webnovel

Dibalik Kata Teman

Kata teman menjadi awal dari kisah ini, rasa nyaman hadir diantara pertemanan, seolah memberi harapan tapi sangat sukar dijangkau karna adanya batasan. Berteman dekat dengan lawan jenis tidaklah masalah, tapi perasaan kerap menjadi korban untuk tidak egois. Berusaha mengalah dengan ego sendiri agar tetap bisa selalu bersama tanpa ada penghalang. Tapi sejauh apapun kita berusaha, pasti ada kata lelah dan ingin mengungkapkan. "Lo pikir ada, laki-laki sama perempuan, murni berteman dekat tanpa ada rasa suka? ngak bakalan ada Del. Karna salah satu akan ada rasa suka, dan itu adalah Gue!" ~Alvaro Pramugraha "Bukan tak peka dan tak mengerti, hanya saja tak ingin salah dalam menafsirkan arti rasa, karna rasa yang ada dalam dirimu dan diriku adalah milik -Nya." ~Adela Magfira Rasa cinta hadir karna adanya rasa nyaman, rasa tak ingin kehilangan pun membuat diri tak ingin berjauhan. Tapi bagaimana cara mengatasi rasa cinta yang terlanjur hadir diantara pertemanan. Ingin mengungkapkan tapi tak mau ada kata penolakan. Akankah kisah pertemanan ini bisa terus berjalan jika ada salah satu pihak yang menaru hati, atau sebaliknya pertemanan ini akan berakhir karena ke egoisan hati yang tak bisa dimengerti.

Ade_Irma_Suryani_5358 · Teen
Not enough ratings
25 Chs

Perlakuan manis, kenyataan pahit

"Gimana bro lancar?" tanya Odit pada Varo, yang baru keluar dari ruang seminar.

"Alhamdulillah lancar." Senyum Varo, marasa bahagia akhirnya one step closer akan segara terwujud.

"Kak Odit, Dewi mana?" Adela tak menemukan Dewi sedari tadi, soalnya ia menitip buketnya pada Dewi.

Odit melihat sekitar. "Mana ya tuh anak, tadi ada di belakang gue kok. Mungkin ke toilet kali Del."

"Gimana bro lancar," tanya Putra pada Varo sembari ber tos ria. Putra baru saja keluar dari ruang seminarnya.

Varo mendekat ke arah Putra seraya berbisik. "Gimana ngak lancar men, gue di semangati sama bidadari." Mata Varo melirik ke arah Adela, yang membuat Putra mengerti maksudnya. Putra terkekeh mendengar penuturan sahabat nya, yang sebelumnya curhat padanya berharap mendapat kata semangat dari wanitanya.

"Lo berdua habis bisik-bisik, bicarain apa sih," tanya Danu yang baru ikut nimbrung.

"Entah nih, mentang-mentang udah duluan seminar jadi main rahasia-rahasiaan nih," sambung Odit.

"Alah biasalah perkara revisian," bohong Varo. "Lo berdua minggu depan jadi kan seminarnya?" tanya Varo, soalnya Odit dan Danu juga udah acc proposal dari dosen PS. Awalnya mereka tidak percaya kalau Danu bisa ambil hati pak Munajat. Kalau Odit mah mereka percaya karna dosen PS nya itu buk Nida sama-sama Varo, orangnya baik dan pengertian.

Gimana Danu ngak bisa ngambil hati pak Munajat, orang Danu menyelamatkan anak perempuan pak munajat dari rampok dua minggu lalu. Jalankan ambil hati untuk proposal, ambil hati jadi calon mantu aja Danu sepertinya sudah berhasil. Yoi lah, pipipipip calon mantu.

Memang kesannya agak sedikit merasa hutang budi gitu sih pak Munajat nya, tapi gak papalah yang penting Danu bisa sempro sama seperti yang lain di bulan yang sama juga.

"Wee, Adela mana?" Tanya Varo yang baru sadar kalau Adela tidak ada di tempat.

"Selo lah brother, baru juga ditinggal bentar udah kehilangan aja," ucap Odit. "Tuh Adela tuh." Odit menunjuk kearah belakang Varo.

