webnovel

Evergreen sang Guardian – 6

Dahan raksasa membelah jarak antara kami. Tidak ada yang terluka, semua hanya mundur selangkah atau malah terduduk.

Evergreen berdiri di depan sementara kami berdiri terpaku.

Terlihat jelas dari wajah mereka, jika Evergreen tidak asing lagi. Mereka diam seribu bahasa sambil menunduk, kecuali seorang wanita yang malah menatapnya sinis.

"Apa maumu?!" seru si wanita pucat dengan kesal. Kalau kuperhatikan, rambutnya cokelat tua sementara matanya kuning. "Kamu menyuruh kami ke sini untuk bu–"

"Tunduk!" titahnya.

Rangkaian sulur mengikat kedua tangan wanita itu lalu menarik paksa ke tanah, yang membuatnya tampak seolah-olah membungkuk.

Dia masih saja berani. "Kamu yang–"

Dia mendapat teguran dari pria di sampingnya. "Hei, jangan terlalu keras!"

Wanita itu diam saja. Aku kenal pria yang ternyata kenalannya, Arsene juga mengenalnya. Kami bertemu di pusat perbelanjaan waktu itu.

Salah satu pemuda bersuara. "Ka ... Kami berjanji tidak akan mengulanginya, Tuan. Kami tidak bermaksud–"

"Siapa yang menyuruhmu bicara?" balas Evergreen. "Kalian punya mata? Bisa melihat? Lupa kalau aku punya tanggung jawab di sini?"

Hening.

"Maafkan kami, Tuan," bisik pemuda itu lirih.

Tuan?

Kulirik punggung Evergreen. Dari posturnya, aku tidak akan kaget jika dia memimpin sekelompok orang. Tapi, tidak terbayang seperti ini. Mereka tampak berbeda dari kami semua, sepertinya mereka vampir. Dari obrolannya beberapa waktu lalu, seharusnya Evergreen tidak memberi ampun pada mereka.

Kuperhatikan orang-orang itu satu per satu. Ada empat ; tiga pria dan seorang wanita. Hanya wanita itu yang tampak biasa saja meski tengah dijerat paksa.

"Kalian lupa jasaku? Tanpaku, kalian sudah mati dengan hina," balas Evergreen. "Aku raja kalian. Akulah yang menjaga agar kalian tetap bertahan. Ini balasannya?"

Salah satu pria menggeram. "Kamu memperalat kami."

Mulutnya ditutupi sulur.

Aku kenal sosok itu. Sosok pertama yang kutemui di Ezilis, yang nyaris membunuhku. Sosok paling tinggi di antara mereka. Barangkali, itu ketuanya.

Evergreen meletakan telunjuk di depan mulutnya sebagai isyarat diam. Dia dekati pria itu. Dapat kudengar suaranya yang lembut bagai desiran angin.

"Lihat mataku!" titahnya. "Apa yang kaulihat? Apa aku tampak seperti orang gila? Aku rela berkoban banyak padamu. Kuserahkan sebagian kekuatan yang malah kaupakai untuk berfoya-foya. Aku bahkan membiarkan kakimu mengotori rumahku!"

Meski suaranya tetap tenang, aku tahu betul Evergreen tengah murka.

Vampir itu hanya diam, menolak kontak mata dengan sosok itu. Tunggu, apa Evergreen itu seorang ...

"Yang Mulia," bisik si pemuda sebelahnya. Ia yang paling rendah di antara mereka selain sang wanita. "Kumohon, beri kami kesempatan sekali lagi untuk menjalankan tugas! Kami berjanji tidak akan melukai kedua anak itu!"

"Begitu, ya?" balas Evergreen. "Beritahu kabar tentang Kerajaan Aibarab!"

"Terakhir kami tahu kedua negeri itu meledak dalam satu malam," jelas si pemuda yang aku kenal malam itu.

"Kalau Zahra?" tanya Evergreen.

Ah, aku ingat percakapan terakhir Arsene dengan Evergreen sebelum dia mengizinkan kami masuk ke rumahnya.

