webnovel

Di Balik Cermin

Awan dan Langit adalah dua saudara kembar yang terpaksa terpisah oleh sebuah keegoisan orang tua mereka. Di perburuk dengan menghilangnya ingatan Awan tanpa tahu penyebabnya. Membuat Langit mencari cara agar Awan kembali mengingatnya. Sebuah badai datang menghantam hidup Awan ketika dia terjebak di dalam dunia yang tidak dia ketahui setelah Awan memukul cermin. Di dunia Awan tempati sekarang, semua orang begitu aneh dan penuh dengan tipu muslihat. Hanya telpon dari Langit yang berbeda membuatnya sedikit tenang sekaligus janggal, pasalnya Langit ada di dua tempat yang berbeda dengan sifat bertolak belakang. Di satu sisi Langit mencari keberadaan Awan di mana-mana dan entah kenapa satu persatu temannya ikut menghilang. Lalu ada Sain yang sudah lebih dulu terjebak di dunia cermin, satu-satunya yang bisa Awan percayai walaupun sifatnya benar-benar buruk. Lalu ada pertukaran darah malah membuat keadaan semakin rumit. Bisakah mereka keluar dari dunia di dalam cermin? Dan menghindari orang-orang di dalam cermin untuk keluar ke dunia nyata?

White_Black033 · Fantasy
Not enough ratings
192 Chs

Menginap

"Kamu nggak mau kasih tau apa yang kamu lakuin dengan tanganku. Tapi kamu malah datang ke sini." Awan membuka setengah pintu rumahnya, dan memandangi Sain yang masih mengenakan seragam sekolahnya padahal ini sudah tiga jam setelah mereka pulang.

"Aku ini tamu, kamu nggak nyuruh Aku masuk? Panas ini," katanya sedikit mengintip ke dalam rumah lewat celah yang Awan ciptakan.

"Kamu ngapain ke sini?" Awan mengabaikan perkataan Sain, dia malah balik bertanya dan menutup pintu di belakangnya.

Sain memutar mata, tangannya dia silangkan di depan dada dengan menumpukan berat badannya di salah satu kakinya. "Mau menginap."

"Apa?" kata Awan tidak percaya.

"Telingamu bermasalah? Aku harus mengulangi?" Sain berujar bosan.

"Bukan, maksudku kita bahkan bukan teman," kata Awan ragu-ragu, pasalnya dia tidak tahu mengapa Sain tiba-tiba ingin menginap di rumahnya. Mereka bukan teman, dan kadang selalu ada pertengkaran di antara mereka karena sifat kekanakan Sain.

"Kita partner, untuk keluar dari sini kita harus bekerja sama."

Awan mempertimbangkan, dia sebelumnya tidak pernah membawa seseorang ke rumahnya selain Michelia. Dia hanya ingin bersikap baik pada Sain apalagi setelah dia menyembuhkan dengan tidak masuk akal jemari Awan. "Baik."

Awan mengabaikan senyum lebar Sain yang timbul. Dia membimbing Sain untuk masuk ke rumahnya dan menuju kamarnya di lantai atas.

         

"Saat kita masih kecil dulu, kamu sering meluncur di pegangan tangga ini," kata Sain pelan. Awan seketika itu juga berhenti, dia berbalik untuk menatap Sain yang masih memandangi sekitar rumah. Pandangan Sain jatuh tepat di bola mata cokelat cerah Awan, detik seolah berhenti. Awan terpaku dengan pengetahuan Sain tentang dirinya yang bahkan dia sendiri tidak tahu.

         

"Bagaimana kamu tau?" tanya Awan pada akhirnya.

         

"Tau apa?"

        

"Tadi kamu bilang masa kecil kita, kita bahkan baru kenal sejak masuk SMK, kan?"

         

Sain memandang Awan dengan ekpresi tertutup yang tidak dapat Awan tafsir. Dia bahkan tidak menjawab pertanyaannya dan malah melangkah naik meninggalkan Awan berdiri di belakangnya. Awan menegang di tempatnya berdiri, saat Sain berjalan menuju tepat di depan pintunya. Padahal di lantai dua ada dua kamar serupa lainnya yang tertutup dan di biarkan kosong, namun Sain mengetahui bahwa di tempatnya berdiri itu adalah kamar Awan.

         

"Ayo cepet naik, Aku capek."

Awan mendekat ke sisi Sain, untuk membuka pintu lebih dahulu. "Kamu bisa menggunakan kamar sebelah. Di sana kosong."

"Di mana kesenangannya? Aku nggak mau bicara dengan dinding. Minggir kamu!" Sain mendorongnya masuk ke kamar, meletakkan tasnya di atas meja dan memegangi pinggulnya sambil menaikkan alis melihat Awan. "Dimana Langit dan ayahmu?"

Awan terdiam sejenak, hal-hal janggal yang terjadi tampak telah menjadi hal biasa bagi Awan sekarang. Dia menghempaskan tubuhnya di atas kasur dan mendongak untuk menatap Sain. "Ayah pergi bekerja ke luar kota dan Aku nggak tahu di mana Langit. Kamu pernah ke sini sebelumnya?"

