webnovel

Menuju Kebenaran – 11

Bayangan hitam menyelubungi kami selagi sulur itu nyaris menusuk.

Arsene terus berlari sambil mendekapku. Tangannya melindungi kepalaku, seakan memastikan agar aku tidak menoleh.

Dia berhenti di luar, di antara pintu ruang bawah tanah dan tangga. Rupanya, kami masih di lantai kedua. Sedikit lagi, bisa kabur dari rumah ini.

Kutatap pemandangan di belakang. Melihat keadaan mereka.

Nemesis dan Gill berhasil menahan Lucius.

Nemesis keluarkan cakar kukunya, tajam bagai pisau. Ia angkat cakarnya tinggi-tinggi.

Krak!

Nemesis tusuk jantung Lucius. Saking kerasnya hingga tangan menembus dada lawan.

"Hiyaaat!"

Brak! Michelle pukul leher Lucius dengan potongan kayu hingga benda itu patah. Tidak kusangka kakakku bisa seganas itu.

Gill yang ngeri melepas cengkeraman. Dia beringsut mundur. Wajahnya yang pucat dengan bibir bergetar serta mata melotot, sangat mirip dengan reaksiku saat itu.

Lucius terkapar di tanah dan hancur jadi abu. Aku lupa jika ia ternyata hanya ilusi atau barangkali ruh yang meminjam raga. Lantas, kenapa kekuatannya begitu mirip dengan punya Evergreen?

Nemesis injak abu itu. Dia duduk sambil merentangkan kaki. Napasnya berat dan tampak kewalahan.

Michelle berdiri sambil terengah-engah, sebagian rambutnya yang menghijau menjuntai di wajah. Dia tampak bagai hantu wanita kalau boleh jujur. Gadis itu langsung menghampiri Nemesis dan duduk di sisinya.

Arsene menarik napas. "Ayo."

"Kenapa kalian ke bawah?"

Arsene mempererat dekapan.

Aku refleks memeluk lehernya. Tubuhnya begitu panas, hingga aku sendiri mengira dia bisa jadi kepanasan atau justru sebaliknya. Yang membuatku takut selain suara barusan ialah fakta jika aku tahu siapa yang mengucapkannya.

Matanya menatap kami semua.

Arsene mendesis. "Kamu ..."

Antara ilusi dan nyata.

Menyatu dengan desiran angin serta jeritan di benakku.

"Penipu."

Hening.

"Kamu butuh sesuatu?" Ekspresinya tidak berubah, selain tatapan dingin menusuk.

Arsene mundur beberapa langkah.

Kueratkan pelukan, gemetar selagi membenamkan wajah ke pelukannya.

Tidak kusangka, dia datang tepat setelah semua ini seharusnya berakhir.

Evergreen.

Dia menyadari sesuatu. Dia tatap abu yang tersebar di lantai. "Kalian ... Membunuh mereka?"

"Ya. Kenapa?" Arsene mengucapkannya dengan tenang selagi menatap Evergreen dingin.

"Bagaimana bisa? Bukannya ini ..." Ia tidak melanjutkan kalimat.

Kudengar suara Gill. "Kamu dalangnya, he? Sudah kuduga. Kami menyiapkan rangkaian rencana untukmu, Monsieur. Engkau bukan Guardian, hanya memanfaatkan jiwa mereka agar dapat menyakiti tuan kami!"

Evergreen justru tertawa seolah itu lucu. Selama ini ...

"Kini, kalian tahu rahasiaku. Aku tahu kalian ada rencana. Mana yang lain?!"

Arsene hanya membalas. "Tanya orangnya."

Evergreen berdiri bagai malaikat maut. Sorot mata memancarkan kematian, seringainya membuatku tidak nyaman. Menjelma jadi sosok yang berbeda. Atau ...

"Kalian telah tahu rahasiaku," desis Evergreen. "Kalian harus mati!"

–Srak!

Arsene menghindar sebelum sesuatu menusuknya. Sulur dari Evergreen menciptakan lubang di rumah.

Kami terdorong ke dinding, nyaris saja terpotong. Kudengar helaan napas Arsene memberat.

Bum!

Sebuah petasan kecil mengenai kepala Evergreen.

"Tangkap aku!" Gill serta merta melompat ke tangga.

Srak!

Gill menggelinding sebelum sebuah sulur nyaris membelitnya. Ia lanjutkan lari tanpa jeritan.

Evergreen berdecak. Ia justru mengejarnya sebelum–

KRAK!

"Papa!"

Kami terguling ketika lantai berpijak patah. Arsene dekap aku, menyelubungi diri dengan bayangan hingga menghantam lantai yang terbuat dari kayu.

"Uhuk!" Ia lepas dekapan dan memuntahkan darah. Cairan merah berbaur hitam mengotori lantai dan tangannya.

"Papa ..." Aku tidak tahu harus bilang apa. Bibir bergetar dan lidah kelu.

Wuuuusssshhhh!

