya diam.

Aku tidak tahu lagi.

Evergreen membaringkan Arsene ke tanah. Aku mengernyit, cemas.

Michelle menatapnya. "Evergreen, ada apa tadi?"

Evergreen menggeleng pelan. "Aku tidak tahu."

Gill mendekat dan mencoba menyadarkan Arsene dengan sia-sia. Hanya helaan napas sebagai bukti ia masih bertahan. Antara lega dan cemas, kucoba mengelus dahi Arsene. Panas sekali.

Evergreen menghela napas. "Biar kurawat."

Belum sempat membalas, ia langsung membopong Arsene. Aku berseru, meminta penjelasan. Bagaimana bisa anak buahnya menyerang tanpa alasan? Pengkhianat katanya? Apa yang terjadi?

"Mana Nemesis?" tanyaku.

Tidak ada yang menjawab.

Aku kian kesal. Kenapa tiba-tiba semua menyimpan rahasia?

Kutolehkan kepala, mencari sosok tadi yang menyerang.

Ia tersapu menjadi abu.