webnovel

Forgotten Hero

Benci, kesal, marah, dan dendam, itulah yang tengah aku rasakan saat ini. "K-kau.. kau itu mesum, tidak tahu diri, dan tidak sadar terhadap apa yang aku berikan kepadamu. Tetapi kini.. kini kau.. kau mengkhianati ku!" Wajahku hanya menunduk ke bawah. Saking takutnya terhadap sang Raja, aku jadi tidak berani melihatnya. Tetapi... tetapi... "Penjaga. Cepat, usir orang ini! Jika tidak, maka tempat ini akan jadi berbahaya oleh orang seperti dirinya." Tegas sang Raja. Penjaga mulai mendatangi ku. Menaruh beberapa senjata mereka dileher lalu menatapku layaknya buronan mereka. Sementara aku, aku hanya memasang wajah kesal, sedih, dan benci harus berakhir seperti ini. "Berdiri!" *Buk "Aduh!" Keluh ku akan tendangan dari salah satu penjaga mereka. Dengan cepat aku berdiri dengan wajah yang masih menunduk. "Cepat, keluarkan orang itu! Jika dia masih disini, maka aku akan jijik melihatnya." Menggigit kedua gigiku sehingga saling beradu. Di satu sisi aku merasa terpuruk akan semua ini, dan di satu sisi lagi aku merasa bahwa ini semua adalah hal yang menyebalkan. "Cepat, ikuti kami!" Mendorong tubuhku ke depan. Aku hanya bisa parah, menyerah, dan tidak tahu harus melakukan apa. Sementara hatiku, hatiku merasakan seluruh perasaan negatif. Marah, benci, kesal, dendam, bahkan semua emosi negatif menyelimuti perasaan ini. Melewati gerbang istana, lalu kami pun melewati kota-kota kecil ini. "Hei, lihat itu!" "Wah! Ada apa ya kira-kira?" "Mana ku tahu? Tetapi yang jelas, aku rasa ia berbuat salah kepada sang Raja." Cih, kenapa? Kenapa mereka menatapku seperti orang-orang di kastil? Aku.. Alasan aku seperti ini adalah karena pria tua itu. Oleh sebab itu, aku.. aku akan membalas perbuatannya itu nanti. Pikirku dengan rasa benci dan muak yang sudah tidak tertahankan dari lubuk hati terdalam. Genre:Hero, Drama, Shounen, Action, War, Pet, Demon, Kingdom, Psychology.

akiyamashinjo · Fantasy
Not enough ratings
7 Chs

Ch. 3:Ibukota Rimania

Tiga hari telah berlalu. Sejak saat aku berlatih pedang di pelatihan prajurit, akhirnya aku bisa melakukan gerakan yang sama seperti prajurit istana.

Hanya satu masalah yang masih belum aku temukan yaitu kemampuan yang aku miliki. Rifal sendiri menjelaskan kepadaku tentang kemampuan. Dimana ia mengatakan bahwa kemampuan sangatlah berpengaruh besar dalam melawan iblis. Jika kita tidak memilikinya maka itu sama saja seperti bunuh diri.

Jadi jika aku simpulkan dari perkataan Rifal, maka kemungkinan besar kemampuan ini disebut dengan skill. Karena aku pernah memainkan game RPG, jadinya aku tidak terlalu kaget dengan hal seperti ini.

Namun, bagaimana caranya aku mengeluarkan kemampuan yang aku miliki.

Sesaat aku bingung dan heran. Sembari memutar otak dan pikiranku sambil mencari tahu hal itu, aku pun juga mencoba bertanya kepada mereka, orang-orang istana ini tentang kemampuan tersebut. Tetapi kata mereka, mereka tidak tahu. Kemungkinan karena mereka adalah pelayan di istana, sedangkan yang memiliki kemampuan itu adalah sejumlah prajurit, pahlawan, dan beberapa petualang.

Yah, lupakan itu dulu. Karena saat ini..

"Ada apa, Hiragaki?"

Saat ini aku tengah berjalan bersama Airen di ibu kota Rimania. Meski ibu kota ini terlihat kecil, nyatanya penduduk di kota ini sangat ramai.

