webnovel

Forgotten Hero

Benci, kesal, marah, dan dendam, itulah yang tengah aku rasakan saat ini. "K-kau.. kau itu mesum, tidak tahu diri, dan tidak sadar terhadap apa yang aku berikan kepadamu. Tetapi kini.. kini kau.. kau mengkhianati ku!" Wajahku hanya menunduk ke bawah. Saking takutnya terhadap sang Raja, aku jadi tidak berani melihatnya. Tetapi... tetapi... "Penjaga. Cepat, usir orang ini! Jika tidak, maka tempat ini akan jadi berbahaya oleh orang seperti dirinya." Tegas sang Raja. Penjaga mulai mendatangi ku. Menaruh beberapa senjata mereka dileher lalu menatapku layaknya buronan mereka. Sementara aku, aku hanya memasang wajah kesal, sedih, dan benci harus berakhir seperti ini. "Berdiri!" *Buk "Aduh!" Keluh ku akan tendangan dari salah satu penjaga mereka. Dengan cepat aku berdiri dengan wajah yang masih menunduk. "Cepat, keluarkan orang itu! Jika dia masih disini, maka aku akan jijik melihatnya." Menggigit kedua gigiku sehingga saling beradu. Di satu sisi aku merasa terpuruk akan semua ini, dan di satu sisi lagi aku merasa bahwa ini semua adalah hal yang menyebalkan. "Cepat, ikuti kami!" Mendorong tubuhku ke depan. Aku hanya bisa parah, menyerah, dan tidak tahu harus melakukan apa. Sementara hatiku, hatiku merasakan seluruh perasaan negatif. Marah, benci, kesal, dendam, bahkan semua emosi negatif menyelimuti perasaan ini. Melewati gerbang istana, lalu kami pun melewati kota-kota kecil ini. "Hei, lihat itu!" "Wah! Ada apa ya kira-kira?" "Mana ku tahu? Tetapi yang jelas, aku rasa ia berbuat salah kepada sang Raja." Cih, kenapa? Kenapa mereka menatapku seperti orang-orang di kastil? Aku.. Alasan aku seperti ini adalah karena pria tua itu. Oleh sebab itu, aku.. aku akan membalas perbuatannya itu nanti. Pikirku dengan rasa benci dan muak yang sudah tidak tertahankan dari lubuk hati terdalam. Genre:Hero, Drama, Shounen, Action, War, Pet, Demon, Kingdom, Psychology.

akiyamashinjo · Fantasy
Not enough ratings
7 Chs

Ch. 2:Pelatihan Prajurit

*Trang!

Bunyi dari kedua besi saling beradu. Pria dengan zirah perak dan helm perak tengah menahan serangan pria satunya. Sementara pria satunya, pria satunya tengah menyerang pria berzirah dan berhelm perak. Pria itu memiliki rambut panjang dan gondrong, memiliki mata sedikit sipit, memiliki kumis seperti lele, dan janggut yang panjang, kira-kira panjang janggutnya segaris dagu.

Melirik ke arah orang-orang, terlihat wajah kagum, senang dan bangga. Sementara Airen, Airen memandangi pria dengan zirah dan helm perak.

"Oh ya, Airen. Apakah pelatihan disini memang sangat keras?"

Airen terkejut dengan pertanyaan ku. Ia menoleh ke arahku lalu memasang wajah serius, dan tatapannya yang yakin.

"Ya. Karena jika mereka tidak serius, maka mereka akan mati."

"Ma.. ti?"

Airen mengangguk. Wajah yakinnya terlihat seperti ia mengatakan itu dengan sangat serius dan berbahaya.

"Karena musuh kita adalah iblis dan monster."

"Begitu ya."

Mengalihkan pandanganku darinya mengarah ke langit. Terlihat awan putih dengan langit yang masih biru dan cerah, serta mentari pagi yang masih hangat di tubuh.

"Kalau boleh tahu.. monster apa saja yang mereka lawan?"

"Itu..."

