webnovel

Guardian dan Gigantropy – 8

Kota Adrus, seperti yang kujelaskan sebelumnya, tidak beda jauh dibandingkan Ezilis. Beberapa warga yang kulihat lebih tampak seperti manusia ketimbang yang di Aibarab. Sebagian besar berkulit pucat dan kebanyakan lebih rendah dari rata-rata orang Aibarab. Meski demikian, aku yakin kekuatan sihir mereka tidak kalah dari masyarakat yang biasa kulihat.

Sambil menggenggam tas kecilku, aku menyusuri jalanan seorang diri. Baru kali ini aku benar-benar sendirian tanpa dikawal. Memang ini merupakan pengalaman langka, tapi aku kurang nyaman apalagi jika berada di tempat asing.

Dari segi penampilan, aku memang seperti kebanyakan orang. Tapi, masih lemah di sihir. Meski sudah hidup berdampingan dengan makhluk sihir pun aku masih tidak bisa. Kecuali ilmu perdukunan yang takut diterapkan karena kebanyakan berurusan dengan jin atau iblis yang pada dasarnya musuh kami. Kecuali Zahra tentunya.

Para warga di sini, untungnya, tidak menatapku terlalu lama melainkan sekilas. Mereka antara tidak tahu jika aku pendatang atau justru tahu tapi memilih mengabaikan. Kalau saja ada yang menyeru, bisa gawat.

Jalanan tidak terlalu becek maupun kering sehingga sepatuku aman dan jalan pun nyaman. Cuaca juga tampak mendung seperti ciri khas cuaca di Ezilis. Barangkali di belahan dunia lain bakal lebih dingin atau justru lebih panas dibandingkan negeri kelahiranku.

Saat aku melangkah, aku menyadari pemandangan janggal. Dari kejauhan tampak gerombolan wanita dengan penampilan sederhana, duduk berjejeran. Mereka tersenyum pada beberapa pria yang melintas, malah sebagian tampak genit sehingga sukses memancing beberapa pria mendekat dan menyentuhnya.

Aku lantas mengalihkan pandangan. Memang bukan hal janggal lagi karema di Aibarab ada juga yang begitu, tapi aku masih tidak terbiasa melihat. Apalagi fakta salah satu di antara wanita itu merupakan wanita yang pernah menemani Ezekiel.

Fokus, jangan lengah. Aku harus maju, memastikan semua sesuai dengan yang diharapkan.

Ketika mengedarkan pandangan, mataku menangkap bayangan sosok yang dicari, sesuai rencana.

Mengikuti alur, aku langsung mencari arah lain dengan berbelok ke sebelah kiri jalanan yang kini dipenuhi beberapa pejalan kaki.

Berbeda dengan Aibarab, di sini tidak ada pasar. Meski kucari beberapa meter kemudian, tetap tidak ada. Barangkali pusat perbelanjaannya berada di suatu tempat yang hanya diketahui penduduk itu sendiri.

"Permisi."

Aku menahan diri agar tidak terlihat kaget meski jelas mendengar suara yang asing. Perlahan membalikan badan dan mencoba memberanikan diri menatap sumber suara.

Kulihat seorang lelaki tampak sebaya denganku. Dia memiliki rambut segelap malam dengan sedikit warna jingga pucat di bagian bawah rambutnya seakan menunjukkan gambar waktu fajar. Matanya juga demikian, tapi hanya gelap tanpa hiasan warna jingga tadi. Kulitnya juga pucat seperti penduduk sekitar serta tingginya setara denganku.

Tunggu, itu River!

"Ya, ada apa?" Aku berusaha ramah, meski merasa yakin siapa lelaki ini.

"Aku mendengar kabar tentangmu sebagai putri dari Aibarab," ujarnya, sedikit terbata, agak gemetar juga.

Dia seperti mata-mata yang takut ketahuan. Sedih sekali jika ketahuan olehku yang amatiran ini.

"Memangnya apa yang membuatmu mengira begitu?" tanyaku. Ini bagus agar dia ragu, pikirku.

"Kamu punya ciri-ciri yang sama dengannya, meski aku belum melihat langsung," jawabnya. "Rambut hijau, kulit kuning langsat, dan ... Cantik."

Meski dibilang cantik oleh para pelindungku, entah kenapa terasa aneh jika dipuji begitu oleh orang lain, terlebih yang tidak dikenal seperti dia. Dan kenapa dia bertingkah seakan tidak ingat apa-apa?

"Begitu, ya?" Aku mencoba tampak biasa saja meski jelas takut ketahuan. "Kamu bilang aku cantik?"

Lelaki itu mengiakan.

"Terima kasih," balasku, berusaha juga ramah meski jelas curiga. "Jadi, apa yang kamu lakukan jika teorimu benar? Kalau salah?"

Sambil menunggu jawaban, kulihat bayangannya dari kejauhan. Tatapannya jelas menunjukkan kalau dia tidak suka. Aku tahu dan maklum. Kulihat semakin mendekat, meski perlahan. Seperti menunggu dengan sabar agar tidak disadari mangsa.

Semakin dekat.

"Jika benar kamu putri yang kucari, maka aku ingin menjemputmu," ujarnya. "Tugasku adalah memastikan kamu tetap aman."