Melirik satu per satu dari mereka. Beberapa dari mereka ada yang golongan pedagang, golongan bangsawan, dan golongan rakyat rendah. Sementara di satu sisi, aku melihat ada banyak prajurit istana yang bertugas diluar. Mereka tengah berpatroli di sekitar kota agar tidak ada iblis di ibu kota ini.

"Tidak ada apa-apa. Hanya tengah memikirkan latihan yang aku jalani selama ini."

Airen terlihat tidak puas dengan jawabanku. Airen juga memasang wajah bingung terhadap perkataan ku.

"Be-begitu ya. Kalau begitu semangat ya, Hiragaki."

Sikap Airen tiba-tiba berubah drastis. Dari yang bingung dan aneh menjadi Airen biasanya.

"Oh ya, Hiragaki. Apakah ada sesuatu yang kau inginkan?"

Tiba-tiba aku terhenti saat berjalan. Sesaat aku menemukan jalan pikirku yang buntu, tapi aku rasa iti tidak bagus untuk mengatakannya di sini.

"Ada."

"Apa itu?"

Mendekati Airen, lalu mendekatkan bibirku ke telinganya untuk membisikkan sesuatu padanya.

"Aku ingin tahu tentang kemampuan."

"Kemam.. puan?"

Menjauh dari telinganya lalu menatap dirinya. Aku mengangguk pelan pada pertanyaannya tadi. Airen yang mengetahui anggukkan kepalaku tersenyum kecil.

"Hanya itu saja?"

Aku mengangguk pelan padanya dalam diam.

Hening menyelimuti suasana sekitar kami. Aku dan Airen kini terdiam dengan mata saking bertatapan satu sama lain. Aku yang tengah melihatnya dengan wajah kagum, dan ia tengah melihatnya dengan wajah tersenyum kecil.

"Kalau tidak salah, aku pernah ke sana dengan ayah."

Ditengah keheningan tersebut, Airen memecahkan keheningan dengan perkataannya itu. Mendengar kata Airen, tentunta aku tidak akan melewati kesempatan emas ini.

"Benarkah itu? Lalu, dimana itu berada?"

Lagi-lagi ia terdiam dengan senyum yang sama di bibirnya. Tak lama ia tersenyum, tangannya menarik tangan kiri ku. Aku yang masih sempat bingung kini terkaget atas apa yang ia lakukan ini.

"Ayo ikuti aku, Hiragaki!"

"Ba-baik."

Kami berdua berjalan di tengah keramaian ibu kota. Aku yang masih bingung dengan apa yang Airen pikirkan, dan Airen yang tahu semua tempat ini tanpa terkecuali.

*****

Toko Buku, Dimaken.

Aku dan Airen sampai di tempat yang kami tuju. Toko yang terlihat kecil, sempit dan kumuh. Selain itu, toko ini terbuat dari beberapa kayu jati dan cat hijau di seluruh dasarnya, lalu cat putih di garisnya, dan cat merah di sekitar ujung dinding kayunya.

"Cepat masuk, Hiragaki!"

Airen yang berada di depan pintu toko itu memanggilku dan menyuruhku untuk masuk ke dalamnya. Aku sendiri masih bingung dengan toko ini. Karena setahuku, toko ini tidak pantas disebut toko buku melainkan kedai makanan. Selain kecil, sempit dan kumuh, toko ini sangatlah pantas untuk dijadikan sebagai gerai makanan.

"Hei, Airen. Apakah kau yakin ini tempatnya?"

Airen mengangguk dengan wajah gembira dan senang. Aku yang melihat wajah senang Airen pun masih belum bisa mengatakan yang tidak-tidak padanya.

"Cepat masuk, Hiragaki!"

"Tu-tunggu dulu, Airen! A-aku.."

Belum sempat aku selesai bicara, Airen menarik tangan kiri ku lagi. Memaksaku untuk masuk dengan cara seperti itu lalu menunjukan semua itu padaku.

"I-ini..."

"Bagaimana? Indah bukan?"

Aku hanya membalas perkataan Airen dengan anggukan kecil. Mataku yang masih belum puas dengan keindahan didalamnya ini pun terus menatapnya tanpa henti. Disertai dengan rasa kagum, bangga, dan terkejut akan apa yang aku lihat saat ini.