Kata-kata Airen terhenti sampai di situ. Sementara aku masih penasaran dengan perkataannta, tetapi sayang, pria dengan rambut panjang dan gondrong itu melempar pedang ke depanku.

"Tuan Pahlawan, apakah kau mau mencobanya juga?"

Pandangan mataku mengarah ke pedang yang pria itu lemparkan. Pedang berukuran panjang dengan sarungnya yang terbuat dari beberapa lapis kulit. Entah itu kulit apa, aku tidak tahu.

"Apa tidak apa-apa?"

Pria itu mengangguk kecil. Aku yang diperbolehkan untuk mencobanya, kini berdiri, kemudian berjalan mendekati pedang itu lalu memegangnya.

"Be-berat sekali!"

Tanganku terasa berat ketika memegang pedang ini. Pedang yang terasa seperti asli, atau bisa dibilang ini adalah pedang asli. Berbeda dengan apa yang aku pegang di duniaku yaitu pedang kayu dan pedang bambu.

Tubuhku sedikit terguncang, namun perlahan-lahan aku menjaga keseimbangan tubuhku agar tidak tumbang dihadapan mereka. Selesai menyeimbangkan tubuhku, aku pun memegang pedang itu dengan kedua tangan dan wajah yang sedikit serius.

"Ayo kita coba, Pak!"

"Baiklah. Tetapi, jangan terlalu kau paksakan ya. Karena jika terlalu kau paksakan, maka itu akan sakit bagi tubuhmu."

Tubuhku? Jangan bilang ada sesuatu berbahaya?

Belum sempat aku selesai melamun, pria itu langsung melesat ke arahku.

*Trang, Trang, Trang!

Pukulan demi pukulan pria itu serang kepadaku. Belum sempat aku menyerangnya, ia sudah memulai duluan. Terlebih, pedang ini sedikit berat, jadinya aku berfokus pada pertahanan.

*Trang!

Pedang seketika terangkat tinggi di udara. Kemudian pedang pria berambut panjang dan gondrong itu mengarah ke arah leher ku dengan cepat.

"Bagaimana, Tuan Pahlawan?"

"He-hebat. Benar-benar hebat."

Setelah aku mengatakan itu padanya, ia pun tersenyum kecil, lalu ia melonggarkan pedangnya dari leherku, dan memasukkan pedang itu kedalam sarungnya.

Tak lama setelah menaruh pedang kedalam sarung, pria berambut panjang dan gondrong itu pun membungkuk kepadaku.

"Terima kasih, Tuan Pahlawan!"

"Eh?"

"Heh?"

Aku dan Airen sempat terkejut akan apa yang pria rambut panjang dan gondrong itu lakukan. Sesaat aku memperhatikan sikapnya yang biasa, tetapi kini ia menjadi berbeda.

"Terima kasih atas latihannya. Dan juga, aku minta maaf apabila pedang itu sedikit lebih berat."

Eh? Jadi dia begitu peduli denganku?

"Ahahaha. Tidak kok, tidak. Tetapi, bisakah aku meminta pedang yang sedikit lebih ringan?"

"Sedikit lebih ringan, ya?"

Aku mengangguk kecil padanya. Terlihat wajah yang bingung dan heran di wajah pria berambut panjang dan gondrong itu. Meski pria itu tengah bingung, tetapi pria itu melangkahkan kakinya ke arah samping kanan. Dimana terdapat kumpulan senjata panjang dan pendek, yang tertata rapih dan bersih di sana.

Ketika aku tengah menunggu pria berambut panjang dan gondrong itu mengambil sesuatu, pria dengan zirah dan helm perak itu menghampiriku.

"Wah, wah. Tidak aku sangka ya, ternyata kau bisa menggunakan pedang berat sepanjang itu ya."

"Yah, itu sih bukan apa-apa. Tetapi, aku rasa aku masih butuh belajar soal itu semua."

Pria berzirah dan berhelm itu terdiam. Kemudian ia pergi meninggalkanku tanpa berkata apa-apa lagi.

"Apa kau tidak apa-apa, Tuan Pahlawan?"

