webnovel

Dibalik Kata Teman

Kata teman menjadi awal dari kisah ini, rasa nyaman hadir diantara pertemanan, seolah memberi harapan tapi sangat sukar dijangkau karna adanya batasan. Berteman dekat dengan lawan jenis tidaklah masalah, tapi perasaan kerap menjadi korban untuk tidak egois. Berusaha mengalah dengan ego sendiri agar tetap bisa selalu bersama tanpa ada penghalang. Tapi sejauh apapun kita berusaha, pasti ada kata lelah dan ingin mengungkapkan. "Lo pikir ada, laki-laki sama perempuan, murni berteman dekat tanpa ada rasa suka? ngak bakalan ada Del. Karna salah satu akan ada rasa suka, dan itu adalah Gue!" ~Alvaro Pramugraha "Bukan tak peka dan tak mengerti, hanya saja tak ingin salah dalam menafsirkan arti rasa, karna rasa yang ada dalam dirimu dan diriku adalah milik -Nya." ~Adela Magfira Rasa cinta hadir karna adanya rasa nyaman, rasa tak ingin kehilangan pun membuat diri tak ingin berjauhan. Tapi bagaimana cara mengatasi rasa cinta yang terlanjur hadir diantara pertemanan. Ingin mengungkapkan tapi tak mau ada kata penolakan. Akankah kisah pertemanan ini bisa terus berjalan jika ada salah satu pihak yang menaru hati, atau sebaliknya pertemanan ini akan berakhir karena ke egoisan hati yang tak bisa dimengerti.

Ade_Irma_Suryani_5358 · Teen
Not enough ratings
25 Chs

Interogasi

"Pintar-pintarlah menilai sifat seseorang, jangan menilai seseorang hanya karna melihat satu sifat baik dan buruknya dari seribu sifat baik dan buruk yang ia miliki."

**********""""

"SENENG YA!" Bukan pertanyaan tapi penekanan.

Adela cukup takut untuk melihat wajah ibunya yang tidak bicara dengannya selembut biasanya. Baru saja ia tadi membuka pintu dan  melangkah masuk, ternyata di depan pintu ia sudah ditunggu, entah sudah berapa lama, Adela tak tau.

"Maaf bu," ucapnya lagi, suara itu bergetar, seolah menahan tangis yang sangat susah untuk di bendung.

Sebenarnya Rani tidak marah pada Adela ia hanya khawatir dengan anak bungsunya ini, izin hanya pergi untuk membeli batagor di depan kompleks nyatanya sampai dua jam setengah tidak kembali, dihubungipun percuma karna hp nya tertinggal di kamar. Ibu mana yang tak khwatir, terlebih yang di khawatirkan itu adalah seorang gadis. Ingin mengatakan pada suaminya pun ia tak tega, karna suaminya lagi bekerja dan pasti akan membuat panik suaminya disana.

"Ibu, Maaf." Kali tak ada yang ia tahan, Adela menangis dengan memohon maaf pada ibunya. "Maaf bu." Untuk yang sekian kali kata itu terucap. Tapi kali ini wanita paruh baya itu berbalik arah dan menatapnya.

Rani malah ikut menangis melihat putrinya yang menangis memohon maaf dari nya. Rani mendekat,dan memeluk Adela.

"Sayang, ibu tidak marah," ucap Rani.  Diciumnya kening putrinya, "ibu hanya khawatir tidak tau kamu kemana."

Dan lagi wanita yang dalam dekapannya itu kembali menangis tersedu-sedu seolah apa yang ia lakukan adalah kesalahan yang sangat besar.

Mungkin bagi seorang anak pergi sebentar tak meminta izin orang tua tidak akan apa-apa selagi pergi ketempat yang baik dan bergaul dengan orang-orang yang baik pula, tapi bagi orang tua kabar anaknya adalah yang nomor satu, makanya orang tua selalu menjadi manusia yang pertama yang selalu ingin tau keberadaan anak-anaknya.

"A-adek j-janji sama ibu, adek akan kasih kabar kemana pun a-dek pergi bu. Maafin adek bu," ucap Adela sesenggukan.

"Iya sayang, jangan buat ibu khawatir lagi." Dikecupnya lagi kening Adela sebagai tanda sayangnya pada putrinya. Adela mengangguk dalam dekapan Rani dan takkan membuat kesalahan yang sama lagi. Cukup kali ini ia membuat kesalahan yang sangat fatal.

Rani merenggangkan pelukannya dan mengajak Putrinya duduk di ruang tamu, sejauh ini Adela merasa bahwa dirinya akan di interogasi.

"Tadi kemana aja, hmm?" Suara lembut itu kembali menyapa pendengaran Adela.

Adela pun menjelaskan kejadian tadi pada ibunya, mulai dari berjumpa dengan Nina dan Varo di depan grobak Bapak tukang batagor, hingga dirinya di seret paksa Nina untuk ikut ke taman hiburan, tak ada yang ia kurangi dari penjelasannya.

"Kalau ngak salah, ibu keknya perna lihat temen kamu deh? Itu, teman yang ngantarin adek pulang waktu itu bukan?" Rani memang melihat Adela di antar oleh Varo, ia sudah memantau Adela dari kaca jendela rumah saat ia mendengar deru suara mobil di halaman rumahnya.

