webnovel

Bab 14. Calon Mantu

"Putriii, sayang! Ibu kangen banget sama kamu!" teriak ibu Reyhan begitu mereka memasuki rumah.

Ibu Reyhan langsung berlari kecil untuk menyambut Putri, dan memeluk gadis yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri itu.

"Putri juga kangen, Ibu sehat, 'kan?" sahut Putri dengan senyum merekah.

"Sehat dong, sayang! Yuk, kamu istirahat dulu, pasti capek ya duduk di mobil lama-lama?"

"Enggak kok, Bu!"

Ibu Reyhan langsung mengajak Putri ke ruang keluarga, dan menyajikan minuman segar untuk sang putri.

"Ayah di mana, Bu? Tadi Putri lihat, kamarnya kosong," ucap Putri setelah meneguk minumannya.

"Ayah lagi mandi, ingin kelihatan sehat di depan mantu, katanya!"

Putri langsung tersenyum lebar ke arah ibu Reyhan, meski dalam hatinya ia menjerit pilu.

"Kamu di sana baik-baik aja, 'kan? Kok sekarang jarang telepon?"

"Belakangan ini kerjaan Putri lagi banyak, Bu. Jadi, jarang pegang handphone."

Ibu Reyhan mengangguk pelan. Senyuman penuh kebahagiaan tak henti terpancar dari wajah cantiknya.

"Reyhan baik sama kamu, 'kan? Di sana, dia nggak neko-neko, 'kan?"

Ingin rasanya Putri menangis mendengar pertanyaan ibu Reyhan. Ingin rasanya ia mencurahkan isi hatinya, betapa terlukanya ia karena penghianatan Reyhan. Akan tetapi, tidak mungkin ia melakukan itu. Ia tidak akan tega melihat keluarga yang sangat disayanginya menjadi kecewa.

"Put, kok kamu malah bengong? Semua baik-baik aja, 'kan?"

Putri mencoba sebisa mungkin untuk tersenyum, meski ia tidak yakin senyuman macam apa yang terbit di wajahnya kini.

"Semua baik-baik saja, Bu. Rey juga baik, seperti biasa," ucap Putri pada akhirnya.

"Ya udah, syukurlah kalau memang gitu. Kalau dia sampai nyakitin kamu, kamu jangan ragu untuk bilang ke ibu, ya!?"

Putri hanya bisa mengangguk pelan mengiyakan ucapan ibu Reyhan.

"Putri," panggil ayah Reyhan yang baru saja keluar dari kamar.

Putri pun menghampiri ayah Reyhan, dan memeluknya. Bagaimana pun juga, Putri memang sudah menganggap kedua orang tua Reyhan sebagai orang tuanya sendiri.

"Ayah senang lihat kamu di sini, kangen lho ayah sama kamu!"

"Putri juga kangen sama Ayah. Kata Rey, Ayah lagi sakit, ya?"

Putri melepaskan pelukannya, dan menatap lekat-lekat pria tua itu.

"Lihat kamu, ayah langsung sehat! Kamu sudah makan?"

***

"Thanks, ya."

Putri menoleh saat terdengar suara Reyhan dari belakangnya. Gadis itu pun menoleh, dan tersenyum kecut melihat pria itu berdiri di ambang pintu balkon kamar.

"Next time, kalau lo butuh bantuan gue, apa pun itu, gue pasti bantu!" seru Reyhan sambil mendekat. Pria itu duduk di samping Putri.

"Nggak perlu, sebisa mungkin aku nggak mau ada hubungan lagi sama kamu. Jadi, jangan anggap ini sebagai hutang budi."

Reyhan hanya tersenyum miris mendengar jawaban Putri. Sebenci itukah gadis itu padanya?

"Gue janji, akan bilang sama keluarga gue tentang perpisahan kita, biar mereka nggak nyusahin lo lagi."

Putri hanya menghela napas panjang. Ya, apa yang Reyhan ucapkan memang ada benarnya. Bukan ia tidak ingin direpotkan atau apa, ia hanya tidak ingin terus berbohong pada semua orang.

"Ngomong-ngomong, Rey, kenapa sih kamu selingkuh? Kalau kamu nggak suka sama aku, kamu tinggal bilang aja, rasanya gak akan sesakit ini kalau kamu jujur dari awal."

Putri hanya mencoba mengurai rasa sesak di dadanya. Pertanyaan itu terus berputar-putar di otaknya selama ini.

"Ceritanya cukup rumit. Gue nggak bisa cerita ke lo!"