Airen langsung mendekatiku. Terlihat jelas dari wajahnya yang cemas dan khawatir terhadap keadaanku.

"Tidak, aku tidak apa-apa. Hanya saja aku sedikit lelah ketika mengangkat pedang panjang itu."

Senyum terlihat di bibir Airen, sedangkan tatapan matanya terlihat lega atas apa yang aku katakan padanya.

"Ini, ambilah!"

*Trek!

Pedang berukuran lebih kecil dilempar kepadaku. Terlihat lebih pendek dan kecil. Meski kecil, pedang ini bisa dibilang sangat cocok untuk perburuan, karena selain kecil, pedang ini juga mampu dilempar ke arah monster.

Yah, setidaknya itulah yang aku ketahui tentang apa yang aku lihat dahulu. Karena itu semua aku tahu dari novel fantasy dan film anime.

"Bagaimana, Tuan Pahlawan?"

Mengambil pedang di depanku. Ternyata benar, pedang ini terasa ringan dan cocok untuk tubuhku. Selain pendek dan simpel, pedang ini terasa hebat layaknya aku pernah menggunakannya.

"Hebat. Benar-benar hebat."

"Sudah aku duga pedang itu terlihat cocok denganmu."

Pria berambut panjang dan gondrong itu tersenyum kecil ketika melihat penampilanku.

"Hebat! Kau terasa seperti ahli dalam menggunakannya ya, Tuan Pahlawan."

Tersenyum kecil pada perkataan Airen. Menghentikan pergerakan dan hempasan yang aku lakukan dengan pedang ini, lalu kembali memasang wajah biasa.

"Bisakah kita ulangi latihannya? Eto.."

"Rifal Ardentia, panggil saja dengan nama Rifal, Tuan Pahlawan."

"Ba-baiklah. Kau juga bisa memanggilku dengan sebutan Hiragaki."

"Te-tetapi.."

Menggelengkan kepalaku pada Rifal. Rifal yang melihat itupun terdiam. Tatapan mata Rifal terlihat ragu, bahkan bibirnya gemetar ketika mau mengatakan itu.

Tak hanya Rifal saja, tetapi Airen juga sama. Bingung dan heran, itu yang terlihat jelas dari wajah Airen. Di satu sisi ia ingin memanggilku dengan sebutan itu, tetapi ia masih ragu untuk mengatakannya.

"Tenang saja, Rifal. Karena jika kau terus mengatakan Tuan Pahlawan, aku sedikit terganggu akan panggilan itu. Jadi, panggil saja dengan sebutan Hiragaki tadi ya, Rifal."

"Ri-rifal?"

Rifal tak hentinya terkejut terhadap perkataan ku. Aku rasa baru kali ini ada yang memanggil nama depannya, karena setahuku nama depan itu dipanggil hanya untuk orang dekat saja. Tetapi dunia ini, dunia ini memiliki semacam itu.

"Ba-baiklah, Tuan Hiraga-"

"Hiragaki. Panggil saja dengan nama itu. Mengerti?"

Rifal mengangguk dalam diam. Sementara Airen terlihat kagum terhadap ku dan nada tegas ku.

"Yah, lupakan itu dulu. Jadi, apakah kita bisa latihan lagi?"

Rifal yang tadinya terdiam kini mulai mengangguk. Kemudian ia mempersiapkan kembali pedang yang ia pegang, lalu mengeluarkannya dan bersiap melakukan latihan lagi kepadaku.

*****

*Trang, Tring, Trang!

*Trek

Alunan dari kedua pedang masih beradu hingga mentari berada di atas langit.

Aku yang berubah, dari pertahanan menjadi penyerang. Dan Rifal, yang tadinya menyerang menjadi bertahan.

"Ti-tidak aku sangka, ternyata kau cukup mahir juga."

Mahir ya? Padahal ini hanya gerakan dari hasil yang selalu aku lakukan setiap di rumah.

