webnovel

Fire Twins

Dewa telah meninggalkan dunia. Kekaisaran Oblitus penguasa benua runtuh dan seluruh benua dibawa ke dalam kehancuran. Kejahatan bukanlah hal yang baru. Nyawa bukanlah barang berharga. Kedamaian hanyalah impian naif. Kelaparan dan kemiskinan menguasai benua.Bertarung atau mati, membunuh atau dibunuh, tak ada orang yang bisa dipercaya. Frans anak yang dianggap jenius, putra seorang pahlawan ,dengan keluarga yang lengkap dan bahagia bertahan sebagai seorang bangsawan perbatasan ditengah runtuhnya kerajaan dan invansi kedua kekaisaran. Meskipun begitu, "Haaa, apakah aku sebaiknya jatuh kesandung dan pura-pura lupa ingatan saja ya?". Kembarannya terlalu emosional, Ayahnya seorang pahlawan tapi selalu pesimis, hanya ibunya saja yang bisa dia percaya. Semua mengandalkannya sebagai 'jenius' tapi dia tak menyukainya. Perjalanan panjang tentang arti sebuah cinta,keluarga dan kekuatan menantinya.

Anthest_48 · Fantasy
Not enough ratings
18 Chs

Tak Berdaya

'Huh?'

Frans melihat saudara di sampingnya kembali murung segera setelah mereka berpisah dengan ayahnya

'Hanya bisa sebentar saja huh?Tapi suasanya benar-benar kelam?haruskah aku menjawab pertanyaanya terakhir tadi?'

"Ed,Tadi… kenapa kau menanyakan hal itu?"

"Huh?!... ah ya,tidak hanya saja…"

"Bukankah tadi pagi kau bilang 100 tahun pun tak cukup bagiku utuk mengalahkanmu?"

"Ah ya… tapi…"

"Haaa… Paman Jo juga bilang kalau kau punya bakat! Yah,umur kita memang belum cukup untuk ikut bertempur,tapi-"

"-Bakat."

Edwin yang berjalan di sebelah Frans tiba-tiba berhenti dan genggamannya pada sarung pedang pemberian ayahnya semakin kencang.

"Bakat jenius kembaranku benar-benar luar biasa sampai-sampai ia sibuk dari tadi siang membantu ibu dan lainya, sedangkan aku yang kau bilang berbakat pedang tak bisa melakukan apapun hanya karena umur."

"Ed?"

"Hah! Terima kasih brother!"

Mata Edwin menatap dingin Frans, dan Frans yang mengetahuinya tiba-tiba mersakan ada serangga yang berjalan di punggungnya.

'Ah,apakah aku barusan tak sengaja memantik api ditumpukan ranting kering?Sial! memang diam adalah pilihan terbaik, atau aku perlu memukulnya lagi?,aku yakin jika kita berakhir berkelahi dan aku babak belur Edwin akan puas?Ah, gila!benar-benar menyebalkan!"

"Aku akan pergi menemui paman. kembalilah ke kamar dulu"

Karena Frans dan Edwin masih belum termasuk dewasa, mereka masih tidur satu kamar.

"Ah,Oke"

'Ah aku menyerah, aku lelah, aku ingin tidur saja'

+++

Edwin berjalan menuju tembok kastil dengan ekspresi wajah yang tak bisa digambarkan. Marah, sedih, atau menyesal tak ada yang nampak jelas di wajahnya. karena itu semua yang ia rasakan saat ini. Semenjak ia lahir ia selalu bersama Frans, ia bahkan bisa percaya diri kalau dari semua orang, dia adalah satu-satunya orang yang paling tahu tentang Frans.Tetapi situasi seperti itulah yang membuatnya jatuh dalam dilema. Frans yang dipanggil jenius sejak umur 5 tahun, selalu menjadi kebanggaan ayah dan ibu mereka. Meskipun begitu Edwin tak pernah merasakan iri dalam hatinya. Keberadaan saudara kembar yang jenius seperti Frans membuatnya begitu senang.

Hanya saja ia selalu menyalahkan dirinya yang tak mampu berbuat banyak untuk keluarganya disaat saudaranya memiliki pencapaian besar. Oleh karena itu ia selalu berusaha keras dan berjuang untuk menutupi apa yang baginya kurang dalam diri Frans. Saat itulah ia menyadari kalau ia jauh lebih berbakat sebagai petarung. Harapan masa depan dimana ia bisa berdiri di samping untuk membantu saudaranya terbuka lebar.

Setelah mengetahui fakta itu ia terus berlatih keras dengan bantuan pamannya. Namun ia selalu merasa kesal ketika saudaranya menunjukkan rasa tidak tertariknya untuk menjadi pewaris utama Baron Lancaster ayah mereka. Frans selalu menyarankannya untuk menjadi pewaris, tapi dilihat dari manapun Frans lebih sesuai dari dirinya. Meskipun ia kesal ia selalu berusaha membuka mata saudaranya. Semuanya berjalan seperti biasa hingga masalah besar muncul pagi ini. Orang berharga yang sudah seperti keluarganya dalam bahaya dan ia tak bisa berbuat apapun.

Meskipun pikiranya begitu kacau saudaranya merespon semuanya dengan rasional. Ia maih ingat saat Tina memohon dengan wajah berliang air mata kepadanya dan langsung pingsan di depan matanya. Ia tak berdaya, ia igin berguna seperti saudara tetapi ia bahkan tak bisa enolong seorang yang ia cintai.Tak ada yang menyalahkannya, tak ada yang mengatakannya, tetapi ia bisa menyadarinya sendiri lebih dari yang lain. Ketika saudaranya kembali berkata bahwa dia punya bakat, ia hanya semakin menyadari kenyataan pahit yang ia lalui.

'Bakat,,,, Hah! semuanya tak berguna karena aku ini masih berumur 10 tahun?Saudaraku yang berumur sepuluh tahun memiliki bakat dan bisa ikut membantu,kenapa selalu begini, ugh'

Rasa tak berdayanya yang memuncak hanya berakhir dengan air mata yang membasahi pipinya.

"Edwin?"

Suara gadis kecil memanggil namanya dengan khawatir. Edwin yang sudah tahu dari siapa asal suara itu mulai berusaha menghapus air matanya degan paksa.