webnovel

Di Balik Cermin

Awan dan Langit adalah dua saudara kembar yang terpaksa terpisah oleh sebuah keegoisan orang tua mereka. Di perburuk dengan menghilangnya ingatan Awan tanpa tahu penyebabnya. Membuat Langit mencari cara agar Awan kembali mengingatnya. Sebuah badai datang menghantam hidup Awan ketika dia terjebak di dalam dunia yang tidak dia ketahui setelah Awan memukul cermin. Di dunia Awan tempati sekarang, semua orang begitu aneh dan penuh dengan tipu muslihat. Hanya telpon dari Langit yang berbeda membuatnya sedikit tenang sekaligus janggal, pasalnya Langit ada di dua tempat yang berbeda dengan sifat bertolak belakang. Di satu sisi Langit mencari keberadaan Awan di mana-mana dan entah kenapa satu persatu temannya ikut menghilang. Lalu ada Sain yang sudah lebih dulu terjebak di dunia cermin, satu-satunya yang bisa Awan percayai walaupun sifatnya benar-benar buruk. Lalu ada pertukaran darah malah membuat keadaan semakin rumit. Bisakah mereka keluar dari dunia di dalam cermin? Dan menghindari orang-orang di dalam cermin untuk keluar ke dunia nyata?

White_Black033 · Fantasy
Not enough ratings
192 Chs

Kita Partner, Kan?

"Gara-gara kamu datang, Aku lupa kalau ada seseorang di kelas lain menghilang dan Aku yakin itu pasti terhubung ke tempat asli kita?"

"Apa maksudmu?"

Sain memijat pangkal hidungnya, matanya menyipit melihat ke arah Awan yang berjalan mendekat dan duduk di sebelah Sain. Awan berharap hal ini akan bisa menemukan titik terang untuk kembali pulang.

"Ada satu murid laki-laki yang satu kelas dengan Langit, tiba-tiba menghilang setelah dia masuk ke toilet. Beberapa murid melihatnya sendiri, dia masuk tapi nggak ada yang melihat dia keluar. Setelah di cek ternyata dia nggak ada, mereka hanya melihat retakan cermin di sana. Di kelas, bahkan di rumahnya pun dia ngga di temukan," terang Sain.

"Apa kita harus memecahkan cermin itu?"

"Kalau kamu mencoba memecahkannya dengan tangan kosong lagi, Aku yang akan memecahkan kepalamu." Sain kembali berbaring telentang, dia memandang langit-langit yang dicat polos.

"Aku cuma bertanya." Awan bangkit berdiri, mengambil makanannya untuk dia makan di atas karpet merah di sisi ranjang. Dia tidak perlu repot-repot menawari Sain, karena Sain sudah melakukan hal yang sama.

Awan mendongak melihat Sain telah meletakkan beberapa potongan brokoli di atas piringnya lantas Awan bertanya, "Kenapa?"

"Kamu selalu suka, kan? Karena kamu salah satu jenis herbifora."

Awan terkekeh dan menyendok brokoli yang baru saja di berikan Sain. "Kamu apa? Karnivora? Jadi, apakah Aku harus takut, kalau-kalau kamu akan memakanku?"

Sain terbatuk memuncratkan sisa makanan yang belum sempat dia telan. "Kamu jangan mengadi-ngadi. Kita harus fokus dengan pembicaraan kita sebelumnya."

Awan meringis, saat dia melihat Sain mengotori karpetnya. "Tunggu, Riksa. Kamu pernah bilang sebelumnya, jika orang di tempat asli muncul di sini maka, orang yang ada di sini akan hilang untuk selamanya. Tapi bagaimana kalau kita kembali ke tempat asal kita apakah kita pada akhirnya lenyap juga?"

Sain tampak berpikir sebentar, sendok yang dipegangnya hendak dia suap mengambang di udara. "Aku rasa, sih. Nggak. Karena menurutku nggak bisa dua orang yang sama juga ada di tempat yang sama. Jadi jika salah satunya menghilang mungkin saja nggak ada masalah kalau kita mondar-mandir antara dunia asli dan dunia cermin."

"Kita keluar dari sini saja nggak bisa, bagaimana ingin mondar-mandir," dengus Awan. Di dalam hatinya Awan benar-benar ingin keluar dari sini, dia sangat merindukan ayahnya. Ayahnya mungkin saja masih mencarinya dan ayahnya sendirian sekarang.

"Aku cuma menjawab pertanyaanmu, bodoh." Sain meletakkan piring kosong di atas nampan dan meneguk air hingga tandas. Awan melakukan hal yang sama. Karena kehadiran Sain kali ini membuat Awan lupa memikirkan hal-hal buruk yang dia alami. Dia memikirkan ayahnya, tentu tidak sama dengan ayahnya yang di sini yang mempunyai sikap dingin dan tampak tidak menyukainya.

Hampir seperti terprogram, Awan meraih nampan makannya meletakan di meja sudut ruangan. Dia datang ke kamar mandi untuk menggosok gigi, dan menimbang apakah dia akan mengganti baju tidur di sini atau di kamar mandi. Awan dengan cepat memutuskan untuk tetap mengganti  di kamar, merasakan pandangan Sain menyapu dirinya dan Awan mengabaikannya karena mereka sama-sama laki-laki.

