webnovel

Di Balik Cermin

Awan dan Langit adalah dua saudara kembar yang terpaksa terpisah oleh sebuah keegoisan orang tua mereka. Di perburuk dengan menghilangnya ingatan Awan tanpa tahu penyebabnya. Membuat Langit mencari cara agar Awan kembali mengingatnya. Sebuah badai datang menghantam hidup Awan ketika dia terjebak di dalam dunia yang tidak dia ketahui setelah Awan memukul cermin. Di dunia Awan tempati sekarang, semua orang begitu aneh dan penuh dengan tipu muslihat. Hanya telpon dari Langit yang berbeda membuatnya sedikit tenang sekaligus janggal, pasalnya Langit ada di dua tempat yang berbeda dengan sifat bertolak belakang. Di satu sisi Langit mencari keberadaan Awan di mana-mana dan entah kenapa satu persatu temannya ikut menghilang. Lalu ada Sain yang sudah lebih dulu terjebak di dunia cermin, satu-satunya yang bisa Awan percayai walaupun sifatnya benar-benar buruk. Lalu ada pertukaran darah malah membuat keadaan semakin rumit. Bisakah mereka keluar dari dunia di dalam cermin? Dan menghindari orang-orang di dalam cermin untuk keluar ke dunia nyata?

White_Black033 · Fantasy
Not enough ratings
192 Chs

Pertukaran Darah

Selamat Membaca.

Awan sungguh tidak ingin berada di posisi ini. Di mana seseorang mengasihani dia, tidak. Karena itulah dia menutup rapat-rapat apa yang terjadi pada dirinya. Tapi semuanya terlambat. Langit dan Sain sudah mengetahuinya. Awan rasanya berdiam pada dunia kecil hingga dia tidak tahu harus melarikan diri kemana saat dirinya di kejar-kejar oleh rasa iba.

"Awan." Suara Sain memecah kesunyian di lahan parkir sekolah yang mulai sepi. Lelaki itu berdiri di sisi motornya sendiri di sebelah Awan.

Awan mengabaikannya, dia mencari-cari kunci di saku celananya tapi tidak menemukannya. Dia ingat betul menaruhnya di saku celana, tapi sekarang menghilang.

"Awan, telingamu bermasalah ya." Awan menoleh menatap Sain dan mungkin sedikit bersyukur orang yang berdiri di hadapannya ini bukan manusia biasa, dia merasa sedikit normal kembali. Dimana hidupnya masih berputar untuk membenci Sain.

Awan mengabaikan Sain dan berbalik untuk kembali ke kelas karena bisa saja kuncinya terjatuh di sana. Baru beberapa langkah, punggung Awan di lempar sesuatu. Dia dengan lelah berbalik dan mendapati kunci motornyalah yang di lempar oleh Sain, tapi Awan tidak mengatakan apapun dia mengambilnya dan menaiki motornya.

"Nggak ada sesuatu pengen kamu omongin?" tanya Sain dengan tangan menyilang sambil memandang Awan dengan matanya yang gelap.

Awan memasang helm dan menyalakan motornya. Tapi Awan tahu Sain tidak pernah diam.

"Kamu nggak bisa bicara?" tanya Sain sekali lagi.

Awan menoleh menatap Sain yang menyisir rambutnya dengan jemari tangan. Lalu tangannya jatuh memegang pinggulnya. Dia mendengus, "Apa liat-liat."

"Aku membencimu, Riksa." Hanya dengan itu, Awan langsung tancap gas meninggalkan Sain yang berteriak di belakangnya.

Dia terlalu banyak omong kosong.

***

Motor Awan melambat tepat di dalam mulut gang, dia menepikan motornya di sana. Awan sedikit bergetar ketika matanya berkeliling menatap tempat di mana hidupnya terhempas hancur berkeping-keping. Dia melangkah mantap lebih masuk ke dalam gang, mengamati bagaimana tempat ini begitu persis seperti dalam ingatannya.

Mata Awan terpaku mendapati cermin yang bersandar di tembok. Seperti yang Awan ingat cermin itu memiliki ukiran kayu bermotif bunga mawar bercat emas dan merah tua pada bingkainya. Cermin itu tidak seharusnya ada di sini. Siapa yang meletakkannya di sana?

Tapi apa yang membuat Awan merasa janggal adalah tidak ada retakan di sana, di mana Awan seharusnya sudah menghancurkan cermin itu sebelumnya. Namun cermin itu masih mulus seperti tak tersentuh, atau mungkin itu karena dia berada di dunia berbeda, di tempat seperti dimensi lainnya.Di mana hal-hal yang terjadi tidak saling berhubungan di sini. Awan tidak memahami, semua ini yang sangat bertentangan dalam logikanya.

Awan melangkah mendekat untuk melihat lebih jelas. Walaupun dirinya telah melihat berulang kali tetap saja dia tidak akan bisa terbiasa dengan tidak melihat pantulan dirinya sendiri di sana. Bayangan itu menebus Awan. Tampak seperti dia adalah sesosok hantu.

Awan menyapukan jemarinya di permukaan cermin. Dingin dan lembab. Seharusnya di sinilah dia bermula dan di sinilah dia berakhir. Ini adalah harapan satu-satunya bagi dirinya, Awan menarik napas panjang dan menghembuskan pelan.

Dengan cepat tangan Awan berayun kuat, dengan suara pecahan mengerikan memenuhi tempatnya berdiri. Rasa sakit menyengat pada genggaman tangannya yang menghantam permukaan kaca serta darah yang yang meleleh keluar dari kulitnya yang terbuka. Cermin itu sekarang hancur berkeping-keping, berserakan di bawah kakinya. Namun ketika Awan memandang sekitar, dia meringis saat tahu bahwa tidak ada yang berubah seperti harapan Awan pada awalnya 

"Mungkin kurang keras," bisiknya dengan harapan yang menipis. Awan kembali menghantam cermin itu lebih kuat dari sebelumnya, sampai dia mengira luka tangannya serasa kebas dan mati rasa.

