webnovel

Guardian dan Gigantropy – 6

"Gigantropy, ya?" Ezekiel mengulangi ucapan River. "Hm, gue sudah tahu."

"Benarkah?" River mengangkat sebelah alis. "Akhir-akhir ini, baru saja terjadi kebakaran besar disebabkan Gigantropy Api dan kulihat kamu tidak bertindak sama sekali."

Jangan-jangan di hari pertama aku di sini. Zibaq sepertinya tahu, makanya aku langsung dilempar tepat ketika Gigantropy Api tadi mengamuk dan ia jelas ingin membakarku jika kadalnya gagal. Saat itulah kadalnya datang dan memangsa Gill demi melindungiku.

Untungnya, Ezekiel lekas menyelamatkanku. Meski ... Aku sendiri tidak tahu nasib Gill sesungguhnya.

"Dia melindungiku," ujarku membela Ezekiel. "Pasti kelelahan setelahnya, wajar kalau tidak bisa melawan makhluk itu."

Maksudku, Ezekiel sudah pasti kelelahan seusai penyelamatan dan tidak mungkin langsung bisa melawan Gigantropy yang menurutku pasti berwujud besar sama seperti kekuatannya. Dia harus istirahat.

Kuamati River, tampak murung seakan tidak setuju. Sepertinya jawabanku terlalu membenarkan. Ketika kutatap Ezekiel, dia hanya membalas tatapanku dengan senyuman manis.

"Aku ingin dengar tanggapan dari yang ditanya," jawab River. Dia lalu menatap Ezekiel. "Apa pembelaanmu?"

Ezekiel mengeluarkan sekantong permen. "Mau?"

River maupun aku menolak. Dalam percakapan ini, kenapa dia bisa begitu santai?

River jelas tidak senang dengan reaksinua. "Kita membahas ancaman negeri ini dan juga melindungi Putri. Kamu malah dengan enteng menawarkan permen?"

Rupanya, kalimat itu sukses membuat Ezekiel tersinggung. Ia mengerutkan kening, lalu menatap dingin ke arah River, tersirat ancaman di balik tatapan itu. Tapi, dia tetap memakan permen tanpa membalas ucapannya.

Jantungku berdegup kencang, semoga tidak terjadi keributan setelahnya.

River membalas tatapan Ezekiel, nyaris sinis. "Sudahlah, siapa namamu? Sedari tadi kita mengobrol dan kamu belum memperkenalkan diri."

"Lo menyewa orang tapi enggak tahu namanya." Ezekiel membalas.

"Kamu punya banyak nama," ujar River. "Semua laporan menyebut nama yang berbeda."

River menyerahkan sebuah buku kecil, tertulis di halaman terbuka tiga buah nama, tapi dicoret begitu tebal hingga tidak terbaca. Tanda dia kesulitan menebak nama asli Ezekiel.

Ezekiel melirik catatan itu. "Ya, sudah, pilih yang lo suka."

"Sebaiknya kamu yang memilih panggilannya," balas River, dia lalu menatapku. "Siapa gadis ini? Dia simpananmu yang kesekian kalinya?"

Mohon maaf? Simpanan? Aku sangat tersinggung.

"Aku Thalia," jawabku. Aduh, haruskah aku menyebut nama asli?

Ketika aku menatap Ezekiel, dia juga sedang menatapku. Tidak ada reaksi melainkan dia yang terlihat hanyut dalam pikiran. Tampak tidak protes dengan tindakanku. Meski aku sendiri merasa bingung lagi bimbang harus menyamar sekarang.

River baru saja menyebutku simpanan Ezekiel? Keterlaluan.

Ezekiel pun menatap River dan menjawab, "Billy. Panggil saja begitu."

Kutebak semua Guardian tidak mungkin punya dua nama saja. Kenapa tidak pakai satu nama samaran saja? Eh, aku sendiri juga begitu. Punya beberapa nama tapi tidak tahu kapan harus dipakai kembali.

Muncul seorang pelayan membawakan makanan. Menyadari keteledoran, aku lantas berdiri.

"Mau ke mana?" Ezekiel bertanya.

"Kasihan River tidak duduk," ujarku.

"Hei, duduk!" titah Ezekiel.

River memutar bola mata. Tapi, ujungnya mengambil kursi lalu duduk di depan kami. Dia pun menarik napas, tampak lelah dengan semua ini.

"Baik, Billy. Bagaimana caramu mencegah Gigantropy itu?" tanya River. "Kudengar kamu punya kekuatan es yang bisa menandingi api. Benar?"