"Kalian mau ke mana?" tanya Evergreen.

Arsene hanya membalas. "Tugasmu menjaga mereka. Cukup kami yang tahu."

"Kenapa begitu?" Evergreen jelas tersinggung. "Apa salahnya jika aku tahu?"

Arsene membalas lagi. "Aku tidak mau merepotkan. Cukup jaga Remi dan Michelle untuk kami, itu saja."

Evergreen mengalah lalu menyuruh kami datang beberapa menit setelahnya.

Arsene seolah sengaja menyembunyikan fakta jika mereka tengah mencari Zahra.

"Kami tidak tahu di mana dia berada," jawab salah satu dari mereka yang paling kecil.

"Jasadnya?" tanya Evergreen.

Mereka diam saja.

"Kalau begitu, sampai di sini saja. Jangan lupa, bawakan dua gadis asal Kikiro itu," ucap Evergreen. "Aku sangat membutuhkan mereka."

"Kami mendengar dan patuh!" sahut salah satu vampir mewakili kawanannya.

"Baguslah." Evergreen melepas kekuatannya.

Wanita itu dilepaskan dari jeratan. Dia langsung membungkuk hormat.

"Pergi dan cari mereka!" titah Evergreen.

Ucapannya langsung dibalas dengan bubarnya para makhluk yang tidak jelas statusnya itu, setidaknya bagiku. Lenyap bersama angin.

Aku hendak mengatakan yang sebenarnya. Tapi, kurasa diam adalah yang terbaik. Jika Arsene saja merahasiakan, maka kewajibanku adalah menjaganya.

Michelle masih berdiri di depanku, tidak mengeluarkan sepatah kata. Diam seribu bahasa, menoleh saja tidak.

"John?" Aku memanggil. "Kamu ... Seorang raja?"

Evergreen menjawab tanpa menoleh. "Ya."

Raja?

"Maaf atas kekacauan tadi," ujar Evergreen. "Mereka memang begitu."

Aku mengiakan. "Kamu raja mana?"

Dia menyeringai. "Korban dari hancurnya sebuah negeri, akibat kebodohan seseorang."

"Siapa ... Kamu?" bisikku lirih.

"Aku Guardian, wali kalian," balasnya. Wajah Evergreen melembut kembali.

"Ayo, pulang. Aku tidak nyaman di sini!" pinta Michelle.

Evergreen tersenyum. "Ayo!"

***

Evergreen kembali menggandeng kami dan tidak mau melepasnya, seakan kami hendak kabur, sambil mengayunkannya dengan pelan. Kubiarkan Evergreen melakukannya dengan ceria, sifatnya itu jelas membuatku semakin penasaran dengan sosoknya.

"Kalian lelah, ya?" tegur Evergreen.

Michelle masih saja diam, aku tahu ada yang salah. Barangkali mengingat sesuatu di masa lalu. Atau dia sadar jika ...

Aku menggeleng. "Kamu bisa ya, tetap ceria walau mereka ..." Aku ragu meneruskan.

"Mereka hanya makhluk labil," sahut Evergreen. "Tidak menggigit."

"Kamu bisa ceritakan tentang Aibarab?" tanya Michelle.

Evergreen tersenyum. "Nanti, setelah makan malam."

Kami kembali berjalan ke gang menuju perumahan. Evergreen tiba-tiba melepas genggaman lalu memimpin jalan. Aku menyusul dengan waspada, dapat kurasakan kejanggalan. Kulirik Michelle yang berjalan dengan pelan namun tak gentar. Barangkali karena dia lebih berpengalaman dariku.

Evergreen seketika mematung.

"John?" Aku heran.

Dia berbisik. "Kalian diam saja di sini. Ada yang ingin kuurus."

Tanpa menunggu lagi, Evergreen berlari ke samping kiri, sumber suara tadi. Aku malah menengok saking penasarannya, mengabaikan teguran Michelle yang berjuang menarikku menjauh.

