webnovel

Guardian dan Gigantropy – 7

Aku berbaring di kasurku beberapa jam setelahnya, tanpa disambut oleh Safir yang juga tidak jelas kabarnya.

Aku memakai piama sederhana berwarna putih yang sudah disediakan. Tidak heran karena sudah pasti telah ada sejak Ezekiel mendengar kabar tentangku. Aku tahu ketika iseng membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian yang cocok. Mungkin saja ini pakaian untuk saudarinya atau dia yang begitu siap menyambutku. Kutanyakan nanti ketika ia pulang untuk memastikan.

Seusai berganti, aku langsung berbaring. Aku tidak mencemaskan keamanan lantaran kamarku sendiri sudah tersedia kunci sementara uangnya ada di sisiku.

Belum pernah aku merasa sesantai ini. Barangkali bawaan aura dari Ezekiel, meski dia jelas sudah membuat seseorang marah padanya waktu itu. Tapi, aku sudah melihat kepribadian itu pada Mariam. Jadi, hal ini sudah lumrah terjadi meski kadang aku ingin menegur sesekali. Sesekali yang bahkan hampir tidak sama sekali.

Aku dengar bunyi pintu terbuka.

Aku lantas terduduk, siaga jika orang aneh masuk.

"Oi!"

Aku sudah yakin kalau itu suara dari Safir yang ternyata pulang telat.

"Apa?" balasku.

"Oh." Hanya dengan itu, suasana kembali hening. Terdengar langkah Safir mengelilingi rumah sebelum akhirnya tiada suara sama sekali.

Maka, aku lanjutkan tidurku tanpa merasakan beban sama sekali.

***

Ketika fajar menyising, aku bangun lalu membuka kamar dengan kunci kemarin. Aku tidak bermimpi melainkan kegelapan semata. Padahal malam itu berharap mendapatkan bunga tidur. Siapa tahu bisa menjawab beberapa pertanyaan di benak jika sudah sering dipikirkan. Tapi, sepertinya belum waktunya.

Ketika pintu dibuka, suasana masih saja hening tapi lampu sudah menyala terang tertanda ada penghuni rumah yang bangun.

Aku ingat jika di meja masih ada makanan. Ketika kubuka tutupnya, terlihat beberapa piring lauk masih aman. Sebagian tampak bekas semalam dan tidak terlalu lama sehingga masih aman disantap.

Begitu hendak mencari piring, aku dikejutkan penampakan makhluk yang tak terduga.

Seorang wanita berambut pendek cokelat berdiri di sisi lorong panjang yang sepertinya tembus ke kamar lain. Dia mengenakan pakaian pendek serta menenteng tas kecil.

"Oh, maaf menganggetkan," ujarnya.

Aku yang syok hanya bisa mengiakan. Siapa dia? Kenapa di sini?

"Aku menitip pesan untuk William kalau aku pulang dini," ujar wanita itu sambil melangkah keluar. "Bilang padanya, ya!"

Dengan begitu, dia pergi.

Apa-apaan?

Siapa William? Apa aku salah rumah?

Jangan-jangan ...

Aduh, Kyara, jangan berburuk sangka. Siapa tahu itu temannya Safir–tapi dia bilang "Wiliam" yang jelas nama samaran untuk ...

Oh, aku paham.

Sempat-sempatnya setelah bertugas dia langsung mencari teman, atau jangan bilang dia mengundang wanita lain ke sini setelahnya. Kemudian dengan cepat langsung lenyap setelah waktu habis. Ezekiel tidak cerita padaku tentang rutinitas dan aku sangat terkejut.

Baik, aku harus terbiasa. Mungkin tidak setiap hari. Kebetulan saja wanita itu datang kemarin lalu tidak terdengar lagi kabarnya.

Aku sebaiknya sarapan.

"Tuan Putri mau makan apa?"

Aku menarik napas, sudah sekian kalinya dia membuatku kaget.

Ezekiel ternyata tengah berbaring di sofa, memandangi langit-langit.

Apa dia mendengar pesan dari wanita itu? Sepertinya. Dilihat dari tingkahnya yang tampak tidak memedulikan wanita itu lagi.

"Siapa itu?" tanyaku, hanya sekadar mencari kebenaran.

"Kenalan baru," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit. "Yah, agak buru-buru, tapi lumayan."

Aku tidak akan bertanya lebih lanjut.

"Gue enggak lihat Gigantropy lagi," lapor Ezekiel. "Semalam gue sudah keliling kota, sempat mengobrol sama anak jalanan, enggak ada satu pun bisa jelasin soal Gigantropy tadi."