"Kamu kenapa?" tanya Sain tiba-tiba memecah keheningan.

Awan mengajar alisnya. "Kenapa?"

"Kamu jadi diam."

Awan menggeleng kecil, dia mendekat ke arah rajang dan menunduk untuk menarik kasur lainnya di bagian bawah dengan Sain yang duduk hanya mengamatinya.

Awan mengambil salah satu bantal dan berkata. "Kamu di atas, biar Aku yang di bawah."

Lagi-lagi Sain terbatuk kecil, Awan meliriknya untuk mendapati Sain yang tidak salah Awan lihat dia sedikit terlihat malu-malu. Sain malah balik menatapnya dengan menantang.

Apa maksudnya itu?

"Apa? Jelas Aku memilih di atas," kata Sain cepat.

Awan hanya mengangkat bahu acuh dan menyisir poni rambutnya kebelakang. Dia menahan diri untuk tidak memutar matanya. "Kamu aneh."

"Kamu yang aneh. Kita nggak seharusnya tidur setelah makan." Sain menyela pikiran Awan yang hendak melayang ke sana-kemari.

"Memang. Tapi karena ada kamu, nggak ada hal lain yang bisa Aku lakuin, kalau kamu nggak mau tidur itu urusanmu," kata Awan ringan membaringkan tubuhnya di kasur. Dia menoleh melihat Sain yang juga melihatnya. Detik rasanya melambat dalam pertarungan saling menatap mereka, Awan meyakini jika dia berpaling maka Awan merasa kalah. Jadi, Awan mengikuti alur permainan yang Sain ciptakan.

"Emang kamu biasa ngapain?" tanya Sain dengan suaranya yang memberat mengisi kamar yang lengang dengan tanpa mengalihkan pandangannya. Awan merasa aneh ketika dia memandangi Sain seperti ini, tenggorannya menjadi kering dengan jantungnya yang tidak bisa dia ajak bekerja sama, berdetak sampai Awan merasa takut jika Sain nanti akan mendengarnya. Namun dia tidak ingin menyerah, membiarkan perasaan tidak nyaman menggantung di benaknya.

Awan berkedip sekali dan menjawab, "Belajar."

"Hal lain?"

"Baca buku."

"Lain?"

"Tidur?" jawabnya ragu, Awan sendiri tidak yakin. Alisnya mengerut dengan banyaknya pertanyaan yang di lontarkan oleh Sain. Dia berbaring tidak nyaman di bawah pandangan Sain yang terasa intens. Namun Awan tetap berusaha menjadi tuan rumah yang baik, di mana bahwa terserah Sain ingin memandang ke mana. Itu adalah matanya sendiri.

Pada akhirnya Sain menolehkan kembali kepalanya menjadi lurus sambil berbaring telentang, tanpa sadar Awan mengikutinya dan menghembuskan napas yang dia tidak tahu telah dia tahan selama itu.

"Kamu jangan tidur dulu, mari kita bercerita."

Awan terkekeh dia kembali menoleh untuk mendapati Sain yang kali ini berbaring miring menghadapnya sebelah tangannya menggantung ke bawah, bergoyang-goyang dengan pelan.

"Kamu bukan lima tahun, yang harus diceritakan dongeng sebelum tidur. Kamu lupa bahwa kita bahkan bukan teman."

Awan sepintas melihat perubahan cepat ekspresi Sain yang tertutup lalu kembali normal dengan cepat menjadi raut wajahnya yang biasa.

"Kita partner. Ingat?"

"Terserah apa katamu." Awan meluruskan kepala, dia meletakkan tangan kanan di wajah untuk menutupi wajahnya dengan lengannya.

"Baik, Aku bertanya lebih dulu. Kamu bener-bener lupa masa-masa kecil kamu dulu?" tanya Sain hati-hati, yang entah mengapa malah membuat suasana hati Awan menjadi buruk. Tidak ada yang pernah mengungkit hal ini, termasuk ayah dan Michelia.

"Iya, ingatanku berhenti sudah lama sejak kecil. Nggak tahu kenapa itu bisa terjadi," katanya menghela napas berat. Tangan Awan merayap untuk menjadi tumpuan di belakang kepalanya. Padahal mereka bukan teman, tapi Awan sama sekali tidak merasa keberatan membagi hal buruk lainnya pada Sain. Lagi pula Sain sendiri telah mengetahui rahasia paling buruk yang dia alami Awan.

"Benar-benar lupa?"

Awan mengingat dengan keras, membuka buku imajiner di dalam kepalanya untuk melihat ingatan apa saja yang bisa dia ingat dan temukan di dalam kepalanya, tapi di sana kosong. Tidak ada apapun yang mampu dia ingat. "Iya, lupa."

Sain tidak menanggapi apapun setelahnya. Awan tidak benar-benar tahu apa yang di pikirkan oleh Sain setelah dia menjawabnya dan sebenarnya tidak ada yang tahu orang-orang sekolah tentang ingatannya yang menghilang selain Michelia. Namun, di sini Sain mengetahuinya dengan pasti, ada jeda panjang di antara mereka yang membuat Awan dapat kembali bernapas normal.