Dinding yang terbuat dari lapisan baja berwarna perak. Rak-rak buku yang sejajar rapih dengan tulisan di sekitar rak buku. Ditambah terdapat beberapa bintang-bintang yang berada di udara. Sementara itu, langit di dalam sini begitu gelap layaknya sudah malam.

"Permisi!"

"Oh, ternyata anda ya, Nyonya Airen."

Wanita yang berada di balik kursi tersebut memutar ke arah Airen. Wanita itu berambut cokelat pendek, dengan manik matanya berwarna oranye tua, dan kacamata satunya berada di mata kiri. Selain itu, wanita itu mengenakan pakaian penyihir. Topi yang berbentuk segitiga panjang dengan garis horizontal berwarna merah dan hitam. Pakaiannya yang terlihat terbuka berwarna ungu, dan garis kuning di beberapa sisi pakaiannya. Lalu rok yang ia kenakan berwarna ungu dan putih. Wanita itu juga mengenakan stocking berwarna hitam sehingga terlihat jelas dari kakinya tersebut.

"Hmmm... siapa kau? Dan, kenapa kau berada di sini, Manusia?"

Manusia? Itu berarti dia..

Perlahan-lahan wajahku menoleh ke arah Airen. Airen yang melihatku pun hanya memasang tawa palsu. Kemudian tawa palsu itu tergantikan dengan wajah sedih dan kecewa.

"Maafkan aku ya, Hiragaki!"

"Aku pikir sudah waktunya kau tahu sesuatu."

Tahu sesuatu? Jadi masih ada yang ia sembunyikan dariku. Jangan bilang yang ia sembunyikan itu adalah...

Melirik ke wanita berpakaian penyihir. Wanita yang aku tatap itu pun menyadari tatapanku. Lalu wanita itu membalas tatapanku dengan wajah tersenyum dan matanya yang seakan-akan merendahkan ku.

"Dia itu adala-"

"Perkenalkan, aku adalah Tinfa Roweldei, salah satu pengikut iblis yang kini menjadi budak dari nyonya Airen."

Budak? Oi, oi, jangan bilang kalau kau juga melakukan itu pada mereka?

Airen yang aku tatap hanya terdiam mematung. Wajah Airen juga menunduk ke bawah sehingga aku tidak dapat melihat tatapannya karena tertutup oleh rambut.

"Maaf ya soal aku mengatakan kalau mereka begitu jahat ya, Hiragaki. Dan juga, maafkan aku tidak menceritakan ini kepadamu saat itu."

Wajah Airen masih tenang dan biasa, namun hanya nada bicaranya yang sedikit berubah menjadi halus.

Perlahan-lahan aku mundur sedikit jauh dari Airen dan wanita itu. Hatiku terasa takut, khawatir, dan cemas terhadap apa yang akan mereka lakukan jika aku tahu hal ini. Selain itu, aku yakin, tidak ada jaminan hidup setelah mengetahui hal ini. Kemungkinan terburuk adalah aku bakal dibunuh oleh wanita itu. Dan kemungkinan satunya lagi ialah aku bakal disiksa oleh Airen dan wanita itu.

"Ara-ara. Kenapa wajahmu terlihat pucat, Manusia?"

Seketika aku mendengar suara wanita itu berada di belakangku. Tanpa aku bisa menoleh, ia kini memeluk seluruh tubuhku. Tubuhku yang tadinya dapat aku gerakan, sekarang tidak dapat aku gerakan.

"Nah, begitulah seharusnya kau diam, Manusia."

*Slurp

Terdengar jilatan lidah dari mulut wanita itu. Aku yang ingin melirik mataku ke arahnya tidak sanggup mendapati wanita itu.

"Ngomong-ngomong, apakah kau pahlawan itu, atau bukan?"

"A-aku.."

Si-sial, nadaku terhenti sampai disini. Sementara aku ingin melanjutkannya, bibirku terasa gemetar untuk mengatakan itu padanya.

"Hentikan itu, Tinfa!"

Wanita itu terhenti ketika mendengar perkataan Airen.

*Swush~

"Jadi, ada apa kau dan Nyonya Airen kemari?"

