webnovel

Evergreen sang Guardian – 7

Aku terpaku. Tidak tahu harus berbuat apa. Membiarkan darah mereka mengotori lantai dan pakaian. Menyaksikan Evergreen membunuh semua orang selain kamu berdua.

Evergreen membunuh mereka dengan pedang bersimbol singa. Benda itu menari selagi memenggal leher dan menusuk jantung mereka. Habis sudah sekitar dua puluh pelayan. Mayat bergelimpangan sementara Kepala Pelayan berdiri dengan gemetar seperti kami.

Evergreen terengah-engah di antara mayat pelayannya. Ia melirik Kepala Pelayan. "Aku lelah. Siapkan kasurku!"

Wanita malang itu bergegas ke kamar majikannya. Tidak perlu menunggu, dia selesai dan membungkuk hormat ke majikannya.

"Kasur Anda siap, Tuan."

Evergreen melirik kami dan tersenyum. "Ayo, tidur. Jangan begadang!"

Tanpa ditanya lagi, aku bergegas ke kamar kosong yang sudah disediakan. Kamar Michelle ada di sebelah kiriku sementara Evergreen tidur di seberang. Tapi, karena kejadian ini, aku terpaksa tidur bersama kakakku.

Aku tidak bisa membayangkan hidup selama bertahun-tahun dengan sosok seperti ini. Ditambah lagi, perasaan si kepala pelayan menyaksikan anak buahnya dibantai sang majikan. Meski tidak tahu banyak, aku yakin Guardian tidak mungkin sekejam itu.

Michelle memejamkan mata, tapi aku tahu dia masih terjaga, jelas tidak bisa tidur dengan nyaman akibat pertunjukan tadi.

Aku dan Michelle tidur dalam selimut yang sama. Berusaha saling menjaga jika sesuatu berniat menerkam. Di bawah naungan malam yang mencekam, berusaha tertidur barang satu jam saja.

Cukup lama bagiku membiarkan mata akhirnya menyerah dan terpejam. Aku pun terlelap, meski hati gelisah.

***

Nemesis terus menatap Evergreen paginya. Entah terlalu marah untuk bicara atau justru sebaliknya.

Arsene duduk di samping kiriku, sedari tadi menyimak bersama Gill yang tidak kalah canggungnya.

Aku dan Michelle menunduk, begitu juga dengan Gill. Kami berempat hanya diam kala Nemesis menatap tajam Evergreen atas tragedi malam kemarin.

"Mereka menipuku." Evegreen membela diri. "Lagipula, itu Sihir Hitam, bukan?"

Nemesis membalasnya. "Mereka tidak menyakitimu, 'kan?"

"Itu tidak masuk akal," balas Evergreen. "Aku tahu Shan telah susah payah dibangun oleh Raja Suryanta dengan sihir, kemudian hancur dengan Sihir Hitam. Wajar jika kita bunuh semua. Karena tidak ada unsur hitam yang baik."

Kulirik Arsene. Ia tidak membalas.

"Kita bisa biarkan yang lain hidup," ujar Nemesis.

Evergreen mengangkat sebelah alis. "Begitu, ya? Ya sudah. Kalian pakai caramu, aku dengan caraku."

Nemesis menarik napas. "Mister Evergreen, kamu Guardian, tapi sikapmu tidak seperti mereka."

"Kamu punya hak untuk mengatur?" balas Evergreen. "Apa aku merugikanmu?"

Perdebatan pun terus berlanjut, tidak ada yang mau mengalah. Keduanya jago mempertahankan argumen. Keduanya tetap bersikap tenang, tapi aku tahu hati mereka sama panasnya dengan kepalaku.

Arsene menatap Gill. "Giliranku atau kamu?"

Gill berpikir sejenak. "Kamu. Besok aku, lalu Nemy, kemudian Evergreen."

Arsene kemudian menunjukkan secarik kertas padaku dan Michelle. "Kami menemui Zahra kemarin. Dia bukan orang sini."

"Orang mana?" tanyaku.

"Seperti yang dituturkan sebelumnya, Zahra dulu seorang Putri Jin dari Zabuz lalu hidup di Aibarab setelah kerajaan itu runtuh."

Michelle menatap surat itu lekat-lekat. "Pria yang dimaksud itu ..."

"Seorang raja dari Aibarab."