"Kenapa gitu?"

"Jangan tanya!"

Putri langsung merengut kesal. Ia menoleh, dan menatap tajam pria di sebelahnya itu.

"Di sini korbannya aku, lho! Aku berhak tahu!" sungut Putri.

"Lo hanya akan semakin terluka kalau  tahu alasan yang sebenernya." sahut Reyhan dengan raut wajah datar.

'Jadi, ini belum berakhir? Ada luka yang masih belum kurasakan? Apalagi? Sialan!' Putri langsung sibuk dengan pemikirannya sendiri.

"Lagian, sekarang juga lo udah punya pengganti gue, 'kan? Jadi, lebih baik mengubur rapat-rapat masa lalu.

Putri tersenyum sinis, ia lalu mendongak menatap langit.

"Rey, kamu bahagia sama Lusi?" tanya Putri tiba-tiba.

"Kenapa lo nanya gitu?"

"Nyoba mastiin aja! Jangan sampai kamu sia-siain aku hanya untuk perempuan yang gak bisa bikin kamu bahagia."

Reyhan terdiam. Ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya, akan tetapi tidak ada satu pun yang sanggup ia tanyakan.

"Sejauh ini, gue happy sama dia."

"Kamu cinta, sama dia?"

Cinta?

Reyhan memalingkan wajah dari Putri, dan menerawang jauh ke luar balkon.

Apa itu cinta?

Reyhan memang menyukai Lusi, dia adalah gadis baik, dan sangat menyenangkan. Tapi, cinta?

Apakah ia benar-benar mencintai Lusi?

"Menurut lo, apa itu cinta?" tanya Reyhan dengan nada datar.

Putri menggeleng pelan.

"Aku juga nggak tahu. Karena, sebelum ini, satu-satunya orang yang ada di hati dan pikiran aku itu cuma kamu! Aku ingin selalu terlihat cantik di mata kamu, aku belajar masak biar bisa bikinin kamu makanan yang enak dan bergizi, aku ingin nantinya jadi istri kamu, nunggu kamu pulang kerja sambil main sama anak-anakku, jadi temen berbagi suka-dukanya kamu, kayak semua hidup yang aku jalani maunya sama kamu." Putri terkekeh pelan setelah mengatakan semua itu.

Itu menertawakan betapa miris dirinya. Ia terlalu naif.

"Mungkin, karena dari kecil, cuma kamu yang aku lihat, aku ajak main, jadi sampai dewasa pun, aku hanya bisa melihat kamu!" imbuh Putri.

Reyhan hanya terdiam mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulut gadis itu.

Betapa itu berbanding terbalik dengan yang selama ini dia rasakan. Alih-alih menganggap Putri teman dekat, Reyhan hanya menganggap gadis itu sebagai seseorang yang harus ia jaga.

"Tapi, jangan khawatir, itu kan, dulu! Kalau kenyataan ga bisa sesuai dengan apa yang aku harapkan, ya udah, aku akan buang jauh-jauh perasaan itu. Aku cuman sedih aja, kenapa kamu nggak mau jujur sama aku."

"Sorry." hanya kata itu yang mampu Reyhan ucapkan saat ini.

***

Reyhan tersenyum tipis melihat kedua orang tuanya tertawa begitu riangnya bersama Putri. Mereka terlihat sangat menyayangi gadis itu.

"Kamu sering-sering dong pulang, nginep di sini! Rumah terasa hidup kalau ada kamu, Put!" seru ibu Reyhan sambil mengusap-usap lembut punggung tangan Putri.

"Ayah jadi ingin cepat punya cucu, biar kita nggak kesepian ya, Bu. Pasti asik, kalau ada anak kecil yang lari-larian di rumah ini." imbuh ayah Reyhan.

"Betul itu, Yah! Ibu juga udah nggak sabar mau pamer cucu sama temen-temen arisan!"

Putri hanya bisa tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia jadi semakin merasa bersalah kepada keluarga Reyhan.

"Rey, kapan kamu mau nikahin Putri? Kalian ini kan udah lama tunangan, udah mapan juga, jadi nunggu apa lagi?" todong ibu Reyhan.

"Nanti!" sahut Reyhan asal.

"Kalau ditanya orang tua itu yang bener jawabnya! Nanti itu, kapan? Jangan sampai Putri diambil orang ya,  kalau sampai Putri pergi, ibu nggak akan nerima perempuan mana pun buat jadi mantu ibu! Denger itu!"