Wanita itu kembali ke tempat duduknya dan wajah yang biasa masih terlihat jelas di wajah wanita itu. Sedangkan Airen, Airen terlihat menyesal atas apa yang wanita bernama Tinfa itu lakukan kepadaku.

"Kami berdua.. tidak, maksudku, Hiragaki, dia ingin mengetahui kemampuannya. Apakah kau bisa melakukan itu?"

"Itu?"

Airen memandang wajahku sesaat, lalu membalikkan tatapannya ke arah Tinfa. Tinfa yang ditatap Airen pun tersenyum kecil. Wajah Tinfa juga terlihat senang dan bangga terhadap apa yang ia lihat saat ini padaku.

"Baiklah. Tetapi, aku tidak akan menjamin kalau itu dapat mengetahui kemampuan miliknya."

"Baik."

Wajah Tinfa terlihat kesal untuk sesaat oleh Airen. Kemudian ia merubah wajah itu menjadi wajah seperti biasa, senang dan bangga.

Tinfa mendekati tubuhku. Perlahan-lahan ia sentuh seluruh tubuhku dengan teliti. Usai menyentuhnya, is juga menatap mataku dengan tajam dan mendalam. Lalu setelah itu selesai, ia mundur beberapa langkah dan bersiap untuk melakukan sesuatu padaku.

"Langit malam yang penuh kegelapan, datanglah kepadaku, dan berikanlah pria ini sebuah kekuatan. Dengarkan aku, aku di sini memanggilmu hanya untuk memberikan pria ini kekuatan."

*Swom~

Lingkaran besar tiba-tiba muncul dari tanah yang aku pijak. Berwarna hitam gelap dan putih di lingkaran tersebut. Tak hanya itu, terdapat tulisan kuno yang tidak aku mengerti di dalam lingkaran sihir itu.

"Lakukanlah, Spell Reflection!"

*Czzzt, Czzzt~

Percikan kilat mengenai tubuhku. Terasa sakit dan menyakitkan, namun aku berusaha menahan itu semua dengan kedua gigiku yang saling beradu, dan kedua tanganku yang menggenggam dengan erat.

*Czzzzt~

*Bledar!

Seketika kilat besar mengenai ku atas. Tubuhku yang lemah tidak dapat menahan sambaran kilat dari atas. Meski aku pahlawan, kenyataan bahwa aku tidak mampu menahannya adalah tidak terelakkan.

*Gabruk

Tubuhku terhempas ke tanah. Tangan, kaki, bahkan kepalaku tidak dapat aku gerakan untuk beberapa saat, yang aku bisa gerakan hanya kedua bola mataku, itupun aku menatap mereka dengan tajam dan serius.

"Hmmm.. rupanya tidak ada yang spesial darinya, Nyonya Airen."

"Eh?"

"Maksudku ialah orang ini... dia tidak memiliki sedikitpun kemampuan. Jangankan kemampuan, daya tahan terhadap kilat pun pria ini tidak punya."

Senyum kian melebar di bibir Tinfa. Rasa jengkel, kesal, muak, dan benci menjadi satu ke dalam hatiku. Ingin rasanya aku memukul wanita itu, tapi dengan keadaanku sekarang, aku rasa itu sedikit mustahil.

"Begitu ya. Lalu, apakah ada cara lain untuk melakukannya?"

Tinfa menggelengkan kepalanya. Dari sanalah Airen terdiam dan mematung. Terlihat wajah sedih dan cemas dengan keadaanku saat ini. Aku sendiri juga bingung dengan diriku, kenapa orang seperti dirinya mencemaskan dan mengkhawatirkan aku.

"Yah, untuk saat ini aku tidak tahu. Tetapi, bisakah kalian sudahi dulu? Karena aku masih banyak urusan di tempat ini."

Mendengar itu, Airen langsung mengangguk pelan pada Tinfa.

"Ayo, Hiragaki!"

Diseret kaki kananku oleh Airen. Tinfa yang melihat itu tersenyum kecil, bahkan wajah Tinfa sedikit puas terhadap apa yang Airen lakukan terhadapku.

Tinfa PoV

Perlahan-lahan mereka berdua pergi dari tempat ini.

