webnovel

Dear, Mantan Musuh

Perhelatan perkawinan Sakha hanya tinggal menunggu hari, tapi mendadak pengantin sang lelaki hilang tanpa kabar. Sakha begitu terpukul, ia bahkan berencana menyewa seorang wanita bayaran untuk menggantikan mempelai wanitanya yang telah menghilang. Di sisi lain, kedua orang tua Sakha menolak. Dan malah meminta Ghina, adik angkat Sakha untuk menjadi pengantin pengganti. Ghina tak mampu menolak, hingga ia menerima dengan mencari cara agar mampu mengikhlaskan. Jika semasa kecil, Sakha teramat membenci Ghina. Maka setelah menikah, Ghina berjanji akan membuat Sakha mencintainya. Apapun akan ia lakukan termasuk menyingkirkan pengantin Sakha yang belakangan kembali hadir mengusik rumah tangga mereka. Mampukah Ghina maraih cinta Sakha, ataukah ia harus mengikhlaskan sang suami kembali ke hati mantannya. "Aku tak pernah menyangka, ternyata kita dipertemukan dalam satu rumah tangga. Apa yang akan kamu lakukan padaku setelah kita resmi menikah, bukankah kamu sangat membenciku. Kamu pernah bilang, kalau aku ini jelek, bukan tipemu. Dilihat dari sudut pandang manapun, aku tetap jelek. Kamu juga yang pernah menyumpahi, tak ada lelaki manapun yang akan menikahi pengkhianat sepertiku hanya karena aku memergokimu berduaan di ruang tamu dengan teman perempuan sekelasmu. Sekarang kau harus memakan sumpahmu, pasti pernikahan ini akan membuatmu atau aku berada pada penderitaan yang tak berkesudahan. Aku harus menyalahkan siapa?"

Wahyuni_3924 · Urban
Not enough ratings
18 Chs

7. Kuingin Selamanya

Sakha sampai di hotel tempat Ryanti menginap tepat pukul setengah sepuluh pagi. Dipencetnya bel kamar. Tak lama, Ryanti pun keluar.

"Masuk dulu, Mas," ajak gadis itu lembut.

Sakha menurut dan memasuki kamar yang dari dalam menguar aroma khas melati. Aroma kesukaan sang gadis impian.

"Mas harus ngomong sesuatu sama kamu."

Ryanti yang tengah menuangkan kopi ke dalam gelas, menoleh sejenak.

"Ngomong aja, Mas. Ryanti siap mendengar kok."

Sakha menarik napas dalam, ia akan menyampaikan apa yang menjadi harapan Ghina untuk sebulan ini.

"Begini, Yank. Selama sebulan ini, Mas minta kamu jangan menghubungi Mas sebelum Mas sendiri yang menghubungi kamu."

Gadis itu tersentak. Segera ia duduk di samping Sakha begitu selesai meletakkan kopi di atas meja.

"Kenapa, Mas? Jangan bilang kalau Mas mau meninggalkan aku?"

Ryanti mulai memasang wajah cemberut.

"Bukan."

Sakha memberi jeda pada ucapannya, ada yang menyesakkan dada ketika ia hendak menyampaikan hasil diskusinya semalam bersama Ghina.

"Lalu kenapa, Mas?"

"Mas sudah berjanji pada Ghina untuk tidak melayani apapun tentang kamu, jika Mas bersamanya."

Ryanti mencebik, seketika ia berbalik dan meninggalkan Sakha. Gadis itu memilih berjalan menuju jendela kaca yang langsung menghadap ke jalanan Kota Jakarta. Pemandangan yang indah, tapi tak seindah hatinya kini.

"Sudah kuduga Mas, kamu akan terjerat pada pesona gadis itu. Lalu, apa lagi, kamu akan memutuskan untuk bertahan di sisinya, sedang aku kau biarkan terseret-seret ke sana ke mari?"

Sakha bangkit dan berjalan mendekati gadis itu.

"Seperti itukah Mas di matamu?"

"Lalu apa lagi, Mas? Sekarang juga Mas keluar dari sini, aku nggak mau lagi bertemu sama kamu! Keluar, Mas! Keluar!" bentak Ryanti sambil terus mendorong tubuh Sakha agar menyingkir dari kamarnya. Tak tahan dengan perlakuan gadis itu, Sakha memegang kedua tangannya.

"Dengarkan Mas dulu."

Ryanti berhenti mengamuk.

"Ini tidak akan lama, hanya sebulan. Setelah itu, kami akan ...."

Otak Sakha berpikir kuat, haruskah ia mengatakannya pada Ryanti?

"Akan apa Mas?"

"Kami akan berpisah."

