webnovel

Dear, Mantan Musuh

Perhelatan perkawinan Sakha hanya tinggal menunggu hari, tapi mendadak pengantin sang lelaki hilang tanpa kabar. Sakha begitu terpukul, ia bahkan berencana menyewa seorang wanita bayaran untuk menggantikan mempelai wanitanya yang telah menghilang. Di sisi lain, kedua orang tua Sakha menolak. Dan malah meminta Ghina, adik angkat Sakha untuk menjadi pengantin pengganti. Ghina tak mampu menolak, hingga ia menerima dengan mencari cara agar mampu mengikhlaskan. Jika semasa kecil, Sakha teramat membenci Ghina. Maka setelah menikah, Ghina berjanji akan membuat Sakha mencintainya. Apapun akan ia lakukan termasuk menyingkirkan pengantin Sakha yang belakangan kembali hadir mengusik rumah tangga mereka. Mampukah Ghina maraih cinta Sakha, ataukah ia harus mengikhlaskan sang suami kembali ke hati mantannya. "Aku tak pernah menyangka, ternyata kita dipertemukan dalam satu rumah tangga. Apa yang akan kamu lakukan padaku setelah kita resmi menikah, bukankah kamu sangat membenciku. Kamu pernah bilang, kalau aku ini jelek, bukan tipemu. Dilihat dari sudut pandang manapun, aku tetap jelek. Kamu juga yang pernah menyumpahi, tak ada lelaki manapun yang akan menikahi pengkhianat sepertiku hanya karena aku memergokimu berduaan di ruang tamu dengan teman perempuan sekelasmu. Sekarang kau harus memakan sumpahmu, pasti pernikahan ini akan membuatmu atau aku berada pada penderitaan yang tak berkesudahan. Aku harus menyalahkan siapa?"

Wahyuni_3924 · Urban
Not enough ratings
18 Chs

Bab 8. Ijinkan Aku Memilikimu, Istriku

Malam semakin menanjak naik, namun suasana cafe malah semakin ramai. Yang datang dengan pasangan pun tak satu dua, melainkan berpuluh-puluh pasangan. Diantara sekian banyak yang masuk, kedua netra Ghina membulat saat menyaksikan beberapa lelaki parlente masuk ke resto itu. Bukan karena kemahsyuran mulai dari wajah hingga cara berpakaian, melainkan karena satu diantara beberapa lelaki tersebut, adalah yang sangat dikenali Ghina.

'Arya.'

Ghina menunduk dan mulai duduk tak tenang. Terlebih ketika kawanan pemuda tadi memilih duduk di meja tepat di samping tempat duduk Ghina dan Sakha. Besar harapan agar Arya tak menoleh ke arahnya, sampai ia dan Bara keluar dari resto. Tapi kenyataannya ...

"Hei, Sakha?"

Sakha menoleh ke samping. Seketika Ghina memejamkan mata mendapati salah satu diantara pemuda tadi menegur suaminya.

"Tyo! Wah kebetulan sekali bisa ketemu disini. Apa kabar, lama tak ketemu?"

Sakha bangkit dan menyalami lelaki itu. Ghina yang tadinya berusaha ingin menghindar, kini tak lagi dapat mengelak. Wajahnya langsung tertangkap oleh penglihatan Arya.

"Kapan pulang ke Indonesia?"

"Yesterday. Who is that?" tunjuknya pada Ghina.

Sakha tersenyum, lalu menggandeng tangan gadis di sampingnya.

"This is my wife."

"Wow. What about Ryanti?"

"All that is past, and now, he is my future."

"Good! Hello Ghina, my name is Tyo," ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangannya.

Ghina menyambut dengan menelungkupkan kedua tangan.

"Ghina."

"Let me introduce my friends. He is Alfin, that is Fathan dan yang di depan saya ini, Arya."

Ghina menurunkan sedikit kepalanya, menyambut perkenalan dari tiga pemuda di hadapan.

"Hei, kamu yang kemarin sempat hadir di pesta pernikahan kami bukan, ya?" Sakha bertanya pada Arya. Jantung Ghina semakin tak karuan.

"Iya. Saya temannya Ghina."

Mendengar jawaban Arya, pandangan Sakha berpindah. Mencari pembenaran pada istrinya.

Ghina hanya menanggapi dengan anggukan.

Kringgg!

Tiba-tiba ponsel Sakha berdering. Mengalihkan perhatiannya sejenak.

"Oh bentar, ya."

Lelaki itu meraih ponsel dari saku celana, lalu matanya sedikit membelalak menatap siapa yang kini menelpon.

'Ryanti.'

Segera Sakha menonaktifkan ponselnya.

"Siapa, kok dimatikan ponselnya, Mas?" tanya Ghina penasaran.

"Bos! Kalau diangkat panjang urusannya," jawabnya asal.