Terlihat lelaki pucat yang kami temui sore itu, salah satu antek-antek Evergreen, duduk bersandar di dinding sambil menatap ngeri Evergreen.

Evergreen berlutut hingga wajah mereka sejajar. "Jadi, kamu sudah dapatkan apa yang kuinginkan?"

Bibirnya bergetar. "Aku ..."

"Jika kaugagal, tidak masalah," balas Evergreen. "Aku bisa memberimu kesempatan ketiga."

"Tidak!" Ia memberanikan diri menatap mata Evergreen. "Aku tidak akan menangkap mereka!"

"Begitu?" Evergreen menghela napas. Ia terdengar kecewa.

"Pemburu Vampir sudah tahu ciri-cirimu, tamat sudah riwayatmu, Evergreen." Ia menyeringai penuh kemenangan.

Ah, pasti mengacu pada Arsene.

Seringainya dibalas dengan senyuman manis Evergreen, seakan melenyapkan harapan vampir itu. Aku yang menyaksikan turut gelisah.

"Kamu terlambat, Lucius." Evergreen tersenyum. "Ia rekanku dan tidak ada alasan baginya untuk membunuhku."

Bibirnya bergetar pelan, menatap lurus ke mata Evergreen. "Mu ... Mustahil!"

Evergreen meletakkan telunjuknya ke mulut. "Tugasku membantai Sihir Hitam, termasuk kaum vampir. Di masa lalu, bangsamu telah banyak merusak dan menyebarkan wabah di Ezilis. Tapi, tidak denganmu."

"Apa maumu?" tanya Lucius.

"Kamu kuberi dua pilihan." Evergreen meletakan telunjuk di dahi pria itu. "Menyerahkan diri atau membantuku."

Hening sejenak.

Kulirik Michelle yang berdiri di samping, tampak sama cemasnya. Kami menunggu keputusan Lucius selama beberapa menit. Evergreen dengan sabar menunggu, terus memandang wajahnya seakan takut jika ia sewaktu-waktu kabur.

"Aku ..." Baru saja Lucius hendak bersuara, seseorang memotong.

"Kamu jangan sok berkuasa di sini!" Terdengar suara wanita yang kukenali, salah satu dari mereka juga. Rambut cokelat dengan mata emas. Wanita tadi. "Lepaskan dia!"

Evergreen berpaling, wajahnya mendadak mengeras. Ia menatap sinis wanita itu. "Hei, kamu tidak bosan menganggu?"

"Menganggu?" sahut wanita itu. "Kamu bicara seolah kamu yang punya kuasa, Monsieur."

Vampir tadi berlari menyelamatkan diri begitu melihat kesempatan. Evergreen hanya menatap tanpa berbuat banyak. Aku sedikit lega, ia tidak terbunuh hari ini.

"Dasar," decak Evergreen. "Aku menyelamatkan kalian dari keruntuhan Shan dan ini balasannya?"

Wanita itu tidak membalas.

Kulirik langit, perlahan mulai senja dan sebentar lagi malam. Aku cemas, apa kami tidak dicari nanti? Michelle tampak lebih gelisah dariku, terpaksa kudekati lalu berbisik untuk menghibur.

"Kakak?" tegurku.

Michelle terkejut. "Kakak?"

"Ya, bukannya kita bersaudara di kehidupan sebelumnya?" balasku. "Kakak takut?"

Michelle tersenyum tipis. "Aku tahu ada yang salah dengan pria ini. Ia memang Guardian, tapi ..."

Kulirik punggung Evergreen, sekilas memang tampak seperti pria biasa, namun ia seorang penyihir sekaligus Pengalih-Rupa. Suatu kekuatan yang belum pernah kudengar sebelumnya, ditambah lagi statusnya yang lumayan tinggi. Bisa jadi dia pangeran Ezilis.

"Pernah berkaca?" balas Evergreen sinis. "Kamu sebenarnya lebih hina dariku. Aku gabungan dari hal yang nyaris sempurna. Kamu hanya satu dan kekuatanmu masih standar, ditambah statusmu di masyarakat masih rendah. Apa lagi?"