Wajah yang tadi menyala merah, kini seketika berubah. Gurat bahagia terpancar dari wajah gadis itu. Seulas senyum mengembang di bibirnya. Seketika ia memeluk tubuh Sakha.

Beberapa menit, Sakha hanya bergeming. Namun, Ryanti tak menyerah, dia semakin mengeratkan pelukan membuat apa yang sedang dipikirkan Sakha buyar entah kemana.

Seperti keinginan gadis itu, kini sebelah tangan Sakha menyilang di bahu sang wanita impian.

***

Matahari hampir tenggelam. Warna jingga mulai menghiasi wajah langit yang menghampar. Ghina baru saja selesai memotong buah-buahan untuk papa mertuanya, saat tiba-tiba Sakha muncul di balik pintu.

"Jam segini baru sampai, kemana aja kamu Sakha?"

Mama menyerang Sakha yang belum pun mendudukkan tubuhnya pada sofa.

"Maaf, Ma. Tadi banyak kerjaan yang harus Sakha selesaikan. Berhubung perusahaan akan segera meluncurkan proyek terbarunya," ucap lelaki itu sambil menghela napas.

"Diminum dulu, Mas."

Segelas teh hangat mengarah ke tangan Sakha. Lelaki itu segera meraih dan menyunggingkan senyuman bagi gadis ayu yang memberikan teh itu.

"Seharian Ghina menghabiskan waktu di rumah sakit. Apa begini, perusahaan menyambut pengantin baru?"

Sakha menoleh pada Ghina.

"Malam ini, Sakha bakalan ngajak Ghina jalan-jalan kok, Ma."

"Kalau gitu, tunggu apa lagi, buruan ajak Ghina pulang!" titah sang mama dengan wajah serius.

"Oke, siapa takut. Mama, Pa, Sakha balik dulu, ya."

Tak lagi duduk, lelaki itu segera berpamitan pada mama dan papanya, lalu menggandeng tangan Ghina keluar ruangan.

"Emangnya Mas mau ngajak Ghina kemana malam ini?" tanya gadis itu saat mereka beriringan menapaki koridor rumah sakit.

"Mas cuma ngasal aja sama Mama, biar nggak dibombardir sama ribuan ceramahnya!"

Sakha tertawa terkekeh, Ghina yang tau bahwa omongan Sakha tadi hanya bercandaan, seketika menjadi badmood.

Dia mempercepat langkahnya.

"Eh, jalannya kok cepat banget, Ghin? Dikejar setan?"

"Iya, setan itu lagi di depan aku sekarang?"

"Mana? Mana? Biar tak bacain doa!"

Ghina membuka tas selempang yang ia bawa, dikeluarkannya sebuah cermin bergambar kartun wanita lalu mengarahkan pada wajah Sakha.

"Ini setannya!"

"Jiah, kwalat kamu ngomongin buat suami sendiri setan! Tak doain dilaknat para malaikat!"

"Malaikat nggak akan melaknat wanita shalihah seperti aku, Mas. Justru lelaki seperti Mas yang suka bohong yang sangat dibenci malaikat!"

Mereka terus berdebat sepanjang koridor yang nampak sepi dari pengunjung. Sakha berdiri sejenak, ia merasa sedang berpulang ke masa lalu. Masa-masa anehnya bersama Ghina.

Detik berikutnya, ia tersenyum lalu menarik tangan Ghina yang terus berjalan tanpa menggubris dirinya.

"Kamu ngajak kembali ke masa cebong, ya?"

Ghina mengernyitkan dahi.

Tak lama, tawa pecah diantara keduanya.

"Kamu mau makan malam dimana?"

Ghina memiringkan bibirnya, "ke tempat yang romantis."

Sakha terdiam sejenak. Matanya tajam menatap Ghina. Menyadari tatapan lelaki itu tak biasa, Ghina segera menunduk. Tau diri jika semua ini tak akan lama.

"Kita makan di rumah aja, Mas," ucap gadis itu lesu.

Sakha menghela napas. Lalu dia meraih tangan Ghina untuk ia bawa dalam telapak tangannya.

"Nggak papa, sehabis magrib, kita cari tempat makan terbaik di luar, ya ...."

Seketika itu juga senyum merekah tercetak di wajah sang gadis.

'Padamu yang kucintai ... aku tidak akan memikirkan apa yang akan terjadipada kita esok, lusa atau kapanpun selain hari ini. Aku hanya ingin menikmati setiap detik yang kupunya bersamamu, Mas.'

***

Mereka baru saja selesai melaksanakan shalat magrib berjamaah. Ghina menepuk pelan bahu Sakha. Hingga menyadarkan elaki itu dari menengadahkan tangan.

