webnovel

Evergreen sang Guardian – 8

"Safar al-Khidir?" Evergreen mengerutkan kening. "Kenapa tidak asing bagiku?"

"Ia seorang raja dari Aibarab," tutur Nemesis. "Zahra mengaku sebagai putri Kerajaan Zabuz dan Aibarab."

"Ah, jadi ada raja dan putri jin di Aibarab?" tanya Evergreen. "Ketahuilah, aku juga sering berurusan dengan jin."

Seluruh tatapan tertuju padanya. Hening mencekam, saling lirik, menunggu. Tiada yang berani bersuara.

"Berurusan dengan jin?" tanya Gill polos.

"Aku bisa melihat mereka meski tanpa izin," ujar Evergreen.

"Makhluk macam apa kau?" Nemesis mengangkat sebelah alis.

"Kamu tidak terlihat seperti sosok yang kauucapkan," timpal Arsene. "Kamu bukan penyihir."

Evergreen memutar bola mata, seolah itu sering ditanyakan. "Aku John Evergreen dari Ezilis Selatan. Kehidupan nyata dan gaib tiada bedanya bagiku. Aku dilahirkan di kerajaan yang tak terlihat."

"Kerajaanmu raib?" tanya Gill.

"Bukan raib, tapi gaib," balas Evergreen. "Aku dilahirkan di kerajaan. Kalau tidak percaya, aku bisa menyuruh anak buahku untuk menampakkan diri."

"Silakan," ujar Nemesis.

Evergreen menjentikkan jari.

Kabut hitam menyelubungi ruang makan. Aku mendekat lalu mencengkeram jubah Arsene, takut diculik di tengah kegelapan. Ia pun melingkarkan tangan ke bahu, bagai benteng pelindung.

Kabut itu terkikis, muncul sosok pria. Aku mengenalnya, orang pertama yang kujumpai di Ezilis.

"Kau," desis Arsene.

Aku menelan ludah, berharap ia tidak melihatku walau jelas aku berdiri tepat di depannya.

Pria itu berlutut. "Apa maumu, John?"

Nada bicaranya pun terkesan kasar. Aku masih tidak paham kenapa ia menyerangku beberapa hari yang lalu.

"Kamu sudah menemukan apa yang kucari?" tanya Evergreen.

"Salah satu dari kami, Lucius, sedang membawanya," jelasnya. "Apa lagi perintahmu, Yang Mulia?"

Ia ubah nada bicaranya? Aku tidak bermaksud untuk merendahkan, melainkan heran. Itu justru membuatku semakin curiga dengan Evergreen.

Evergreen melirik kami. "Perkenalkan dirimu!"

Ia perlahan berdiri. "Aku Silvius, vampir yang mengabdi pada John Evergreen."

Arsene mengatupkan rahang, aku jelas sependapat. Kami sama-sama skeptis namun tidak berkutik.

"Bagus! Kamu boleh pergi," balas Evergreen.

"Tunggu!" cegah Nemesis. "Kamu tidak mau bantu cari Khidir?"

Silvius melirik Evergreen. Pria itu menatap dingin tanpa suara. Seakan paham, ia langsung menggeleng cepat.

"Maaf, Tuan, aku tidak bisa," ujarnya. "Yang Mulia saja kesusahan, apalagi aku."

"Aneh," komentar Gill. "Bukannya penyihir itu bisa dengan mudah mencari seseorang? Ayolah, ini demi Putri Jin juga."

"Putri Jin?" Silvius mengerutkan kening. "Aku tidak ada urusan dengannya."

Gill menyela. "Tapi–"

"Kamu pulanglah, Silvius," potong Evergreen. "Biar aku urus yang lain."

"Baik, Tuan."

Silvius seketika raib tanpa pamit. Menyisakan kabut hitam yang perlahan terkikis dituip angin.

Kami dibuat bingung dengannya.

"Hei, kamu tidak mau bantu?" Nemesis jelas jengkel. "Dia bisa bantu mencari Khidir!"

Evergreen meliriknya. "Ia tidak di sini."

"Apa?" Aku refleks bertanya.

"Ia tidak di sini," ulang Evergreen. "Dan kalian tidak perlu mencarinya."

"Zahra sudah jauh-jauh ke sini," ujar Arsene. Jelas keberatan dan tidak nyaman kalau tidak membantu.

"Biar aku bicara padanya," ujar Evergreen. "Agar dia paham mengapa dia harus melupakannya."

Melupakan? Apa tidak aneh jika seorang anak mencemaskan orangtuanya? Kenapa harus melupakan?