Tubuh Awan di tarik dan di balik dengan kasar, untuk menemukan Sain berdiri di hadapannya dan menggengam bahunya erat. Awan sedikit mendongak menatap mata hitam berkilat yang juga balik memandangnya dengan amarah berkobar.Dia tidak tahu kapan munculnya Sain, hingga Awan tidak menyadarinya.

"Kamu puas?" desis Sain.

Awan dengan tanpa ekspresi mundur meloloskan dirinya dari cengkeraman Sain. Mengapa Sain ada di sini? Memergoki dirinya yang sedang berada di titik terlemahnya.Untuk menertawainya?

Dengan mengumpulkan sisa rasa malunya, Awan berbalik untuk meninggalkan Sain. Namun dia menyadari itu tidak akan berjalan dengan mudah. Sain kembali membalikkan badannya dan Awan menolak untuk memandang ke arah Sain. Apa-apaan ini? pikir Awan. Dia ingin cepat lari dari sini setelah dia tidak bisa keluar dari kekacauan yang dia ciptakan sendiri. Dan mengapa juga dia harus berbincang-bincang dengan orang yang seharusnya dia benci?

"Ada apa dengan kamu?" tanya Sain nadanya masih tajam seperti sebelumnya. Apa peduli dia terhadap Awan?

Tangan Awan masih berdenyut, yakin beberapa serpihan kaca menancap di sana. Dia merasakan Sain menatap tangannya, Awan ikut memandang ke bawah memperhatikan darah menetes perlahan untuk jatuh ke tanah.

"Kamu bodoh, apa manfaatnya dengan menghancurkan cermin itu?" Sain hampir menggeram, nampaknya Awan lebih tertarik memandang darahnya sendiri dari pada Sain yang berdiri di hadapannya. Dia melihat Sain mengambil sebuah pecahan cermin, dan mengusik rasa ingin tahu Awan. Mata Awan melebar saat dia melihat Sain tengah menggores telapak tangan kirinya sendiri.

Awan merasakan pergelangan tangan kanannya yang terluka di raih oleh Sain. Dia mencoba melepaskannya tapi sayangnya Sain telah menggenggamnya lebih erat. "Apa-apaan ini, Riksa?"

"Kamu yang apa-apaan? Jika kamu ingin melampiaskan emosi, kamu bisa melakukannya padaku, dasar bodoh," cibir Sain. "Tutup matamu! Jangan buka sebelum Aku mengizinkannya."

"Kamu ingin membunuhku? Lakukan dengan cepat," kata Awan dengan pasrah menutup matanya. Sain mendengus keras sebagai jawaban diamnya.

Dia meringis kala punggung tangannya di bungkus oleh telapak tangan Sain. Awan masih mengikuti alur yang di mainkan oleh lelaki yang berdiri di hadapannya ini, dia tidak mengerti tujuannya. Hawa dingin menyelimuti tangannya secepat dia datang dan secepat itu juga dia pergi. Perlahan rasa sakit memudar dan dia bisa merasakan kembali bagaimana perasaan lengket dari noda darah di permukaan kulitnya  serta punggung tangannya terasa hangat tertutup tangan Sain. Dia tergoda untuk membuka matanya tapi Sain belum mengizinkannya.

"Kenapa, sih?" tanya Awan penasaran. Sesaat dia lupa dengan kejadian yang dia alami beberapa menit yang lalu.

"Aku bilang jangan buka," bisik Sain membuat Awan tersentak karena merasakan kurangnya jarak di antara mereka. Napas Sain berbayang di wajah Awan dan dirinya sedikit bergidik, namun Awan tetap menutup matanya. Kakinya seolah lengket di tanah bahkan untuk bergeser rasanya dia tidak mampu.

"Buka."

Bulu mata Awan berkibar hanya untuk menemukan bola mata hitam menatapnya sangat dekat, hingga Awan harus mundur beberapa langkah dengan tangan mereka yang masih bertaut.

"Aku pikir kamu tertidur."

Awan menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Dia balik menatap Sain dengan tanda tanya. "Kamu ngapain tadi?"

Sain memperlihatkan telapak tangan kirinya, yang Awan yakin tadi sengaja di gores dengan kaca sekarang tampak seperti tak pernah ada goresan. Awan menatap tak percaya, dia mendekat untuk memandangnya lebih dekat.

"Bagaimana bisa? Aku melihatnya sendiri bahwa kamu—," Awan tidak menyelesaikan kata-katanya, dia secara naluriah meraih tangan Sain, meraba permukaan telapak tangan Sain dengan jari-jarinya yang panjang.

Bagaimana bisa sembuh secepat ini?

"Aku tidak percaya ini, apa yang kamu lakukan tadi?" Awan mendongak untuk mendapatkan jawaban dari Sain. Namun dia malah mendapati Sain yang mengalihkan pandangannya dari Awan dan menarik tangannya cepat.

"Kamu bodoh, kamu tidak memperhatikan tanganmu sendiri?"

Awan melihat punggung tangannya yang masih mengambang di udara, selesai dia memegang tangan Sain barusan. Dia terperangah, ketika dia tidak menemukan goresan dan rasa sakit di sana. Hanya ada noda darah.

Awan mengelus-elus tangannya, mencari kalau-kalau dia akan meringis kesakitan. Tapi tidak, dia tidak merasakan apapun. "Riksa, apa yang kamu lakukan?"

Bersambung...