Untuk kesekian kalinya mata Varo kembali membelalakkan matanya. Gimana tidak! baru juga ditinggal bicara sebentar Adela sudah lari ke pria lain.

Bukan lari, tepatnya bicara dengan lelaki yang bernama Riky itu.

Setelah bicara sebentar Adela kembali ke hadapannya.

"Ngapain sih jumpain Riky mulu?" tanyak Varo sedikit kesel.

Adela tak mengubris pertanyaan Varo. Ujung-ujung nya pasti Varo akan menyuruhnya menjauhi Riky. Padahal Riky sama Varo tuh sama. Sama-sama temannya. Perlu digaris bawahi hanya teman.

Adela menyodorkan sebuket bunga pada Putra, Varo kira bunga yang di tangan Adela diperuntukkan padanya, tetapi dia salah besar. Karna bunga itu di tujukan pada Putra. "Kak ini, sebagai ucapan selamat untuk kakak." Senyum Adela pada Putra. Walaupun Putra itu sahabat Varo tapi tak menutup kemungkinan Varo cemburu dengan suguhan sifat manis Adela pada Putra.

Putra yang melihat raut ketidak sukaan dari wajah Varo hanya bisa tersenyum jahil, pada sahabat. Dia bahkan memanas-manasi Varo.

"Wah. Makasih banyak ya Del, bunganya cantik kayak yang ngasih." Putra berucap pada Adela, tapi matanya tertuju pada Varo.

Sumpah Demi apapun Varo sangat kesel pada Putra, dia sangat terniat rupanya untuk membuatnya kesel. Varo yang sudah marasa terabaikan bahkan tak dianggap memilih pergi saja dari sana.

"Eh kak Varo mau kemana?" Adela mengejar dan menghadang langkah Varo.

"Minggir gue mau pigi," jutek Varo.

Adela mendelik, "Enak aja main pigi-pigi, ngak permisi." Adela mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya, sebuah kotak yang sudah dihias dengan pita, Varo tau isi nya itu cokelat karena Adela tak lagi membungkus kotak cokelat itu dengan kertas. Dan menyodorkannya pada Varo. "Selamat atas seminar nya ya kak. Semoga sidangnya lebih di permuda lagi." Bukan menerima pemberian Adela, justru Varo masi bengong dan belum berkutik.

"Kak!" Panggil Adela tapi yang dipanggil belum berkutik.

"Kak!" ulang nya lagi.

"KAK VARO" bentak Adela di hadapan pria itu.

"Astaga iya. Suara loh nyaring banget sakit telinga gue." Varo segera menerima hadiah pemberian Adela, dengan senyum yang terpatri di bibirnya.

"Habisnya kakak bengong sih, udah dipanggil-panggil juga!" omel Adela

"Makasih ya."

Adela mengangguk. "Kakak suka coklat kan?" Adela hanya bertanya, tapi yang ditanya terlanjur baper.

"Lo, kok tau? Lo pasti kepoin makanan kesukaan gue kan? Iyalah gue maklum lo kan vans berat gue!" Siapapun tolong sadarkan Varo, dirinya teramat percaya diri.

Adela tersenyum miring, "terserah kakak aja deh. Yang penting cokelatnya di makan karna itu cokelat spesial!"

"Jadi ini spesial buat kakak?" tanya Varo.

"Iya dong." Senyum Varo benar-benar mengembang sungguh ia merasa sangat spesial dengan cara Adela. Tapi rasa spesialnya pupus sudah setelah mengetahui fakta sebenarnya!

"Sebenarnya aku kemarin mau beli dua cokelatnya loh kak, karna kan memang lagi ada promo gede-gedean. Beli 2 gratis 1, niatnya satu sama kakak satu sama kak Putra dan gratisannya sama ku, tapi karna cokelatnya lagi promo, jadi banyak yang borong, pas aku datang ke super marketnya coklatnya tinggal satu lagi. Yaudah deh aku ambil aja, dari pada ngak dapat sama sekali!" Adela terlalu jujur, tak bisa kah dia bertingkah pura-pura walau sesaat. Apa ia tak mampu melihat raut kebahagiaan di wajah Varo, ketika kata spesial terucap.