Wanita itu mendengkus. "Daripada kamu, sosok paling munafik yang pernah kukenal."

"Kalian mengaku tahu segalanya, tapi nyaris membunuh Pangeran dan Putri. Beruntung aku melihat."

Dia mengangkat sebelah alisnya. "Kamu tidak memberitahu."

"Ya, bertanya!" balas Evergreen, nadanya mulai meninggi. "Memang penampilan mereka pasaran. Tapi, target kita tidak memakai kalung dan lebih tinggi dari kita semua. Lagipula, sosok yang dimaksud itu juga Pengalih-Rupa sekaligus penyihir."

Hm, bisa jadi ia lebih kuat dibandingkan Evergreen.

Wanita itu tergelak. "Pengalih-Rupa sekaligus penyihir? Dari ukuran, ia pasti mencolok dan mudah ditemukan di kerumunan. Kalian bermasalah? Jangan bilang itu soal mulut pedasmu."

"Ia musuhku," jawab Evergreen. "Nyaris membunuhku di masa lalu. Namun, ia sahabat ayahku, Raja Rajab el-Khalil."

Michelle terkesiap, beruntung hanya aku yang mendengar.

Michelle berbisik. "Itu ayahnya ... Khidir?"

Khidir ... Tahu dari mana? Kenapa Michelle bisa ingat?

"Jadi, kamu sibuk malam ini?" tanya si wanita. "Aku menemukan sarang baru untuk kita. Kebetulan suamiku juga dapat kabar baru."

"Aku harus menjaga Putri dan Pangeran," balas Evergreen. "Barangkali besok."

"Kami akan menunggumu di pasar," balas wanita itu. "Jangan lupa, sampaikan maaf suamiku pada Pangeran dan Monsieur Perrier."

***

Evergreen mendekat setelah wanita itu pamit. Kami langsung kembali ke tempat dan berpura-pura bosan. Aku duduk di atas wadah sampah yang tertutup sementara Michelle bersandar di dinding.

"Maaf lama," kata Evergreen. "Kalian lapar? Aku bisa menyajikan makan malam lezat untuk kalian."

"Mau!" balasku antusias, berusaha menutupi rasa penasaranku akan asal usul pria ini.

"Ah ya, kamu ingat pria yang menyerangmu di hutan dulu?" tanya Evergreen.

"Tidak juga," balasku. "Ada apa?"

"Dia meminta maaf, salah orang."

Aku hanya mengiakan. Fakta kalau dia nyaris membunuh kami waktu itu tidak membuatku mau memaafkan sepenuhnya.

"Kamu kenal?" tanya Michelle.

Evergreen mengiakan. "Ya. Salah satu dari mereka tadi."

Kami melanjutkan langkah tanpa banyak bicara. Evergreen sengaja melintasi pasar alih-alih berjalan ke gang sepi, jalan tembus katanya. Tempat itu lebih ramai dan lumayan aman, di sisi lain juga membuatku gelisah. Kejadian beberapa malam lalu masih menghantui.

"Kalian tidak mau belanja?" tawar Evergreen.

"Mau!" balasku. "Aku mau beli cemilan di sana."

Michelle menatapku, seolah heran dengan tingkahku.

Evergreen membiarkanku menarik tangannya ke tempat yang dimaksud. Aku ambil beberapa dan menyerahkan sebagian untuk Michelle.

Michelle mengambil satu permen dan mengemutnya. "Tidak masalah kalau kita pulang telat?"

"Aku ada di sini," balas Evergreen. "Apa yang perlu ditakutkan?"

"Tolong ...!"

Jeritan memecah kesunyian.

Kami lirik ke sumber suara, tepat di belakang. Aku menelan ludah, sudah menebak apa yang terjadi.

Seorang pria menggigit leher pemuda di sampingnya. Darah muncrat mengotori tanah, menciptakan suasana mencekam. Tiada yang berani melawan vampir, terutama pada malam hari.

