webnovel

Ilusi – 5

Bahkan hingga larut malam kutunggu, ia belum juga bangun. Aku sudah mengumpulkan beberapa buah beri yang kuhabiskan selama menunggu.

Sambil duduk menyaksikan langit malam nan sunyi, aku membayangkan kehidupan bersama para Guardians penuh kedamaian. Kami duduk di serambi rumah sambil menikmati makanan ringan bersama, tertawa tanpa beban.

Hawa dingin menusuk kulit, kugenggam erat jubah Arsene sambil menunggu.

Aku tersentak.

Nemesis duduk santai di sebelah kiriku tanpa ekspresi. Sejak kapan ia bangun?

"Nemy?" Aku menatapnya.

"Kemarin, aku mendapat informasi dari pasangan itu tentang negeri ini," tutur Nemesis. "Namanya Ezilis Selatan, bagian dari negeri asalku."

Entah kenapa, aku jadi teringat Shan.

"Ayahku termasuk penyihir hebat?" tanyaku. "Jika iya, apa ia tewas saat ledakan Shan?"

Sayangnya, Nemesis tidak bisa menjawab. Ia berbaring sambil memandang langit.

Ketika kutengok lehernya, terdapat lubang dalam yang mengering. Aku jadi ingat, itu benda yang membuatnya tidak berdaya.

"Apa yang di lehermu itu?" Aku tahu benda yang dimaksud sudah ditarik Madame Gillmore dari lehernya waktu itu.

"Benda itu bisa mengisap kekuatan sihir selama beberapa waktu," jawab Nemesis. "Kata Mister Gillmore, memakan waktu paling cepat sebulan untuk memulihkan diri."

"Kamu tidak bisa menjadi kabut selama sebulan?" tanyaku.

Ia mengiakan. "Untuk saat ini, aku hanya mengandalkan fisik."

Aku menunduk sambil memikirkan sebuah rencana penyelamatan, tapi tidak sekarang. "Nemesis, apa rencanamu setelah ini?"

"Aku lihat di sana ada kota, jauh berbeda dibandingkan hutan ini," balas Nemesis. "Aku akan mencari makanan. Semoga ada yang sesuai dengan seleramu."

"Aku boleh ikut?"

"Tidak."

"Kenapa? Aku tidak mungkin membiarkanmu pergi sendirian."

"Kamu diam saja di sini." Nemesis menegaskan. "Akan kucarikan makanan yang cocok."

"Bagaimana denganmu?"

Nemesis akhirnya tersenyum tipis, meski terkesan canggung. "Aku bisa minum di mana saja selama ada makhluk hidup. Untuk saat ini, kondisimu lebih penting."

Aku hendak menyela. Tapi ...

Kururu ...

Terdengar suara aneh. Membungkam mulut kami. Atmosfer menjadi canggung. Jelas terdengar hingga hewan lain di hutan bisa saja mendengar.

"Kamu lapar?" tanya Nemesis.

Aku tertawa canggung. "Iya, nih."

Ia berdiri.

Terdengar suara langkah kaki. Terdengar tergesa-gesa seolah dikejar hantu. Begitu jelas hingga aku refleks mencari.

Sebuah anak panah melesat.

Mataku terbalak. "Ne-"

Beruntung panah itu meleset.

Aku terengah, nyaris saja. Nemesis berdiri di depanku bagai tameng.

Aku berdiri di belakangnya sambil memasang pendengaran. Kurasakan hawa berbeda dari pria di sampingku.

Siapa tadi?

Pria di hadapan kami memegang panah. Tatapannya sinis sambil membidik.

Nemesis mendesis.

"Lepaskan anak itu!" titah pria tadi.

Apa dia yang dimaksud?

Kulirik Nemesis. Ia tidak sekali pun mengalihkan pandangan dari depan, belum menyerang.

"Langkahi dulu mayatku!" Nemesis menyeru.

Nemesis melirikku. Ia tampaknya menunggu keputusan dariku.

Aku baru beberapa detik melihat pria asing tadi, tidak mungkin pilihannya jatuh padanya. Tidak percaya dan tidak paham apa yang sebenarnya terjadi. Buktinya, kalungku senantiasa bercahaya pada para pelindungku.

"Menjauh! Ia hanya ingin memangsamu!" seru orang asing itu.

Aku tidak percaya. "Ia pelindungku!"

Pria itu menatapku tajam. "Kalau masih saja, akan kubunuh kalian berdua!" ancamnya.

Nemesis berdiri melindungiku. "Langkahi dulu mayatku!"

Pria itu menggeram, ia memegang erat busurnya.

"Lawan aku!" seru Nemesis. "Aku walinya! Tanggungjawabku untuk menjaganya dari penganggu sepertimu."

Nemesis melesat bagai kilat, menghindari anak panah dengan mudah.

