webnovel

Ilusi – 6

Aku terguling hingga mengempas batang pohon. Meringis sambil mencoba bangkit melawan.

"Remi!" Kudengar suara serak Nemesis berjuang memanggil.

"Kau yang seharusnya mati," bisik sesuatu padaku. "Di Shan, engkau begitu bangga dengan dirimu. Kini, giliranku memberi pelajaran!"

Bruk! Begitu genggamannya terlepas, aku bisa melihat wajah sosok itu.

Sosok yang kami lawan beberapa waktu lalu.

Dorongan Allan membuat sosok itu mendesis, ia siap menyerang lagi.

Aku paham apa yang ia bicarakan, tapi tidak ingat apapun selain fakta kalau aku pangeran dari Shan.

"Itu dia! Itu dia!"

Aku terkesiap. Rombongan itu kembali, kali ini dengan jumlah yang lebih besar. Masing-masing memegang pasak, siap menusuk.

"Kalian memihak siapa?" tanyaku.

Mereka tidak menjawab, malah maju dengan tatapan penuh kebencian, mengarahkan pasak ke arah kami. Aku berdiri di depan Nemesis dan Eliza, keduanya tidak boleh mati!

"Mereka! Itu orangnya!"

Hanya itu ucapan mereka. Andai mau mendengar barang sedikit.

Aku menoleh, Allan sedang main kucing-kucingan dengan sosok pucat itu sementara sang istri berlutut di sisi Nemesis. Kini, tugasku hanya menghalau makhluk-makhluk ini.

"Ada yang bilang sihir?"

Aku kenal suara itu.

Lubang besar menelan sebagian dari mereka. Jeritan membelah udara, menciptakan harmoni mengerikan di telinga.

Aku mundur selangkah, sosok itu mengambang di atas lubang ciptaannya dengan tatapan penuh kemenangan. Yang selamat mencoba melawan dengan barang bawaan. Jelas tidak berguna lagi.

Kutatap mata merah jambunya dalam-dalam. Aku seakan pernah melihat mata itu sebelumnya. Ia mendekat dengan seringai.

"Zibaq," desis Nemesis.

"Kalian kira aku bakal tumbang dengan pasukan ingusan?" balas Zibaq yang kini menggunakan tubuh seorang pria dengan rambut hitam. "Aku belum selesai dengan kalian!"

Sosok pucat itu menyahut dari kejauhan. "Kau berjanji akan membantu kami!"

"Tapi, tidak ada yang bisa menolak maut, 'kan?" Zibaq menatap sinis pria itu. "Kini kau sendirian. Balaskan dendammu pada Killearn dan selesaikan ini!"

Nemesis perlahan berdiri. Ia membalas tatapan lawan kami.

Aku menelan ludah, memikirkan cara agar perselisihan mereka segera berakhir.

Sosok menoleh ke Zibaq. "Kalau kuhabisi mereka, apa hadiahku?"

Zibaq tersenyum miring. "Kalau bukan harta ya, takhta."

"Kau tidak bisa mengembalikan kami?" tanya sosok itu, nada bicaranya melunak.

Zibaq tergelak. "Kau bodoh? Kalau ada media, aku sempat menyelamatkan kalian. Sihirku sudah tidak berguna lagi!"

Kulihat sosok itu mengatupkan rahang. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Raut wajah Zibaq berubah, keningnya berkerut melihat reaksi lawannya.

"Kalau begitu." Sorot mata Zibaq semakin suram.

Blash!

Saat itu pula, ia arahkan bayangan hitam padanya. Jeritan sosok itu menggema, disertai kepanikan para ilusi yang terjebak dan yang tidak tahu harus melawan siapa.

Aku mundur beberapa langkah. Nemesis memegang bahuku, sama waspadanya.

Bayangan itu perlahan menjelma kembali menjadi sesosok tadi. Mata merah menyala, menatap sekeliling dengan liar. Sepasang taring tajam siap mencabik mangsa, mata merah menyala, ia kini dikendalikan. Ia vampir pertama yang kujumpai di Ezilis Utara.

Nemesis berdiri di depanku. Pakaiannya dipenuhi oleh darahnya. Aku menelan ludah, perasaan ngeri dan cemas bercampur aduk. Bagaimana jika ia–

Sosok itu mendesis. Ia melesat ke arahku.

Nemesis mendorongnya.

Tubuh vampir itu terpental hingga menimpa pohon. Dahannya sampai retak karenanya.

Tanpa menunggu lagi, Nemesis melesat.

Vampir itu menghindar. Ia mengubah wujudnya menjadi kabut. Barulah aku ingat, pertarungan ini tidak seimbang. Nemesis bagai manusia biasa melawan iblis.

"Nemy! Mundur!" seruku.

Nemesis–entah mendengar atau berpura-pura–tidak menyahut. Ia membiarkan dirinya diselimuti kabut.

"Nemy!" Aku berlari hendak menolong.

"Allan!" seruan Eliza menganggetkanku. Wanita itu ditarik paksa oleh rombongan yang tidak terjebak.

Kualihkan pandangan, nasibnya sama dengan sang istri. Ditahan.

Seseorang mencengkeram tanganku.

"Jangan!" seruku.

Aku memberontak.

Ia memukulku.