Evergreen menggerakkan jemari. Muncul sulur demi sulur mengikat vampir itu. Perlahan, gigitannya terlepas dan pemuda itu berhasil menjauh.

... Lagi-lagi, dikejar sebagian orang demi mencegah perubahan. Dia yang telah terinfeksi harus dihindari.

Sebagian lain diam menatap vampir yang terkekang.

"Baru terbenam, sudah muncul," keluh Evergreen. "Cari mati?"

Vampir itu menatap tajam Evergreen. Tubuhnya terikat sulur dan dahan hingga membuatnya tampak seperti telur gulung. Mulut penuh darah segar, napas tersengal-sengal diselingi geraman. Kerumunan menjauh kala Evergreen mendekat hingga hampir tidak ada jarak antara mereka.

Evergreen tertawa pelan. "Kamu merusak suasana."

Tangan kanannya dipenuhi sisik ungu dan membesar, kukunya memanjang menjadi cakar. Ia pegang kepala vampir itu dan–

Krak!

–menghancurkannya.

Kami terdiam, tiada yang berani bersuara.

Evergreen berdecak, tatap tangannya yang berdarah. "Ia kotori tanganku."

Kulirik Michelle, dia juga menatapku. Kami sama-sama bingung harus menyahut apa. Tidak ada suara lain selain napas kerumunan termasuk kami berdua.

Evergreen menghampiri kami. "Kalian pulanglah duluan."

"Kamu tidak ikut?" tanyaku.

"Aku ada urusan," balas Evergreen. "Apalagi soal tadi, aku merasa bertanggung jawab."

"Kamu akan menyusul?" Aku jelas cemas. Apa ia lupa jika kami harus dijaga? Apalagi untuk anak seusiaku yang rentan diculik.

Evergreen tetap tersenyum. "Jangan cemas, kuserahkan semua pada polisi. Aku hanya ingin membantu mereka. Kalian pulanglah, biar pelayanku menjagamu, jaraknya sangat dekat menuju rumahku."

***

Michelle memimpin jalan sementara aku sesekali menoleh saking takutnya. Cemas jika sesuatu mengincar. Jika benar kami aman tanpanya, mengapa aku merasa gelisah?

"Kakak."

"Panggil aku Michelle," potong Michelle. "Aku masih canggung."

"Baik, Kakak Michelle," balasku. "Kamu yakin kita bisa pulang dengan aman tanpa John?"

"Kuharap," balasnya. "Sebentar lagi sampai, semoga."

"Jangan bilang Kakak lupa jalannya."

"Tidak juga. Sedikit lagi, bakal muncul rumah mewahnya."

Kami meneruskan langkah hingga tiba di depan rumah Evergreen. Beberapa orang berdiri menghadang dengan cemas. Jelas tahu perintah majikan mereka.

"Selamat datang."

Dia sambut kami dengan suara yang pelan seolah takut terdengar, lalu menuntun kami masuk dan mengunci pintu. Setelah lama berdiri canggung, akhirnya salah satu dari mereka membuka mulut.

"Apa Tuan Evergreen membunuh hari ini?" tanya seorang wanita. Dari pakaian, sepertinya dia kepala pelayan.

Kami mengiakan.

Wanita itu menarik napas. "Jangan bilang kalau beberapa dari kami adalah vampir."

"Kalau begitu, jangan beritahu kami," balas Michelle. Benar juga.

Wanita itu tercekat. "Aku ... Tidak bisa menahan diri."

Beberapa pelayan saling lirik. Semua memiliki kulit pucat, cukup sulit membedakan mana vampir dengan penduduk Ezilis biasa, termasuk aku. Hanya Michelle yang berkulit kuning langsat di ruangan ini. Bahkan Evergreen saja juga pucat.

"Kalian menipuku."

Suara itu membuat bulu kudukku meremang.

Kami menoleh ke sumber suara, lebih tepatnya di sofa.

.

.

.