Halimun kelabu menyelubungi kami. Aku tahu Nemesis melindungi kami sebelum sesuatu menyerang.

Aku menjerit kala dengar sesuatu patah. Tidak tahu sumber suara dan apa itu. Refleks menutup kepala dengan kedua tangan, gemetar.

Kumohon ... Hentikan semua ini ...

Aku ingin ...

"Remi."

Suara serak Arsene menyadarkanku. Ia tampak begitu pucat, noda merah mengotori bajunya. Ia menatapku, sorot matanya menunjukkan seakan ia lebih mencemaskanku yang ketakutan.

Aku menanggapi, meski tidak mengucapkan sepatah kata.

Arsene berjuang berdiri, menunjuk sebuah pojokkan yang dipenuhi kardus entah apa isinya. "Kamu diamlah di sana! Jangan keluar hingga aku menyuruh!"

"Tapi–"

"Aku akan mengusirnya, kamu jangan mendekat!" Arsene menatap sekitar. "Jangan sampai ia tahu!"

Aku menatapnya cemas. Aku tidak mau ditinggalkan. Bagaimana jika sesuatu terjadi?

Ia membelai rambutku. "Kamu aman di sana. Tidak apa, aku akan kembali."

"Janji?"

Ia mengiakan. Arsene serahkan jubahnya lalu menyelimutiku. "Hati-hati."

Aku mengangguk patuh lalu bersembunyi di antara pojokkan itu.

Selagi menunggu dengan penuh harap, sekaligus bertanya-tanya mana kakakku, aku dengarkan sekeliling sambil membalut diri dengan jubah Arsene.

Meski jubah ini hangat, aku tetap saja merinding. Takut jika ia menemukan lalu menangkapku. Apa yang akan ia lakukan setelahnya?

Apa aku akan mati? Bagaimana rasanya?

Aku belum pernah melihat kematian sebelumnya. Setidaknya, tidak ada sejak ingatanku sebelum bertemu Arsene. Tiada yang dapat diingat. Seseorang jelas membuatku lupa.

Entah siapa.

Aku tidak tahu.

.

.

.

–"Remi!"

Kakak?

Michelle tidak disangka menemukanku di sini.

"Ayo!" Dia mengulurkan tangan.

Aku menggeleng. "Papa menyuruhku tetap di sini."

Michelle awalnya terdiam, jelas bingung. "Baik, akan kutemani."

Sesuatu melesat dari sisi kanannya.

"Kak–"

Brak! Wajahnya ditampar sebuah dahan hingga darah menetes dari pipinya.

"Kakak!"

Michelle terhuyung sambil memegang pipi kanannya, meringis.

Kulihat sesuatu di belakangnya.

Bayangan hitam menyelubungi kami. Sekitar mulai beterbangan, seolah terangkat. Michelle langsung mencengkeram tanganku. Sebuah sulur terbakar sebelum meraihnya.

Sekeliling hanya kegelapan. Angin membelai kami meski sekeliling berantakan karenanya.

Michelle menahanku sebelum terombang-ambing. Kami saling menjaga ketika sekitar mencoba saling menghantam. Aku melihat sosok lain di sana, kumpulan sulur yang keluar dari tangannya lenyap kala bayangan hitam itu menyentuh.

Barulah aku sadar kekuatan siapa ini.

Arsene tepat di belakang Evergreen. Bayangan hitam ciptaannya mencoba mencekik Evergreen.

WUUUSSSHH!

Bayangan hitam menampar wajahku, disertai ledakan yang memekakkan telinga.

Kudengar suara Michelle. "Remi–"

DUAR!

Kami terdorong oleh ledakan.

Aku menghantam dinding.

Kesadaranku lenyap.

***

Sekelilingku hanya dipenuhi bunga.

Aku berdiri di antara taman indah serta desir angin membelai rambut cokelatku. Terdengar kicauan burung dan gesekan rumput entah apa yang dibicarakan. Kuteruskan langkah sambil mencari pemandangan baru, tanpa menyadari ada sosok yang mengawasi dari kejauhan.

Ia berdiri sambil tersenyum. Rambutnya hijau tua, mata hijau serta kulit kuning langsat. Senyumannya, entah mengapa, membuatku kian tenang. Ia rupanya hendak menyapa.

Aku mendekat.

Benar saja, kalungku bercahaya.

Begitu dekat, ia membelai rambutku. "Kamu masih ingat, Darren?"

Darren? Siapa itu?

Pria itu tampak kecewa. "Ah, kamu lupa. Tidak masalah. Kuharap kamu segera ingat."

"Siapa Anda?" tanyaku. Kuamati ia semakin cermat.

Dari pakaian, ia tidak tampak seperti orang biasa. Serba hijau tua, namun kainnya tampak berkualitas bagus hingga terkesan mahal. Ada beragam perhiasan kecil menghias bajunya, meski tampak bagai pernak-pernik biasa. Aku juga yakin ia bukan manusia.

"Aku Khidir."