Aku termenung. Dia tidak seperti Guardian. Bukannya memandang fisik, tapi aku tahu kalau kalungku saja tidak memilihnya. Mariam satu-satunya pengecualian, tapi dia memang terbukti sudah menjadi pelindungku. Kalau dia?

"Kalau bukan?" tanyaku, meski ragu apakah penyamaranku berhasil atau justru kacau.

"Kalau bukan, maka kita jadi teman," jawabnya. Lelaki itu tersenyum.

Aku tatap ke arah lain.

Dia semakin dekat. Dengan tatapan dingin menusuk. Hendak menerkam.

Lelaki itu melanjutkan. "Aku Ascella."

Tapi ... Bukannya dia River?

Aku menunjuk diri. "Thalia."

"Salam kenal, Thalia," sapa lelaki bernama Ascella itu. "Aku boleh tahu, dari mana asalmu?"

Saat itu pula, seorang pria berdiri di antara kami. Dia tersenyum, terlebih pada Ascella. Kini aku merasa lebih aman, karena kalungku bercahaya.

"Salam kenal juga!" sapa pria itu. "Kalau boleh tahu, kenapa tidak berkenalan dengan penduduk sekitaran sini juga?"

Dari ucapannya, aku tahu dia tidak terima jika Ascella hanya bicara padaku. Wajar saja, aku saja tidak nyaman langsung didekati begitu. Terasa seperti ada motif tersembunyi dari tindakannya.

Tapi, aku dan dia sekarang menyamar. Apa tidak aneh jika dia langsung bicara seakan kenal dekat denganku di depan orang asing begitu?

Ascella menatap mata biru pria itu, nyalinya tampak menciut. "Aku kebetulan melihatnya lebih mencolok."

"Apa karena itu saja?" Dia bertanya lagi, tampak memancing. Dia langsung berdiri di sisiku dan merangkulku. "Atau karena kamu tertarik dengannya?"

Ascella menatapku. Dia mengerutkan kening, sepertinya heran kenapa aku begitu tenang meski berhadapan dengan pria itu. Maksudku, aku mengenalnya sementara Ascella tidak, barangkali. Bukannya malam kemarin ...

"Aku kira dia seseorang," ujar Ascella. "Kalau bukan, tidak masalah. Aku akan tetap bicara dengannya."

Kulirik Ezekiel. Meski sedang tersenyum, aku tahu dia terganggu dengan keberadaan Ascella yang jelas sedikit merusak rencana kami.

"Begitu." Ezekiel tersenyum dan melingkari pinggangku dengan sebelah tangannya. "Syl, kekasih gadis ini."

Aku menunduk, dia tidak benar-benar melakukannya, 'kan?

"Ezekiel, sudahlah. Aku jadi takut jika ini malah merusak topeng kita." Begitulah aku membatin, tapi tidak ada gunanya protes sekarang.

Ascella terdiam sejenak. Menatapku dan pelindungku. "Ah, benarkah? Aku boleh bertanya langsung padamu, Syl? Karena sepertinya kamu tahu banyak."

"Tentu, tapi sebaiknya jangan di tengah jalan begini, menganggu orang." Ezekiel lantas menuntunku, masih dengan melingkari punggung.

Saat menyamar, dia pun mengubah gaya bicaranya menjadi lebih baku tapi masih menunjukan sifat yang dia tunjukan padaku di rumah. Berbeda dengan pelindung lain, dia serta-merta mengaku sebagai kekasihku alih-alih keluarga atau hubungan yang lebih kekerabatan.

Aku amati, Ascella membuntuti di belakang tanpa ekspresi. Dia langsung tersenyum tipis saat tatapan kami bertemu. Apa maunya?

Kami pun duduk di sebuah taman, lebih tepatnya di bangku bawah pohon hingga lebih sejuk.

Ezekiel duduk di antara kami, menjadi pembatas. Tapi, dia tetap merangkul, lebih tepatnya meletakkan tangan ke belakang leherku. Sementara tatapan tertuju pada Ascella.

"Jadi, Ascella, ada yang ingin ditanyakan?" tanya Ezekiel.

Apa dia tidak bertanya kenapa lelaki ini seketika mengubah nama? Kemarin mengaku bernama River, seksrang Ascella.

Ascella menatapnya, diam dan berpikir sejenak sebelum mengeluarkan pertanyaan.

"Aku dengar dari temanku, kamu pasti kenal karena dia klienmu," kata Ascella.

"Klien yang mana? Ada banyak klien di sini."

Apa dia mencoba melawak atau sesuatu? Barangkali mengulur waktu. Apa Ezekiel tidak menyadari kemiripan antara River dan Ascella? Perlukah nanti kukasih tahu?

"Kamu tahu yang mana," balas Ascella, terdengar menantang.

Semakin curiga aku, apalagi ditambah acara tatap menatap ini. Ascella melihatku selama beberapa saat, entah apa yang dipikirkan.

Ezekiel menghalangi wajahku dengan badannya, kini dia menguasai pandangan Ascella. "Berhenti menatapnya."

"Ah, maaf," balas Ascella. "Baik, aku akan bicara soal kemarin."

"Ada apa memangnya?" tanya Ezekiel.

"Ada beberapa orang menghilang sejak kemarin."