"Iya bu, itu namanya kak Varo, dia perna nganterin adek ke rumah, dia juga yang waktu itu marah ngak jeles sama adek, gara-gara adek ngak sengaja nabrak dia di kampus." Adela menceritakan kembali kisah awal dia kenal dengan Varo.

Rani menatap Adela lekat, Adela yang ditatap jadi was-was.

"Ibu kok lihatin adek kek gitu?"

"Sekarang jawab ibu jujur ya dek." Adela mengangguk walaupun bingung pasalnya ibunya tidak perna semenegangkan ini.

"Adek ada hubungan lebih sama si Varo-Varo itu?" ujar Rani, yang men-dobel nama Varo.

Ingin rasanya Adela tertawa mendengar nama dobel Varo, tapi urung ia lakukan karena saat ini ibunya memang sangat serius padanya.

"Ya adalah bu," mata Rani melotot, mengetahui fakta tersebut. Tapi Rani langsung menghapus dadanya karena kelanjutan dari ucapan Adela. "Kan, kak Varo teman adek, jadi adek sama kak Varo itu punya hubungan pertemanan bu."

Apa putrinya yang terlalu polos dengan pertanyaannya, atau ia yang membuat pertanyaan terlalu susah dicerna Rani tidak tau, tapi sepertinya putrinya yang gagal paham maksud dari pertanyaannya.

"Maksud ibu bukan itu," gemes Rani, ia bahkan mencubit pipi caby putrinya.

"Jadi?" tanya Adela

"Adek ngak lagi pacaran kan sama Varo?" Bicara dengan Adela memang harus tu the poin.

"Astaghfirullohhalazi," pekik Adela, "ibu ngomong apa sih, kan adek ngak pacaran, kata ibu sama ayah kan pacaran dosa."

Rani terkekeh sekaligus seneng dengan pakta itu, tapi ia juga membenarkan penuturan Adela.

"Pacaran itu dosa bukan kata ayah ataupun kata ibu, tapi kata alloh dek."

"Heheheh iya lupa, maksud adek juga gitu."

Untuk lebih memastikan jawaban Adela tadi Rani kembali bertanya, "kalau suka?"

"Ha?"

"Kalau suka, adek suka ngak sama si Varo-Varo itu." Dan lagi dobelan nama itu membuat Adela mengulumkan bibirnya.

"Ngak lah bu, asal ibu tau, kak Varo tuh orangnya suka iseng, keras kepala, suka cari gara-gara sama adek, ngak mungkin dong adek suka bu," ujar Adela.

Rani percaya dengan perkataan putrinya, mungkin saat ini benar ia tak ada rasa pada Varo, tapi tidak menutup kemungkinan suatu saat putrinya bisa saja jatuh cinta pada pria itu jika jarak mereka semakin dekat. Rani tidak mempermasalahkan jika pun putrinya akan jatuh cinta, itu adalah hal yang wajar dan normal, yang ia takutkan hanya satu, ia takut jika rasa cinta putrinya kelak tak dapat putrinya kontrol dan membuat ia salah pergaulan, dan untuk mengantisipasi hal tersebut, maka orang tua terkhususnya seorang ibu, harus mampu memberikan edukasi dan pendampingan bagi anaknya.

Mengingat perkataan Adela barusan bahwa ia tidak mungkin suka pada Varo, sepenarnya Rani juga tidak bisa membenarkan untuk kedepannya, sebab tidak ada yang tidak mungkin, karna rasa cinta hadir tanpa bisa memilih kepada siapa ia berlabuh, bisa saja kita mencintai seseorang yang kita kagumi tapi tidak jarang kita juga bisa mencintai orang yang kita benci, atau setidaknya orang yang suka iseng dan jahil pada kita. Alloh mudah membolak balikkan perasaan hambanya.

"Kalau, Varo orangnya suka cari gara-gara, terus kenapa waktu itu dia nganterin adek pulang, dan tadi juga ngajakin adek jalan-jalan?"

Mendengar pertanyaan itu Adela memutar bola matanya, keatas, kebawah, keatas lagi, setelah beberapa saat matanya melihat keatas, persis sedang mencari jawaban atas pertanyaan ibu nya, padahal tak ada jawaban disana, itu hanyalah cara beberapa orang untuk mencari jawaban ataupun berpikir.

"Adek ngak tau, tapi memang walaupun kak Varo ngeselin dia orang yang baik dan perhatian kok bu." Nah kan, Tadi Adela cuman mengenalkan sisi buruk Varo, sekarang ia juga mengenalkan sisi positif Varo pada ibunya.

"Dek." Rani menggantungkan kalimatnya.

"Ya bu?"

Rani mengelus kepala putrinya, "Terkadang sifat seseorang itu baik, karna memang dari sananya dia adalah orang baik, tapi kadang seseorang itu baik karena menginginkan sesuatu dari orang lain. Adek sudah dewasa, pintar-pintarlah menilai sifat seseorang, jangan menilai seseorang hanya karna melihat satu sifat baik dan buruknya, dari seribu sifat baik dan buruk yang ia miliki." Rani melihat manik hitam itu nampak berkilat, "ibu harap adek mengerti."