Ezekiel menegak minumannya. "Pasti bisa."

Tidak buruk. Semangatnya lumayan. Meski dia tanggapi dengan enteng.

Tapi, River sepertinya tidak puas. Wajahnya tampak tidak menunjukkan rasa percaya. "Kamu terlalu percaya diri."

Ezekiel langsung membalasnya. "Sudahlah, kita makan."

River siapa, sih? Kenapa dia tampak berambisi seperti itu? Apa benar dia juga seperti Mariam yang juga termasuk pelindungku meski kalungku tidak bersinar padanya?

Aku lirik Ezekiel. Dia menikmati makan malamnya dan tampak mengabaikan keberadaan River yang belum juga dikasih makan.

"River, mau?" Aku tawarkan sebagian makan malamku.

Ezekiel menahanku, seakan bilang kalau aku tidak boleh membagi makanan. Tatapannya pun memperkuat dugaan, dia jelas tidak senang melihatku berusaha ramah pada tamu kami.

Aku pun menghentikan niatku dan lanjut makan. Hendak protes tapi tidak punya alasan kuat.

River pun hanya diam. Menunduk sambil memainkan kaki. Menunggu kami menghabiskan makan baru kemudian bersuara kembali.

"Aku akan memberikan upah yang besar selama kamu bisa membunuh Gigantropy itu," ujar River seusai kami makan.

"Uang muka?" Ezekiel membalikkan tangannya dengan senyuman.

River memutar bola mata, dia menyerahkan sebuah kantong. "Ini."

Ezekiel mengamati. Cukup banyak sampai sebesar kepalan tangan. Ia tersenyum selagi meremas kantong tadi, sambil menatapku. "Cukup buat ngasih lo makan seminggu, kalau enggak jajan gue."

Aku mengiakan. Meski tidak tahu berapa harga makanan di sini dibandingkan Aibarab maupun Ezilis.

"Sudah?" tanya River.

"Iya." Balasan Ezekiel sukses membuat River berdiri dan berpaling.

"Kita akan bertemu lagi di sini, di meja yang sama," ujar River sebelum akhirnya pergi dari warung ini.

Segera setelah kepergiannya, Ezekiel menelan minumannya hingga habis.

"Orang yang aneh," komentarnya.

Aku hendak mengatakan yang sama perihal dirinya sendiri. "Kamu juga yang bicara seperti itu."

"Gue melindungi lo," balasnya. "Orang itu sudah tahu status kita dan untungnya lo bisa paham."

"Kamu tidak bertanya dari mana dia tahu," sanggahku. Aku jelas tidak nyaman.

"Enggak asyik kalo mengobrol di sini." Ezekiel menatap sekeliling. Aku pun mengikuti.

Tidak banyak yang janggal di mataku. Hanya sebuah warung dengan beberapa pengunjung yang berisik sehingga suara kami terendam di antara gelombang suara mereka. Tapi, tetap saja aku curiga ada yang mendengar.

Beberapa menit kemudian, kami pun pulang.

Aku kembali mengingat bahwa ini adalah es yang berbentuk kereta, takutnya licin. Aku dengan pelan duduk kemudian memeluk punggung Ezekiel, meski terhalang benda itu.

Ketika kereta ini melaju, aku bisa melihat pemandangan kota dengan sedikit jelas, meski harus menyipitkan mata agar tidak diserang angin bertubi-tubi.

Sepertinya benda ajaib ini bukan kejanggalan lagi, karena ketika dikendalikan pun suaranya tidak juga keras hanya seperti kereta kuda meski begitu laju. Yang membuat suaraku tak terdengar tadi hanya karena tamparan angin yang mana sangat menganggu.

Saat melintasi kerumunan, orang-orang di kota ini hanya menoleh sedikit lalu kembali mengurus diri masing-masing. Berarti Ezekiel sudah lama tinggal di sini sehingga orang lain pun terbiasa. Tapi, dengan begini, apa dengan menyamar kesannya percuma? Karena jelas hanya dia yang memakai benda ini. Maksudku dengan nama saja tidak cukup, dia tampak terlalu mengumbar. Aku ingin menanyakan saat kami tiba di rumah nanti.

Kereta pun berhenti.

"Nah, lo bawa duitnya." Ezekiel menyerahkan sekantong uang tadi padaku. "Jangan kasih ke siapa pun, termasuk Safir!"

"Baik." Aku paham mengapa. "Mau ke mana?"

"Bertugas." Dia menjawab sebelum melaju kembali, menghilang di kegelapan malam.