Sakha berbalik, diulurkannya tangan kanan menyambut uluran tangan Ghina. Kedua mata terus bertatapan, sesuatu kembali berdesir kala Sakha mendapat setiap perlakuan istimewa Ghina buatnya.

Nyaman! Inilah kali pertama Sakha merasa begitu menikmati hidup.

*

"Kerahnya belum rapi, Mas."

Ghina mencoba memperbaiki kerah baju suaminya yang belum terlipat sempurna. Sakha hanya menurut, saat dia rasakan wajah gadis yang kini berstatus istri terasa berjarak begitu dekat dengannya. Hingga, embusan napas gadis itupun terasa menerpa wajah berbulu tipis yang ia miliki.

Setelah memperbaiki kerah, Ghina menggosok garis lurus tempat duduknya kancing kemeja, mulai dari batas leher hingga sampai kancing terakhir.

"Sudah rapi," ucapnya memperagakan gaya seorang perancang busana.

Sakha hanya mampu menatap gadis itu tanpa bisa melakukan apapun. Terlalu, rumit perasaannya saat ini.

Satu hal yang ia tahu, Ghina menyebalkan dahulu kini telah disulap menjadi gadis dewasa yang memesona.

'Sungguh beruntung lelaki yang kelak singgah untuk menetap selamanya di hatimu, Ghin.'

Keduanya kini telah duduk di dalam mobil. Tak lama, kendaraan beroda empat itupun mulai melenggang di atas jalanan.

"Kita mau kemana, Mas?"

"Adalah, tadi kamu minta tempat yang paling romantis 'kan?" jawabnya sambil menaatap manik kecoklatan yang tampak indah dalam bingkai celak berwarna hitam.

Ghina hanya tersenyum, walau hati begitu jelas degupannya.

Beberapa menit melaju, sampailah mereka di sebuah resto. Keduanya langsung di sambut oleh suasana sejuk dari penataan rimbun yang mengelilingi resto itu. Sakha menggandeng tangan Ghina melewati bagian utama yang bergaya modern tropis, menuju rooftop.

Kedua netra sang istri sejenak tak ingin berkedip kala menikmati indahnya pemandangan dari tempat itu. Dengan beralaskan lantai kau dan dibentengi pagar kayu ukuran besar, serta dihiasi lampu-lampu cantik bermaterial kayu. Berada di tempat ini mengingatkan Ghina pada suatu tempat yang ada di pulau di ujung Sumatera. Bedanya kalau di Sabang, mata langsung dimanjakan dengan lautan lepas. Sedang di resto ini, kolam renang bergaya infinity poll, tak kalah membuai indera penglihatan.

"Kita duduk di situ, ya?"

Sakha menunjuk meja paling sudut. Di tempat itu, kemilau cahaya rembulan bermandikan bintang terlihat indah kala menerpa riak air kolam. Sungguh romantis.

Netra Ghina kembali menatap Sakha penuh haru.

"Bagus sekali tempatnya, Mas?"

"Kamu suka?"

Ghina mengangguk senang.

"Mas, ini pesanannya."

Sakha menyerahkan selembar kertas pesanan pada seorang pramuniaga. Paket refined Indonesia, desser serta varian minuman menjadi pilihan malam itu.

Di samping keduanya, duduk pasangan lain yang sepertinya juga sedang menikmati bulan madu. Mereka terlihat sangat serasi. Ghina tak sengaja menoleh.

Dadanya berdesir kala pasangan itu terlihat begitu romantis, saling menyuapkan makanan bahkan mengelap mulut pasangan.

"Kenapa?"

Tanya Shaka sambil menyeruput minuman dalam gelasnya. Ghina masih bergeming

"Kepingin?"

Ghina menoleh seketika.

"Nggak ah, biasa aja!"

"Ngeles lagi. Kalau pengen ya tinggal bilang," ucap Sakha sambil mengambil tissu lalu mengusap bibir sang istri.

"Ck!" Ghina memalingkan wajahnya.

"Ngelap apa sih, Mas? Makan aja belum?"

"Tuh, air liur kamu tumpah. Saking pengennya sampai ngences! Hihihi ...."

Sebenarnya kesal dibercandain oleh Sakha, yang dia inginkan justru diberlakukan romantis. Tapi rasa kesalnya berganti ketertegunan, kala melihat suaminya terkekeh-kekeh. Jika dahulu dia akan balik mengatai Sakha, tapi sekarang, dia lebih merasa menikmati tiap apapun yang dilakukan lelaki itu.

"Jika tahu begini indahnya, tentu aku tak akan meminta waktu sebulan, Mas. Melainkan seumur hidup menjadi istrimu ...."

***

Bersambung.