Kulirik Arsene, tidak ada komentar.

***

Rencananya cukup sederhana, Evergreen akan menyuruhku sebagai saksi sementara ia yang bicara pada Zahra. Aku merasa aneh, kali pertama disuruh menulis kisahnya serinci mungkin selama mendampingi Evergreen. Kusampaikan keberatan tadi padanya saat itu juga.

"Kamu benar," ujar Evergreen. "Kita butuh satu Guardian."

Ia menatao sekeliling. Dari Arsene, Nemesis dan Gill. Aku yakin siapa yang akan dipilih.

–"Gillmore."

"Apa?!" Gill refleks berdiri dan mundur. Sangat tidak terima hingga suaranya melengking sedikit. "Kenapa aku?"

"Kenapa tidak?"

Balasan itu seketika membungkam Gill. Kedua Guardian lain hanya saling tatap, tidak tahu harus berbuat apa.

"Kenapa bukan Arsy atau Nemy?" tawar Gill. "Keduanya jelas lebih kuat."

"Aku tahu kemarin kalian terluka," ujar Evergreen. "Sementara Gillmore hanya mengalami gejolak batin."

Gill menarik napas. "Jamin aku dulu!"

"Tentu."

Arsene melirikku lalu beralih ke Evergreen. "Izinkan aku ikut. Aku akan menjaganya."

Gill tersenyum lega.

"Hanya Gillmore," ujar Evergreen. Yang membuat senyum manis Gill seketika luntur. "Kamu masih kelelahan akibat insiden kemarin, bukan? Kalian diserang oleh vampir."

"Bukan masalah," balas Arsene. "Aku hanya ingin menjaga."

Evergreen menyeringai. "Ah, seorang ayah yang mencemaskan putranya. Ya, kenapa tidak coba berpisah sebentar? Kamu tahu, temanmu ini juga bagus dalam mengasuh anak."

Arsene menatap dingin Gill. Sepertinya masih curiga soal "mengajari cara mengejek" beberapa hari lalu.

Gill menatap kami semua, tampak memelas.

Evergreen tentu menyadarinya. "Kenapa takut? Bukankah kamu Guardian?"

"Aku akan menjaga Pangeran dan Putri di sini sementara kamu dan yang lain menemui Putri Zahra. Kalian bisa cari saksi antara Arsy atau Nemy," tawar Gill. "Bagaimana?"

Evergreen tertegun sejenak. Ia jelas keberatan.

Hening lama mencekam. Tidak kusangka Gill masih kuat menatap Evergreen yang bahkan tidak berkutik. Aku yakin Gill bahkan tidak berkedip selama beberapa menit menatap.

Evergreen akhirnya membuka suara. "Keputusanku sudah bulat."

***

Ujungnya, aku, Gill dan Evergreen tetap pergi ke rumah Zahra. Meski Gill jelas keberatan dan berjuang menyampaikan argumen hebat sekalipun, Evergreen tetap tidak mendengar.

"Aku punya rencana untuk Mister Perrier dan Killearn," kata Evergreen merujuk pada Arsene dan Nemesis. "Keduanya akan mencari Count Wynter dan memberitahu alamatnya padaku. Michelle jadi saksi. Sementara kamu–Remi–menjadi saksi dan Gillmore akan menjagamu."

Aku mengangguk patuh.

"Apa urusanmu dengan Wynter?" tanya Gill. "Kalau tidak salah, dia sudah tahu Aibarab akan runtuh dari putrinya, sehingga pindah ke sini."

Evergreen tiba-tiba menghentikan langkah. Rumah orang yang dicari sebenarnya lumayan jauh, namun entah kenapa pria itu lebih mau berjalan kaki alih-alih menyewa kereta.

"Putrinya?" beo Evergreen.

Gill mengiakan.

"Kapan dia pindah?"

"Katanya sebulan sebelum Aibarab hancur."

"Dan dia tidak beri tahu siapapun?" Evergreen mengatupkan rahang.

"Mungkin." Gill mengangkat bahu. "Yang pasti, hanya keluarganya."

"Tahu dari mana?"

"Yah, anaknya memberitahu."

Tidak kusangka, Evergreen terkesiap. "Anak?"

"Dia punya tujuh anak." Gill yang malah tampak bingung, seolah Evergreen sudah ketinggalan zaman. "Masa kamu tidak tahu?"

"Bukan itu," balasnya. "Anaknya yang mana?"

"Anak ketiga, Akram Wynter."