"Jangan!" seruku lagi. Kucoba menarik kembali tanganku dengan sia-sia. Manusia itu terlalu kuat.

"Lepaskan adikku!"

Sebuah batu melayang ke arahnya.

Buk!

"Aduh!" Ia menggerang hingga melepas pegangan.

Aku berlari menghampiri sumber suara. Mataku terbalak. "Kakak!"

Kyara memegang beberapa batu sambil menatap tajam mereka. Dia tahu tidak cukup melawan orang sebanyak itu.

"Tangkap!" titah salah satu dari mereka.

Mereka maju. Siap menyerang lagi.

Aku berlindung di balik punggung Kyara.

"Kakak ..." lirihku ketakutan. Aku tidak tahu harus berbuat apa.

Kyara mengelus rambutku. "Sudah, tenanglah."

Seruan mereka kian memelan. Berganti dengan ...

"Apa ini?"

"Apa-apaan?!"

Rangkaian sulur mengikat kaki, semakin banyak hingga membelit mereka. Tak terkecuali yang terjebak di lubang, malah ditutup dengan rangkaian sulur dan hanya menyisakan beberapa ruang untuk bernapas.

Aku mendongak. Ia berada tepat di depan kami.

Khidir bersandar di pohon sambil tersenyum. Ia kendalikan kekuatannya, menjadikan manusia itu bagai kepompong hias di pohon-pohon. Di sisinya, Zahra terus menatap tangkapan sang ayah tanpa ekspresi, entah apa yang dipikirkan.

Posisi mereka begitu jauh hingga aku tidak mendengar ucapan mereka. Sepertinya, Khidir sedang mengajak Zahra bicara hingga ia elus rambut putrinya sambil tertawa. Gadis itu tetap diam lalu mengalihkan fokus pada warga yang tertangkap.

Mulut mereka telah dibungkam, jadi percuma menjerit atau mengancam.

"Mana Idris?" tanya Kyara.

Aku sudah menduganya. Terpaksa kuceritakan yang sebenarnya meski hati terasa tidak nyaman sepanjang kalimat.

Kyara mengangguk mantap. "Kita akan selamatkan dia! Untuk saat ini, kita andalkan mereka!"

Seusia mengucapkannya, Kyara mendorongku sebelum sebuah ledakan nyaris mengenaiku. Sayang, beberapa pohon hangus karenanya. Beruntung aku dan Kyara selamat meski harus mengorbankan lebih banyak pohon.

Aku tahu siapa pelakunya.

"Kalian kira bisa bebas semudah itu?" Zibaq kini berada tepat di depan dengan senyuman. "Sayang, kalian tidak punya pelindung lagi."

Sret!

Zibaq membelah sebuah batang yang nyaris menusuknya dari belakang.

Khidir masih berdiri dekat pohon itu bersama Zahra. Pria itu membisikan sesuatu kepada putrinya sebelum gadis itu memutuskan untuk raib. Mereka jelas punya rencana.

Zibaq terkekeh. "Khidir, engkau kini jadi jelata."

Khidir tidak menyahut, raut wajahnya saja dingin. "Kauapakan rakyatku?"

"Apa maksudmu?" sahut Zibaq. "Aku hanya meruntuhkan negerimu. Tidak ada rahasia di balik itu."

Khidir tersenyum tipis. "Lalu, di mana teman-temanku?"

"Para kaum barbar itu kukembalikan ke habitat asalnya," jawab Zibaq. "Kamu tidak perlu pusing mengurus mereka lagi."

Perlahan, sebuah sulur mengikat kaki Zibaq. Sepertiku, Khidir jelas tidak mau percaya dengan ucapan Zibaq barusan. Ia bisa jadi menyimpan rakyatnya di suatu tempat dengan niat lain.

Khidir maju. Saat itulah sulur yang mengikat Zibaq menguasai bagian pinggangnya.

"Ah, pintar!" Zibaq menyeringai.

DUAR!

Zibaq dengan mudah membebaskan diri dengan kekuatan peledaknya. Ia serang balik Khidir dengan semburan api.

"Abi!"

Cahaya keunguan menangkis api itu.

Zibaq berdecak. "Percuma menghilang! Sebagai sesama jin, aku bisa melihatmu!"

Zahra langsung menampakkan diri. "Aku bukan sekadar jin."

Duar!

Dia lempar cahaya keunguan itu ke arah Zibaq.

Begitu ia mencoba menghindar, rangkaian sulur dan dahan menutupi badannya. Kali ini, ia berjuang membebaskan diri dengan sia-sia. Semakin tebal penjaranya, semakin sulit.

Khidir mengelus rambut ungu Zahra dengan penuh kasih. Aku tahu dari tatapannya yang kebapakan serta ucapannya yang seketika menyihir Zahra untuk membalas senyumannya.

"Awas!" seruan Kyara menganggetkanku.

Khidir mendorong Zahra sebelum sebuah cahaya menangkapnya.

"Abi!"

Belum sempat melawan, semburat cahaya lain menangkapnya. Anehnya, Zahra maupun Khidir tidak mampu menggunakan kekuatannya.

Kyara serta merta maju hendak menolong.

Aku menyeru. "Kyara!"

Tepat saat itulah, bayangan hitam menyelubungiku.

Aku terisap.

Hal terakhir yang kulihat adalah ...

Zibaq meraih leher Kyara.