Di rumah, atau lebih tepatnya di duniaku, aku selalu berimajinasi dan melakukan hal-hal yang aneh. Yah, bisa dibilang itu adalah imajinasi anak SMP. Selain menonton dan membaca novel, aku juga sempat meniru beberapa gerakan yang aku baca dan tonton. Tentunya, aku juga membawa pedang berukuran kecil, atau bisa dibilang dagger.

Melatih di halaman belakang dengan giat dan tekun. Orangtuaku? Mereka sudah lama meninggal. Ibuku, ia meninggal sejak aku berumur 3 Tahun, itu juga karena kecelakaan mobil. Sementara ayah, ia meninggal pada saat aku berumur 8 Tahun. Ayah meninggal saat ia tengah pergi mengurus kerjaan di luar kota. Saat itulah, ia mengalami kecelakaan di pesawat, lalu ia pun tiada.

*Trang!

"Ngomong-ngomong, apakah aku sudah dibilang kuat?"

Rifal terdiam. Kemudian terlihat gelengan kepala dan wajah yang tidak biasa.

Jadi, aku masih lemah ya. Ketika memikirkan hal itu, aku sempat menggigit kedua gigiku dan saling beradu satu sama lain. Sementara perasaanku sedikit kecewa dan benci mengakui bahwa aku masih lemah.

"Tetapi.."

Ketika Rifal mengatakan sesuatu, aku mengubah wajahku menjadi penasaran dan bingung terhadap apa yang akan dikatakan olehnya.

"Jika kau bisa berlatih dengan tekun dan rajin, aku yakin, aku yakin kau pasti dapat melakukannya, Hiragaki."

Hantaman harapan kini memenuhi seluruh hatiku. Kini seluruh perasaan kecewa, sedih, dan benci, tergantikan oleh rasa senang, bangga, dan puas terhadap perkataannya.

*Trek

Kami berdua melompat mundur, lalu menyudahi latihan hari ini. Rifal tersenyum kecil terhadap gerakan tubuhku tadi. Aku pun juga sama, salut dan bangga terhadap dirinya, yang mau mengajariku tentang latihan berpedang.

"Kau boleh bebas sekarang, Hiragaki."

"Benarkah?"

Rifal mengangguk dalam diam, namun wajah senyumnya masih terlihat di wajahnya.

Aku yang melihat anggukan itu pergi ke Airen, yang saat ini tengah tertidur dalam duduk dan sandaran kepalanya yang berada di dinding.

"Hei, Airen. Bangun, bangun!"

Airen yang aku guncangkan tubuhnya kini mulai bergerak. Sebelum menggerakkan tubuhnya, Airen membuka matanya perlahan-lahan, lalu mendapati tatapan dariku dan senyum kecilku, ia pun langsung bangkit berdiri dengan wajah bingung.

"Apakah sudah selesai?"

Mengangguk pada pertanyaannya, ia langsung lega mendengar itu dariku. Sayangnya, wajah Airen masih terlihat cemas dan khawatir terhadap kondisi tubuhku. Bagaimana tidak? Dilihat dari tatapannya, terlihat jelas bahwa ia memperhatikan seluruh tubuhku.

"Syukurlah... syukurlah kau tidak apa-apa, Hiragaki!"

Mendengar nama yang ia katakan, aku langsung menundukkan wajahku. Hatiku berdebar-debar, perasaanku malu, dan pipiku memerah untuk sesaat.

Tapi, aku berusaha memikirkan kembali diriku. Saat ini aku adalah pahlawan. Jadi mana mungkin aku harus bersikap seperti ini.

Perlahan-lahan pikiranku mulai tenang, aku langsung mengangkat wajahku kembali, dan menatap dirinya yang tengah tersenyum kecil padaku. Senyuman yang hangat dan tulus terlihat jelas dari wajahnya.

"Oh, aku hampir lupa sesuatu."

Melepas rasa sunyi diantara kami berdua, Airen pun langsung mengeluarkan sesuatu dari saku pakaiannya. Karena saat ini ia tidak mengenakan gaun putih dan rok panjang, jadinya ia terlihat biasa dengan pakaian kemeja, dan celana panjang berbahan kaos.