Aku tercengang. Bagaimana bisa kabar hilangnya seorang raja tidak terdengar sampai sini? Apalagi Aibarab itu negeri yang lumayan dikenal.

"Kebetulan, raja itu termasuk Guardian," sahut Gill.

"Khidir, bukan?" Arsene terdengar memastikan.

Gill mengiakan. "Ia pernah mengirim surat tahun lalu padaku, kemudian Arsy. Aku tidak tahu bagaimana caranya."

Arsene menyerahkan surat tadi dan membiarkan kami membaca. Dari segi penampilan, tidak kusangka yang mengirim adalah seorang raja saking sederhananya. Namun, stempel itu jelas memperkuat bukti bahwa benda ini bukan ditulis oleh rakyat jelata. Isinya :

Kepada Arsene Perrier

Dari Safar al-Khidir

Jika kamu tidak lupa, ketahuilah jika aku rekanmu di Shan, salah satu Guardian. Aku kini memimpin Aibarab dan kamu kuterima sebagai sahabat di sana. Pintu gerbang selalu terbuka untukmu.

Jika kamu tahu di mana Pangeran berada, sampaikan kepadaku. Aku dengar dia hidup di tempatmu, Ezilis Utara.

Maaf terkesan tergesa-gesa, pesan ini kukirim sebelum ia bangkit. Kuharap kami pulang membawa kemenangan.

Salam sejahtera bagimu dan seluruh Ezilis.

.

Dan ... Hanya itu.

Aku melirik Arsene yang sedang sibuk mengunyah kue kering di kursi tamu.

"Kamu membalas suratnya?" tanyaku.

"Ya," balasnya. "Jauh sebelum aku menemuimu. Namun, ia belum membalas sampai sekarang."

Aku termenung. Apa yang terjadi padanya? Seharusnya raja itu membalas paling lambat sebulan sebelum runtuhnya Aibarab. Untuk apa dia menyuruh Arsene atau Gill membawaku ke sana? Apa dia lupa kalau seorang raja bisa dengan mudah menjelajah negeri dengan aman?

"Bagaimana dia tahu kalau aku Pangeran?" tanyaku. "Aku lupa tentang kalung ini. Memang, sejak kecil sudah dipakai, tapi ... Aku ragu kalau ini salah."

Arsene menatap kalungku. "Kalung itu ciptaan Monsieur Killearn saat masih hidup di Shan. Dengan bantuan sihir, kalung itu bisa bertemu kembali dengan kalian. Apa pun caranya."

Berarti, kalung ini sudah ada sejak lama.

"Dan kalung itu tidak akan menyala, meski dekat seorang Guardian sekalipun, jika bukan kalian yang pakai," lanjutnya.

"Berarti ..." Michelle menatap kalungnya. "Kami memang benar orang yang dicari?"

Mereka mengiakan, kecuali Nemesis dan Evergreen yang masih asyik berdebat. Gill tampak mendukung vampir itu. Saking pusingnya, aku bahkan tidak bisa menuliskan adegannya lebih rinci. Perdebatan itu menggunakan sejumlah istilah aneh dan kadang mereka bicara terlalu cepat lagi keras hingga lebih seperti binatang berebut makanan alih-alih berdebat.

"Kalian selesai?" Arsene jelas terganggu. Kami semua tidak nyaman melihat kedua makhluk itu saling menyahut, apalagi dengan nada bicara seperti itu.

Evergreen akhirnya mengalihkan perhatian. Kini dia berganti menatap Arsene. "Oh, aku tahu kalian lelah. Tunggu sebentar."

Tanpa menunggu respons, dia tinggalkan kami. Dengan nada sedingin itu, jelas membuatku gemetar. Terbayang kembali malam kemarin. Apa kami terancam?

"Ayo, kabur!" bisik Gill sambil menarik bahu Nemesis. Tampaknya dia tidak takut lagi.

Nemesis justru terlihat tenang, padahal dia yang berdebat. "Kenapa takut?"

"Kamu tidak sadar?" sahut Gill. "Arsene saja ragu kalau dia Guardian, masa kamu biasa saja, sih?"

Aku tahu Gill sama cemasnya, namun tanpa reaksi dari Nemesis maupun Arsene seolah membuat Gill tampak menyedihkan. Kulirik Michelle, gadis itu sama herannya.