Sain tidak langsung menjawab, dia melihat ke samping lebih dahulu dan kembali menatap Awan. Sain mengangkat bahunya acuh. "Iya, sering."

Awan mengangkat alisnya, mau tidak mau merasa penasaran. Jika dirinya di sini berperilaku sangat buruk, dia tidak akan heran bahwa Sain dan dirinya yang ada di sini sebelumnya akan berteman baik. "Kamu tau nggak hubunganku dengan Langit? Hingga dia ada di sini."

"Kalian kembar," jawab Sain cepat.

"Aku tau kami mirip, tapi di kehidupan nyata kita nggak saling berhubungan atau hubungan darah. Maksudku kami terpisah, dan nggak saling mengenal pada awalnya," kata Awan ragu-ragu.

"Benar, kamu cuma perlu buka matamu lebar-lebar dan pergunakan otakmu dengan benar. Kamu akan tau itu."

Awan berdecak mendengar perkataan Sain dia menggerakkan kakinya untuk menendang tulang kering Sain, dan sedikit kesal melihat Sain tampak tidak merasakan sakit hanya masih berdiri tanpa terganggu. "Kata-katamu kasar."

"Kamu bisa pikirkan lagi apa yang Aku katakan," kata Sain dengan serius. "Gerah, sudah sore. Aku belum mandi. Ayo kita mandi berdua." Sain menjentikkan kepalanya ke arah pintu kamar mandi dengan alis tebalnya yang naik turun, Awan tidak peduli dan lebih memilih berbaring dan menenggelamkan wajahnya di balik bantal.

***

"Lihat Riksa, kamu nggak punya bayangan di cermin!" Awan menunjuk cermin di mana Sain berdiri di depannya mengenakan pakaian milik Awan yang oversize karena perbedaan ukuran dirinya dan Sain.

"Kamu juga, bodoh."

"Iya, Aku tau." Awan mengira hanya dirinya yang tidak memiliki bayangan ternyata tidak. Mereka harus menjalani kehidupan tanpa cermin, dan entah mengapa Awan menganggapnya sedikit lucu. Awan tersenyum. "Kita hanya bisa mengira-ngira tentang penampilan kita. Kamu yang selalu berantakan nggak terlalu membutuhkannya, kan?"

Sain mendengus, dia mendekat ke arah Awan dan sedikit menunduk. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti hingga Sain berkata dengan setengah berbisik. "Aku bisa berkaca lewat matamu, Awan."

Awan sedikit terganggu dengan kurangnya jarak. Tapi dia sekali lagi tersenyum dan mengangkat tangannya untuk merapikan rambutnya sendiri. "Aku juga bisa, lebih mudah karena matamu sangat gelap."

Sain mengangkat sebelah alisnya, dia kembali berdiri tegak. Tidak sampai di situ tangan besarnya meraih rambut Awan dan malah mengacaknya tanpa perasaan. "Ini di rumahmu, bukan sekolah."

"Riksa!" Awan menegur dan mendorong dada Sain menjauh.

"Ambilin makanan, sana! Aku laper." Awan sedikit menyesali bagaimana dia mengizinkan Sain untuk menginap di kamarnya.

Kurang di hajar dia!

"Makanan ringan atau berat. Atau kita bisa pesan makanan? Kamu mau apa?" tanya Awan setengah hati.

"Kamu."

"Apa?"

"Aku bilang terserah kamu. Aku sudah ngomong dari awal kalo telingamu sedikit bermasalah," kata Sain yang malah mengalihkan pandangannya selain ke arah Awan.

Benar, dia selalu merasa bermasalah ketika dia berada di dekat Sain. "Tunggu di sini."

Ketika Awan keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan, dia mendapati Langit sudah berada di sana sendirian. Awan tidak berani untuk menyapa, dia mengambil dua piring dan meletakkannya di atas nampan. Dia merasakan tatapan Langit tertuju padanya. Awan mengira Langit sudah mengetahui keberadaan Sain, di lihat dari motornya yang bertengger di luar.

"Untuk siapa?" Awan sedikit tersentak mendengar suara Langit yang tia-tiba mengisi ruang yang sepi.

"Temanku, dia datang untuk menginap."

"Siapa?"

"Riksa." Saat melihat Langit mengerutkan alisnya, Awan langsung membenarkan. "Sain Antariksa. Teman sekelasku."

Langit mengangkat bahu acuh dan meneruskan kembali makannya. Awan selesai menyiapkan makanannya dan mengisi air di dalam gelas. Dia langsung meninggalkan ruang di mana Langit berada dengan suasana yang tidak nyaman itu.

Saat Awan telah sampai dan malah mendapati Sain baru saja membaringkan badannya di kasur. Dia langsung meletakan nampan di atas nakas tidak berusaha membuat pergerakannya terdengar halus. Sain melihatnya, dan bangkit untuk duduk.

"Aku baru memikirkan sesuatu, jika kita bisa ada di sini. Seharusnya mereka juga, kan?" tanya Sain berpikir. Dia menjepit dagunya dengan dua jari dan melihat Awan.

"Gara-gara kamu datang, Aku lupa kalau ada seseorang di kelas lain menghilang dan Aku yakin itu pasti terhubung ke tempat asli kita?"

Terima kasih telah membaca