Evergreen duduk santai di sana. Menatap kami dengan dingin. Suasana seketika mencekam.

"Kubiarkan kalian mengotori lantai rumahku hingga mengorbankan privasi sebagai Pemburu Sihir. Ini balasannya?" lanjutnya. Meski suaranya selembut sutra, tetap membuatku bergidik.

Hening.

"Ada kata perpisahan?" tanya Evergreen.

Mereka saling tatap, jelas takut dan ragu. Aku jadi iba. Evergreen dengan kejam memecat hanya karena tahu status mereka.

"Kalian mau saja membiarkan Sihir Hitam mendekam di sini, mengotori jiwa kalian yang malang," lanjut Evergreen. "Kenapa tidak bunuh saja? Kalian akan mengurangi deritanya."

Aku jadi teringat Arsene. Apa ia tahu soal itu? Atau malah ...

Tak sengaja, aku mendengar suara seorang pemuda.

"Mudah bagimu mengucapkannya, padahal ... "

"Mudah bagimu mengucapkannya, padahal ... Apa? Teruskan!" Evergreen memicingkan mata ke arah pemuda itu.

Pemuda itu menatap tajam majikannya. "Kamu tidak tahu jika mereka juga punya hati? Tidak semua pengguna Sihir Hitam itu jahat!"

"Oh, kamu membelanya?" sahut Evergreen. "Pasti kamu bagian darinya."

"Aku tidak bermaksud begitu!" sahutnya. "Kamu harus tahu, jika tidak semua Sihir Hitam itu jahat. Apa jadinya jika rekanmu termasuk dari mereka?"

Evergreen menyeringai. "Jika aku tahu, aku akan membuatnya menderita hingga tewas dengan sendirinya."

Aku gentar, mencemaskan pelindungku yang lain. Kuharap Evergreen tidak menemukannya lagi atau tidak akan tahu.

Kulirik Michelle, jelas mengkhawatirkan Nemesis yang juga vampir. Duh, kuharap ia tidak akan tahu!

"A ... Aku berjanji tidak akan meminum darah!" seru seorang gadis di antara mereka. "Aku janji, Tuan!"

Evergreen menatapnya dingin. "Maaf."

Krak!

Sebuah dahan menusuk dadanya dari belakang, seketika itu juga suasana ricuh menyaksikan kematiannya.

"Aku tahu ada banyak vampir di sini." Evergreen melirik sekitar. "Ada lagi?"

Pemuda tadi langsung berlari secepat kilat. Melompati setiap rintangan berupa meja dan kursi yang tertata rapi.

Krak!

Ia juga tewas dimangsa tumbuhan pemakan serangga yang besarnya melebihi kami semua. Aku terbalak menyaksikan darah menetes di taringnya. Terdengar jeritan Michelle hingga gadis itu mundur selangkah.

Michelle refleks memelukku erat, seakan tidak ingin aku jadi korban selanjutnya. Aku balas pelukan kakakku, berniat menenangkan. Kami berdua gemetar menyaksikan tragedi ini. Terlebih jika pelakunya seseorang yang seharusnya kami percaya.

"Siapa lagi?" tantang Evergreen.

Seorang wanita menyahut. "Beri aku kesempatan, Tuan! Aku memang Penyihir Hitam, tapi kekuatanku digunakan untuk melindungimu."

"Kamu jangan menipuku!" bentak Evergreen, meski suaranya hanya sedikit meninggi. "Sejak kapan kamu peduli? Aku tahu kamu menaruh dendam atas kematian adikmu karenaku, bukan?"

Wanita itu terdiam.

"Kalian telah melanggar janji dan membuatku malu," ujar Evergreen.

"Ampun, Tuan!" seru Kepala Pelayan.

"Mengampuni adalah urusanmu dengan-Nya, dan aku akan membantumu menemui-Nya!"

Saat itulah pandangan kami tersapu oleh sulur dan jeritan memenuhi telinga. Aku dan Michelle berpelukan, saling melindungi di tengah kekacauan.

"Kalian harus mati!"