"Mister Gillmore," ujar Nemesis. "Kamu mau pergi?"

Gill tidak menjawab.

"Kamu berani mengaku sebagai Guardian, tapi melihatku saja kayang," desis Nemesis.

"Aku tidak kayang!" bantah Gill. "Kamu yang raib lalu muncul begitu saja!"

"Kamu Pengalih-Rupa, bukan? Kenapa tidak dipakai sejak kemarin?" tanya Nemesis.

"Aku kepepet!"

"Kamu malah teriak!"

"Kamu tidak bilang kalau ada Wendigo di belakangku!"

"Apa itu Wendigo?" tanyaku.

Arsene lalu menjelaskan kepadaku.

Wendigo sering disamakan dengan vampir, kendati makhluk itu jauh lebih menjijikan secara fisik dibandingkan vampir. Wendigo memang menghisap darah dan menciptakan makhluk yang sama dengan cara itu, namun penampilannya berbeda. Kurus bagai lidi, wajah seperti tengkorak rusa serta tubuh menjulang melebihi rata-rata tinggi orang Ezilis Utara. Tak pernah kenyang meski sudah memangsa satu desa sekalipun. Aku menarik napas, tak terbayang berapa banyak makhluk mengerikan yang mengancam nyawaku di Ezilis ini. Bagaimana kabar negeri lain? Apa Aibarab juga begitu?

Evergreen kembali muncul membawa sepiring besar daging sapi gemuk.

Ia memegang pisau dan tersenyum. "Siapa yang mau kubantai?"

"Bantu!" koreksi Gill setengah takut.

Evergreen menyeringai. "Ayolah, jangan tegang!"

Ia tersenyum selagi memotong daging itu. Baunya sungguh menggungah selera, membuatku menelan ludah.

Aku perlahan mendekat dan hendak menyentuhnya. Aneh, tidak ada yang mencegah. Mereka seakan tersihir dengan bau itu, duduk lalu menyerahkan piring pada tuan rumah, minta daging itu.

Si tuan rumah dengan pelan memotong dan membagi daging untuk kami semua. Tersenyum melihat tamunya menikmati hidagang spesial kali ini.

Aku tidak pernah makan daging sapi bakar sebelumnya. Aneh, rasanya tidak seperti daging biasa, seperti ada bumbu baru yang dicampurkan. Aku makan dengan lahap, bahkan berebut menghabiskannya bersama yang lain. Sementara si tuan rumah hanya tersenyum melihat tingkah kami.

"Kalian kelaparan," ujar Evergreen. "Apalagi setelah perjalanan jauh ditambah perdebatan tadi. Monsieur Killearn, bagaimana menurutmu?"

Nemesis membalas tanpa mengalihkan pandangan dari daging itu. "Apanya?"

"Masakanku," balas Evergreen. "Asal kalian tahu, aku belajar dari Kepala Pelayan alih-alih dari ibuku. Aku dilarang memasak dulu. Padahal, menurutku itu kegiatan yang menyenangkan. Apalagi saat kalian menikmatinya, aku sungguh tersanjung."

"Tidak buruk," balas Nemesis. "Dari rasa, sepertinya kamu terlatih."

Evergreen tersipu. "Aku memberi kalian makanan paling sederhana yang bisa kubuat. Maaf atas kelalaian pelayanku."

Ia melirik Kepala Pelayan yang sedang mengintip dari balik tirai. Aku seketika cemas. Semoga Evergreen tidak melukainya.

"Ah, besok adalah giliran Mister Perrier menjaga Putri dan Pangeran," kata Nemesis. "Aku butuh bantuanmu mencari sosok yang dicari Zahra."

Evergreen menelengkan kepala. "Siapa?"

Nemesis lalu mendeskripsikan pria yang dicari beserta alasan mengapa Evergreen harus membantu. Zahra bukan manusia, melainkan jin yang sedang mencari ayah angkatnya.

"Begitu?" tanggap Evergreen. "Siapa namanya? Aku seakan kenal."

Hening sejenak. Ada apa? Kenapa semua seketika suram? Kulirik Arsene, pria itu hanya bersedekap tanpa komentar. Ia seolah tidak ingin terlibat.

Pada akhirnya, Arsene yang menjawab. "Raja Safar al-Khidir. Ia salah satu Guardian."