"Eh, kita balik duluan ya. Yuk Sayang, kita balik. Udah malam."

Ghina memicingkan mata, mendengar Sakha mengganti namanya dengan sebutan Sayang.

"Kami pamit duluan, ya."

Sakha kembali menggandeng tangan Ghina untuk kemudian mengajaknya meninggalkan tempat itu. Ghina hanya menurut dan tak berucap apapun. Sedang masih di tempat yang sama, Arya menatap kepergian mereka dengan hati yang terburai.

'Dunia ini luas, tapi kenapa di semua tempat kita harus bertemu?'

***

Sakha terlihat tak tenang, pikirannya dipenuhi nama Ryanti. Kenapa gadis itu menelpon malam-malam begini? Apa dia lupa jika Sakha meminta agar tak menghubungi di kala tengah bersama Ghina.

"Mas."

Sentuhan Ghina di lengan Sakha membuyarkan lamunan lelaki itu seketika.

"Emm, iya."

"Kayak lagi bimbang gitu, kenapa?"

"Emm, Mas kepikiran sama bos. Nggak enak juga tadi Mas langsung matikan telponnya."

Sakha merasa dadanya begitu sesak, ketika dihadapkan pada kenyataan begini dan mengharuskan untuk berbohong pada Ghina. Tapi mau gimana lagi, jujurpun tak mungkin.

"Coba ditelpon balik, Mas."

"Nanti begitu sampai di rumah, Mas telpon balik. Oya, tadi Arya itu teman kamu? Teman gimana, setahu Mas kamu 'kan jarang berteman sama lelaki, ya?"

Ghina tersentak mendengar pertanyaan Sakha. Hatinya bimbang, haruskah ia jujur perihal Arya. Sisi-sisi hatinya saling berdebat, mencari alasan yang kuat untuk bertahan pada ide masing-masing. Detik berikutnya, sesuatu kembali berbisik. Jujur hanya akan membuat Sakha merasa bersalah. Dan itu hanya akan menciptakan jarak antara mereka. Itu tidak boleh terjadi.

"Beliau salah satu pimpinan rumah produksi art cinema, Mas. Beliau juga direktur pada perusahaan publishing majalah remaja yang udah mengontrak Ghina buat ngisi cerpen mingguan mereka," jawab Ghina singkat.

"Wah, jadi selama ini kamu udah jadi seorang penulis?"

Ghina tersenyum menanggapi.

"Hebat. Suatu saat Mas mau baca salah satu karya kamu yang viral," canda Sakha yang diikuti dengan tawa renyah Ghina.

Perjalanan pulang mereka lalui dengan saling menceritakan hobby dan kesukaan. Jika dahulu mereka saling mencela hobby yang dimiliki, maka kini yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka saling memuji dan menyemangati.

'Aku tahu Mas, suatu saat kita akan sampai pada detik ini. Bukankah Allah pernah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 216 : ... Bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah Maha Mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.

***

Suasana rumah tampak sepi. Sakha tak langsung menuju kamar, melainkan memilih menetap sebentar di ruang tamu.

"Kamu masuk duluan, ya. Mas mau nelpon bos dulu," ucapnya membohongi Ghina. Gadis itu tak menaruh curiga. Dengan santai ia berjalan ke lantai dua, karena segera ingin merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Melihat kondisi telah aman, Sakha segera mengeluarkan ponsel. Lalu mulai mengaktifkan benda itu kembali.

'10 panggilan tak terjawab, 20 pesan WhatsApp dari Ryanti.'

Dadanya seketika berdegup kencang. Segera ia memencet tombol panggilan.

[Hallo, Ryanti. Mas ...]

Maksud hati ingin menceramahi Ryanti karena telah melanggar kesepakatan mereka. Tapi mendadak bibir kelu mendengar isakan tangis di seberang sana.

[Ryanti, ada apa? Apa yang terjadi sama kamu?]

Tidak ada jawaban, hanya isakan yang semakin jelas terdengar. Seketika jantung lelaki itu bertabuh kuat.

'Apa yang sudah terjadi pada Ryanti, apakah gadis itu dalam bahaya?'

Berbagai pertanyaan membuat napasnya tercekat. Tanpa pikir panjang, langkah kembali tergerak. Bahkan ia lupa bahwa seseorang sedang menunggunya di kamar. Ia begitu kalut, secepat kilat kembali duduk di balik kemudi.

*

Perlahan Sakha mengetuk pintu rumah mewah yang disewanya tadi pagi untuk sang kekasih gelap. Menunggu beberapa menit, barulah pintu bermuka dua itu terbuka. Ryanti berdiri di balik pintu itu dengan linangan air mata.

"Kamu kenapa?"

Tanpa menjawab Ryanti berhamburan dalam dada Sakha.

"Ada apa?"

Sakha semakin ketakutan.

"Aku rindu, Mas," ucapnya sambil melilitkan tangan pada pinggang Sakha.