Baguslah, dia membahas soal kemarin. Anggap saja itu angin lalu.

"Aneh," komentarku. "Memangnya Gigantropy itu apa? Apa bahayanya selain merusak kota?"

"Yah, cuma begitu," jawabnya. "Gigantropy itu raksasa, tergantung elemen mana dia. Kebetulan di kota ini yang ketahuan cuma api."

"Memang ada elemen lain?" tanyaku. Jantungku berdebar, memikirkan kerusakan apa yang bakal terjadi setelahnya. Satu saja sudah pasti merepotkan. Aku sudah berurusan dengan rubah putih raksasa, dan sekarang malah kedatangan sosok raksasa lainnya.

Ezekiel menatapku, dia tersenyum. Lantas berdiri dan mendekat. "Yuk, sarapan!"

Aku pun duduk menghadapnya. Ezekiel menyantap apa saja di depan mata. Di sebelah kiriku, ada setoples permen bungkus yang sudah pasti jadi stok harian. Berapa banyak pria ini makan?

Barangkali untuk menyeimbangkan, semakin besar kekuatan semakin besar pula nafsu makan. Tapi, mungkin kebetulan saja kemarin dia kelelahan dan butuh tambahan energi. Ah, aku bahkan belum melihatnya bertarung. Malam kemarin saja kata dia tidak ada musuh dan lantas kedatangan perempuan yang menemaninya hingga pagi.

"Putri enggak makan?"

Begitu menoleh, kulihat Ezekiel mendekatkan sesendok daging ayam.

"Kamu punya berapa ayam di sini?" heranku, tapi tetap saja menerima suapannya.

"Gue tahu dari Khidir kalau lo suka," jawab Ezekiel. Dia dekatkan sepiring paha ayam yang dipanggang. "Nih, makan."

Aku pun menyantapnya. "Sudah berapa lama kalian bertukar surat?"

"Bertahun-tahun," jawab Ezekiel. "Kayaknya pas lo ditemukan."

Lama sekali. Apa saja yang dibahas? Jika memang benar mereka sudah saling berbagi informasi, tidak heran bisa jadi mereka tahu dan sedang merencanakan sesuatu di belakangku. Tapi, apa itu? Aku penasaran sekaligus takut di saat yang sama. Perlukah aku bertanya?

"Tuan Putri?" Cara dia memanggilku begitu terasa aneh. Memang aku sedikit keberatan, kami sudah seperti keluarga, bukan?

"Panggil 'Kyara' saja," balasku.

Ezekiel terdiam sejenak. "Oh, begitu. Putri mau apa hari ini? Jalan-jalan? Makan bareng?"

Ah, sudahlah.

"Aku bosan," keluhku lagi. "Mungkin melihatmu bertarung dapat menghibur."

Ezekiel tersenyum. "Dahulu, Putri tidak kuat melihat gladiator."

"Aku tidak bermaksud begitu," sahutku. "Maksudku, melihatmu bertarung melawan Sihir Hitam tampak menarik."

"Eh, Sihir Hitam?" Ia membeo. "Itu namanya?"

Aku mengiakan. "Kenapa?"

Ezekiel tersenyum lagi, kali ini tampak meremehkan. "Siapa yang memberi nama itu? Ijo?"

"Maksudmu Khidir?"

"Ya, Khidir."

"Aku tidak tahu," balasku jujur. Aku bahkan tidak bertanya dari mana asal istilah itu melainkan dari Mariam yang mungkin hanya sekadar memakai sebutan itu.

"Jadi, kalian menyebut musuh Shan itu Sihir Hitam," kata Ezekiel, entah ia bertanya atau tidak. "Panggilan yang aneh. Gue lebih senang menyebutnya 'Freak.'"

"Panggil saja sesukamu," balasku. "Nah, sekarang, kamu bakal apa? Lanjutkan tugas dari River kemarin?"

"Mungkin," jawabnya. "Gue maunya bersantai dulu hari ini. Capek kemarin jalan-jalan mulu."

Tapi, dia sendiri yang menawarkan perjalanan tadi.

"Ya, sudah. Patroli bentar sekaligus sedikit kencan," Ezekiel lalu berdiri. "Lo ikut?"

"Mau!" Aku langsung bangkit dan mendekatinya, hendak menempel agar ia tidak kabur. "Ayo!"

"Tapi, Putri harus janji dulu, ya," kata Ezekiel.

"Apa, nih?"

"Lo harus janji ..."