"Ini, ambilah!"

Melirik ke arah tangan kanannya. Terdapat sebuah gantungan di telapak tangan kanan Airen. Gantungan itu berbentuk kelinci dalam bentuk mini. Sekilas terlihat lucu dan manis. Namun aku masih ragu untuk menerimanya, karena jika aku terima kemungkinan tidak pantas untukku, seorang pahlawan menerima hadiahnya. Tetapi jika tidak, maka aku takut sang raja, atau ayahnya akan menghukum ku keluar dari kerajaan ini.

"Baiklah, aku terima!"

Airen tersenyum kecil ketika aku mengambil gantungan dari telapak tangannya. Kemudian ia pun pergi dari pelatihan menuju ke lorong kanan.

Sekarang latihan telah selesai. Jadi, tinggal waktunya untukku pergi mengelilingi istana ini. Pikirku, yang masih penasaran terhadap seluruh arsitektur istana ini, dan juga fasilitas yang dimaksud raja tadi malam.

»»»»»●«««««

Lorong istana terasa sepi. Mungkin karena waktunya sudah sore, jadi mereka tidak dapat melakukan aktivitas di luar lorong. Mengingat apa yang dikatakan oleh Rifal sebelum aku pergi.

Rifal mengatakan bahwa sore hari mereka telah sibuk mengurusi sesuatu. Jadi, tidak mungkin bagi penghuni istana dapat keluar dari kamarnya dan bebas di lorong istana. Selain itu, ada juga yang sibuk dengan masalah keuangan, keluarga, serta adat istiadat keluarga bangsawan.

Yah, ini sih bukan lagi masalah biasa. Tetapi, jika aku ikut campur maka aku akan dianggap ingin tahu permasalahan mereka.

Berjalan-jalan mengikuti lorong dan mengikuti struktur bangunan istana. Lorong ini akan menghasilkan jalan menuju ke Taman Bunga Istana. Sementara lorong yang satunya, atau lorong bagian kiri tadi mengarah ke Atap Istana. Lalu lorong yang bagian kanan akan menuju ke Aula Pribadi.

Yah, kalau soal yang lain nanti saja. Karena saat ini, aku hanya perlu mengunjungi Taman Bunga Istana, jadi lupakan dulu yang lain.

Selang beberapa lama aku berjalan di lorong istana, aku pun sampai di tempat yang dituju. Taman yang didepannya terdapat beberapa akar yang melintang ke udara dan melingkar. Di akar yang melintang dan melingkar di udara itu terdapat kata selamat datang. Benar-benar terlihat indah dari luar.

Berjalan lagi menuju ke dalam. Terlihat pemandangan yang berbeda di dalamnya. Pemandangan dengan bunga yang terpampang rapih di sekitar kiri dan kanan. Pijakannya yang berubah menjadi rumput-rumput yang berukuran pendek karena habis terpotong. Ditambah, terdapat kolam renang di tengah-tengah taman. Sementara air dari kolam renang itu terdapat air mancur yang keluar dari tengah-tengahnya.

"Jadi ini ya, apa yang dikatakan oleh sang raja."

Tak luput mataku memandang lama pemandangan di taman bunga ini. Terasa indah, cantik, dan sejuk bagaikan berada di pedesaan.

Perlahan-lahan aku duduk di rumput, lalu mengubah duduk itu menjadi berbaring di atasnya. Mataku kini menatap langit yang cerah dan hamparan rumput yang dapat ku rasakan. Terasa halus dan nikmat layaknya berada di busa yang empuk.

Angin mulai mengenai tubuhku. Perlahan-lahan aku merasakan angin tersebut. Terasa sejuk dan nyaman, saking nyamannya aku sampai hampir dibuat terlelap tidur oleh angin sejuk tersebut. Meski saat ini sudah senja, ini tidaklah begitu menyilaukan.

Apakah ini yang dinamakan nikmat?

Mataku perlahan-lahan mulai terpejam, lalu tanpa aku sadari, aku telah tertidur dengan lelap.

Bersambung…