Kali ini Awan bertanya, sebenarnya dia sama sekali tidak tahu ingin bertanya apa mengenai Sain. "Oke, sekarang Aku yang bertanya. Saat kamu mengobati tanganku tadi siang, kenapa kamu melukai tanganmu juga?"

Sain terbatuk kecil, mengusik Awan untuk melihat ke arahnya. Awan memindai mencari sesuatu yang salah pada Sain, dia berbaring miring untuk melihat Sain dengan jelas.

"Itu hal wajib di lakukan. Karena tutorialnya memang seperti itu," Sain berkata santai, tapi Awan tahu dia tidak sedang seperti itu.

"Tutorial? Maksudmu kamu menonton sesuatu, lalu mengikutinya? Mana ada yang seperti itu."

"Kamu bodoh dengarkan Aku baik-baik. Diriku yang berada di sini entah mengapa sepertinya dia sangat senang membaca buku-buku aneh, dua bulan setelah Aku tiba di sini Aku menemukan potongan kertas lusuh di salah satu kantong tasku. Seperti manusia normal pada umumnya, Aku membacanya. Hanya membaca, tapi Aku nggak bisa mempraktekkannya begitu saja. Beberapa bulan kemudian ada orang bodoh di sebuah gang, memukuli cermin seperti orang gila. Lalu Aku teringat tentang kertas yang pernah Aku baca itu, jadi Aku mempraktekkannya pada dia," terang Sain panjang lebar.

"Kamu menjadikan Aku kelinci percobaan?"

Sain berdecak, mata hitamnya memelototi Awan. "Mana mungkin Aku mempraktekkannya ke sembarang orang. Tentu saja ada kamu untuk memulai."

"Kamu melakukan sihir gelap padaku. Aku ingin melihat kertasnya, Riksa." Awan duduk seketika.

"Aku membuangnya, karena Aku sudah hapal di luar kepala."

Dia merasakan amarah yang timbul dengan mengetahui perbuatan Sain padanya. Dia memang menyembuhkan Awan, tapi dia menggunakan sihir gelap yang tidak bisa di percaya, bahkan bisa jadi menimbulkan efek samping yang begitu buruk nantinya.

"Efek sampingnya nggak seburuk itu." Sain menyela pikiran Awan yang bercabang, dia seperti mengerti apa yang sebenarnya Awan pikirkan sekarang. "Jangan terlalu banyak memikirkannya, sana berbaring lagi!"

Awan menghela napas, pasrah, dan mau tidak mau mempercayai Sain. Lagi pula Sain membantunya, kan?

Dia kembali berbaring dengan punggung menghadap Sain. Awan lelah, sungguh. Dia menerka apakah besok di hari libur, hari-harinya akan seberat hari ini?

Awan merasakan sisi lain tempatnya berbaring terasa memberat, dia berbalik hanya untuk mendapati Sain sudah berbaring menyamping di sisinya. "Kamu punya tempat sendiri. Sana pergi!"

"Di sana terlalu luas, jadi Aku pindah ke bawah," katanya tampak tidak merasa bersalah. Tapi bagi Awan, ini terasa sempit dia bahkan merasakan napas Sain berbayang di depan wajahnya.

"Kamu nggak masuk akal, Aku sempit."

"Aku yakin itu." Awan melihat dia menyeringai.

Awan merasa tidak nyaman, berhadapan dengan Sain sedekat ini. Ketika dia hendak berbalik, tangan Sain melayang memegang bahunya untuk menahan Awan agar tidak berbalik.

"Tidur saja," bisik Sain. Tapi dirinya sendiri hanya memandangi Awan dengan aneh, ekspresi tidak dapat Awan baca. Karena Awan belum pernah melihatnya sebelumya, Awan mengamati bagaimana rona kemerahan merangkak naik dari leher Sain ke pipinya. Padahal Awan telah mengatur suhu pendingin yang tidak terlalu dingin.

"Apakah partner, terkadang tidur di kasur yang sama?" tanya Awan.

Sain tampak berpikir sebentar, Awan sedikit bergidik saat kaki Sain menyentuh kakinya. Awan selalu mempunyai kebiasaan tidur tanpa selimut, sekarang dia sedang mengenakan celana pendek rumahan di atas dengkul. Awan tidak berusaha menjauh dari sentuhan, karena dia tidak punya ruang yang tersisa.

"Iya," jawab Sain hampir seketika. Awan memikirkan sebentar, ketika dia menyadari tidak ada masalahnya karena mereka adalah laki-laki.

"Oke," kata Awan memperhatikan bagaimana Sain yang Awalnya menengang tampak rileks kembali.

Awan menutup matanya, merasakan gerakan Sain yang semakin dekat ke arahnya. Tangan Sain yang masih di bahunya sekarang telah turun di pinggangnya, dan menetap di sana.

Aku dan dia sama-sama laki-laki, pikir Awan merasa sedikit santai. Akhirnya dia tertidur.

Terima kasih telah membaca.