Bruk!

"Nemesis!"

Dua pria lain menyerangnya dari samping. Mereka terguling dalam tanah dan bergelut. Tanpa sihir, Nemesis hanya mengandalkan fisik seadanya dan jelas tidak bisa melindungiku lebih lama.

Aku berlari hendak menolong.

Pria itu menarik tanganku. "Ayo, ikut kami!"

Aku menoleh. Nemesis semakin jauh diseret dua pria tadi.

"Tidak!" Kupukul wajahnya dan langsung mengejar Nemesis.

Parahnya, pria itu masih mengejarku.

Aku terhenti.

Krak! Nemesis membelah rahang salah satu pria dengan kedua belah tangan. Tanpa jeda, meraih leher temannya.

"Eh!" Pisau yang digenggamnya terjatuh. Perlawanannya sia-sia.

Nemesis mengangkat pria itu lalu menyeretnya ke jurang. Pria itu berjuang membebaskan diri sementara temannya tidak bisa menolong lagi.

Pria yang mengejarku beralih melawan Nemesis. Ia arahkan panah padanya.

"Jangan ...!" Aku peluk leher pria itu, berniat mencekik.

Panahnya melesat ke arah lain.

Plak! Ia menamparku hingga jatuh. Aku meringis selagi ia memukul kepalaku hingga pusing.

"Keparat! Sudah bebal lagi!" umpatnya.

Aku berjuang membebaskan diri. Ia malah menjabak rambut lalu memukul kepalaku.

"Akh!" Aku memberontak, mencoba membebaskan diri.

Terdengar erangan. Aku dijatuhkan kembali. Begitu menoleh, kalungku bercahaya kembali.

Nemesis mencengkeram leher pria itu. Ia lempar lawan kami ke dalam semak belukar.

Kuraih beberapa anak panahnya yang tergeletak lalu menginjak benda itu hingga patah.

"Kamu bermasalah dengan orang yang salah!" seruku bangga.

Nemesis berdiri menatapku. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka cakaran.

Aku jelas geram. Kudekati lawan kami dengan tatapan tajam.

"Ada yang ingin kausampaikan, hah?" lanjutku sambil terus menatap pria tadi. "Siapa yang mengutusmu?"

Nemesis diam saja, terus menatapku.

Pria itu terdiam. Jelas tidak siap mati, apalagi di tangan vampir seperti Nemesis.

"Remi," panggil Nemesis dengan serak. "Biar kuurus dia. Kamu tidur saja."

Pria itu menatapku. "Remi, dengarkan aku!"

Ah, sekarang dia mengikuti gaya Nemesis?

"Tidak! Aku tidak mau mendengarmu!" tolakku.

Sekeras apa pun suaranya, aku mengabaikan bagai angin lalu.

Aku berpaling. "Ayo, pula–"

"Remi!" seru Nemesis.

Mulutku dibungkam. Aku lagi-lagi harus berjuang membebaskan diri.

Di depan mata, terlihat benda tajam mengarah ke dadaku.

"Hisss..."

Bruk! Aku dilempar sementara desisan Nemesis berganti jadi geraman. Terdengar suara benda keras saling bertabrakan.

Nemesis menggeram pelan. Sesuatu menembus dadanya. Tangan musuh kami mencuat bagai bunga mekar.

"Tidak!" Aku berlari hendak menolong.

Sosok itu mendorongku hingga jatuh lagi.

Saat itulah ia kabur. Menjatuhkan Nemesis bagai kotoran yang menempel.

"Nemesis!"

Tidak mempedulikan tubuh yang terasa kaku lagi sakit, kuhampiri Nemesis yang terkapar tidak jauh dariku. Lubang besar menganga di dadanya, beruntung tidak mengenai jantung, ditambah luka di sekujur tubuh.

Aku bergidik.

Nemesis menekan lubang di dada, meringis.

Kupanggil namanya."Ne ... Nemy?"

Ia lalu roboh ke tanah.

"Bertahanlah!" Tanpa sadar, air mataku menggenang.

Jangan ... Jangan!

Terdengar suara yang kukenal. "Itu mereka!"

Aku berpaling.

"Eliza! Allan!" seruku. "Tolong kami!"

Allan langsung duduk di sisi Nemesis. Ia keluarkan sebuah cairan kehijauan lalu meneteskannya ke dada Nemesis.

Nemesis mendesis sebelum akhirnya terlelap bagai bayi dalam buaian.

Eliza mengelus rambutku. "Anak didikan Graves memang keparat!"

"Eliza, semua yang ada di wilayah ini memang kurang ajar," sahut Allan. "Sudahlah, kita bantu teman dulu."

Baru hendak mendekat, Eliza menjerit.

Begitu aku menoleh, pukulan melayang ke arahku.