Duduk di kursi lalu memutar kembali ke arah sebelumnya. Kini aku memikirkan hal yang tidak biasa. Hal yang sangat aneh tidak akan terjadi, kecuali aku melihatnya sendiri.

Pria tanpa kekuatan dan kemampuan terpanggil ke dunia ini. Bukan sebagai pahlawan, tetapi pahlawan palsu. Dengan ingatan yang ia tidak tahu siapa dirinya, dan tidak tahu apa yang ada di dunia ini.

"Benar-benar menarik sekali ya pria itu."

»»»»»●«««««

Cuaca berganti malam. Matahari, awan putih, dan langit cerah, semua sudah terganti oleh beberapa bintang di langit, dan cahaya bulan yang redup tertutup awan.

Aku juga sudah pulih dari lumpuh sesaat tadi. Tapi kali ini, kita berdua jalan sedikit menjauh dibanding tadi pagi.

"Hei, Hiragaki. Bisakah kau tidak memberitahu ayah soal tadi?"

Soal tadi? Ah, maksudnya yang itu ya. Tentu saja aku tidak akan mengatakannya. Karena jika aku mengatakannya, wanita itu pasti akan melakukan hal yang buruk lagi padaku.

Disaat aku tengah memikirkan itu, aku pun terhenti sesaat ketika Airen terhenti tiba-tiba didepan ku. Aku yang terkejut melirik ke Airen. Wajah Airen kini terfokus pada apa yang ada didepan.

"Indah sekali ya, Hiraga-"

Untuk sesaat wajah Airen menoleh ke arahku. Ketika menoleh, Airen menunduk ke bawah. Aku rasa dia sedikit malu ketika aku menatap wajahnya.

Dilanda oleh rasa penasaran, aku ikut menatap apa yang Airen lihat tadi.

"I-ini.."

Mulutku tidak berkata apa-apa. Hanya memandanginya dari kejauhan keindahan tersebut. Keindahan yang terbuat dari beberapa lampion kecil di setiap perumahan, toko, bahkan di sepanjang jalan. Lampion itu mengambang layaknya balon udara. Cahaya lampion itu juga warna-warni. Ada yang merah, hijau, kuning, oranye, ungu, biru laut, bahkan semua warna ada disana kecuali warna hitam, dan warna-warna gelap lainnya.

Tak hanya lampion yang membuatku kagum, tetapi ada juga beberapa kata yang aku lihat di seutas tali yang terikat di sepanjang tiang jalan. Kata-kata itu adalah kata-kata buatku agar aku lebih bersemangat lagi. Tetapi aku rasa ini terlalu berlebihan. Karena aku sendiri kurang yakin terhadap apa yang aku miliki.

Diibaratkan seperti aku ini pahlawan, tetapi tidak memiliki kemampuan layaknya pahlawan. Jika aku hanya mengandalkan kekuatan berpedang, itu hanya akan menjadikanku sebagai santapan bagus untuk mereka, ras iblis.

Yah, kesampingkan dulu hal itu. Yang aku pikirkan saat ini ialah bagaimana caranya aku membuka kemampuan yang aku miliki. Bahkan Tinfa, iblis yang selalu ahli dalam membaca informasi status orang pun tidak dapat mengetahui apa yang aku miliki dan apa yang aku dapatkan.

"Ada apa, Hiragaki? Kau sepertinya terlihat bingung."

Mendengar perkataan Airen, aku tertawa pelan. Meski tawa itu adalah tawa palsu, tetapi aku rasa itu sudah cukup untuk mengelabuhi Airen agar dia tidak terlalu cemas dan khawatir terhadap ku.

"Tidak ada apa-apa, Airen. Ayo kita pergi ke istana!"

Menarik tangan kanan Airen dengan tangan kiri ku. Disitulah Airen terkejut, lalu ia pun terdiam dan mengangguk dalam diam.

Aku berjalan dengan tangan kiri memegang tangan Airen. Pikiranku mengarah ke arah lain, dan hatiku merasakan sesuatu yang tidak enak.

Meski begitu, cepat atau lambat aku bakal menemukan kemampuan ku. Jika masih tidak, aku tidak yakin apakah raja akan membiarkanku terus berada di istana, atau mungkin ia bakal mengusir ku secara kejam.

Bersambung…