"Jadi lo kasi gue cokelat karena ada promo gitu?" Raut wajah Varo seolah berubah.

"Iya dong kak, aku tuh suka banget sama yang namanya cokelat, makanya tiap ke super market aku tuh pasti cari-cari cokelat yang lagi promo, biar bisa beli banyak dan makan banyak." Dengan rasa bangganya Adela berbicara.

Sedari tadi mereka berdiri, Varo berjalan ke arah kursi taman yang memang kosong. Mereka duduk bersama disana.

"Gue pikir loh kasih gue coklat karna lo pikir gue spesial, ternyata gue salah." Varo tertawa mengucapkan nya, menyembunyikan rasa sesak di dadanya yang perlahan muncul.

"Memang kakak spesial kok." Adela tersenyum cantik, sedangkan Varo langsung manatap Adela dalam, apa maksudnya berkata seperti itu. Apakah ia juga ada rasa pada Varo! Belum sempat Varo berucap, Adela melanjutkan ucapannya. "Sebagai teman!"

Dua kata yang jadi pernyataan tetapi membuat hati Varo bergemuruh sesak seolah tak terima.

*****

Sedari tadi Dewi, mencari-cari orang yang Putra beri senyuman, tapi ia tak dapat memastikan siapa orang yang Putra beri senyuman, apakah dia laki-laki atau perempuan soalnya di belakang Dewi tadi, ada perempuan dan laki-laki ia tak tau pada siapa sebenarnya senyum itu di suguhkan.

Karna sibuk mencari-cari orang yang di senyumi Putra, ia lupa memberi kadi yang ia beli untuk Putra.

"Astaga, buket! gue lupa!" Dewi menepuk jidatnya, refleks.

Dewi berjalan setengah berlari ke arah ruang seminar Putra tadi, tapi pas dirinya sampai di tempat ia tak menemukan Putra, Varo maupun yang lainnya. Dewi bingung pada kemana manusia-manusia itu.

Dewi berbalik ingin mencari mereka ke luar, tapi naas lagi-lagi Dewi bertemu dengan mantannya. Kali ini Alex tidak dengan kekasihnya, Alex hanya sendiri, dan masalahnya di ruangan ini juga hanya ada Dewi.

Dewi siaga, ia takut dengan Alex, karna tempat ini terlalu sunyi untuk mereka berdua. Alex berjalan semakin dekat dengan Dewi.

"Lo mau apa?" Tajam dan dingin, suara itu berasal dari mulut Dewi.

"Gue rindu sama lo!" Alex mendekati Dewi.

"Stop! Jangan mendekat." Tangan Dewi seolah menahan langkah Alex.

"Wi, gue tau gue salah, gue nyesel mutusin lo. Waktu itu gue khilaf. Lo mau kan balikan sama gue?"

"Sorry Lex, gue ngak bisa."

"Tapi, kenapa? Bukannya lo cinta sama gue?"

Dewi memejamkan matanya sejenak, jujur memang ia masih ada rasa pada Alex, tapi rasa kecewanya lebih mendominasi dari pada rasa cintanya.

"Gue memang dulu cinta sama lo! Tapi itu dulu sebelum lo mutusin gue, dan memilih wanita itu!" Dewi menarik nafas sejanak. "Dan sekarang gue udah ngak ada rasa lagi sama lo, jadi tolong jangan ganggu gue lagi." Setelah mengatakan itu Dewi hendak keluar dari ruangan itu, tapi pergerakannya terhenti karena Alex mencekal lengannya.

"Alex lepasin gue!" tegas Dewi.

"Gue cinta sama lo Wi."

"Tapi gue, ngak cinta lagi sama lo." Pegangan tangan yang awalnya masih biasa kini berubah menjadi cengkraman erat, yang membuat Dewi meringis karna sakit.

"Lex, lepas tangan gue sakit." Dewi meronta berusaha melepas cengkraman Alex.

"Lepasin dia." Titah seseorang dari arah pintu.