Lelaki itu menghela napas, mencoba melerai pelukan Ryanti padanya.

"Kenapa, Mas? Mas sudah tidak mau menyentuhku lagi? Setelah apa yang aku lakukan, kamu ingin pergi dari sisiku, Mas?"

"Cukup Ryanti! Apa selama ini Mas pernah menyentuhmu?"

Gadis itu bergeming.

"Mas ingin menyentuhmu dengan halal. Makanya Mas melamarmu, walau kita saling mengenal baru sekejap mata. Sekarang, apa kamu pikir Mas akan merusak prinsip itu?"

Ryanti bergeming dengan kedua pipi basah oleh air mata.

"Mas, aku takut ...."

"Apa yang kamu takutkan? Katakan!"

Ryanti terlihat menarik napas. "Aku takut Mas jatuh cinta pada wanita itu," rengeknya sambil kembali memeluk Sakha.

Lelaki itu hanya bisa menghela napas.

"Dengarkan Mas, ya. Sampai kapanpun, hanya kamu wanita yang Mas cintai. Mas hanya menjalankan kesepakatan yang telah Mas setujui bersama Ghina. Mas tidak akan menyentuhnya."

Ryanti melempar matanya pada kedua netra Sakha.

"Aku ragu, Mas. Bagaimana jika Mas nggak kuat, sekamar dengan seorang gadis, pasti nafsu lelaki normal akan meningkat. Apalagi dia sekarang 'kan istri sah Mas Sakha?"

Ryanti terus berbicara tanpa jeda. Sakha hanya tersenyum menanggapi. Sesaat perasaan perih merajai hati. Seandainya Ryanti tak diasingkan saat pesta mereka berlangsung. Tentu keadaan tak serumit ini. Ia sudah bisa menghalalkan gadis itu tanpa takut lagi perihal dosa.

"Sentuh aku Mas, agar kau ingat aku jika kau tertarik padanya."

Sakha membelalak mendengar ucapan dari gadis cantik di hadapannya. Jemari Ryanti kini ia gerakkan untuk mengelus lembut pipi Sakha.

"Cukup Ryanti! Mas sudah bilang, Mas akan bertahan. Demi kamu. Tapi Mas juga minta tolong, kamu tahan dirimu. Keinginanmu. Supaya kita bisa merengkuh indahnya kebersamaan, saat kita menikah nanti."

Ryanti menarik tangannya kembali, dengan kesal dia memilih duduk di atas sofa.

Sejujurnya, Sakha merasa sesuatu mengaliri jiwanya kala tangan lembut Ryanti menyentuh pipi, tapi sekuat tenaga ia bertahan.

"Ryanti pegang kata-kata Mas."

"Iya, Mas janji."

Kringgg!

Ponsel Sakha kembali berbunyi.

'Ghina!'

"Mas pulang dulu, ya. Besok pagi Mas kemari lagi."

Ryanti beranjak. Ingin ia menahan, tapi melihat pertahanan lelaki itu, nampaknya semua akan sia-sia. Tak mudah menaklukkan Sakha, tak seperti Tyo, lelaki bangsat yang sudah meninggalkannya.

Dia mendengkus kesal, tapi tetap menghadiahkan sebuah senyuman pengantar lelakinya pergi.

*

[Iya, Ghin.] Sakha mengangkat telpon dari Ghina ketika sudah berada dalam mobil.

[Mas dimana?]

[Mas baru aja selesai rapat kilat dengan bos, Ghin. Maaf tadi nggak ijin sama kamu saat pergi.]

[Oh yaudah, hati-hati ya, Mas.]

[Oke]

Sakha menghela napas lega. Siapa yang bermain api, dia harus siap untuk terbakar. Di detik ini Sakha mulai sadar, ia hampir terbakar api. Berhenti tidak mungkin, dilanjutkan akan tersakiti.

Bimbang!

Tapi semua sudah terlanjur. Ia hanya bisa pasrah pada garis nasib.

Mobilnya terus melaju membelah jalanan kota Jakarta. Jarak yang tidak terlalu jauh, karena dia sengaja memilih tempat yang mudah dijangkau, membuat waktu tempuh tak terlalu lama. Kurang dari tiga puluh menit, lelaki itu telah sampai di rumah.

Sakha kembali menghela napas lega. Dengan lesu ia melangkah ke dalam rumah. Sejenak bayangan Ryanti yang hampir menyerahkan keperawanannya, melintas lalu di pikiran. Sentuhan lembut di pipi. Sakha menghela napas panjang.

Saat masih SMA, dia memang dikenal playboy, tapi jelas, tak ada satu gadispun yang terbuka segel olehnya. Saat kuliah, ia sudah sering mengikuti kajian Ustadz Hannan Attaki. Nafsunya sedikit terjaga karena ketakutannya pada Allah.

Ryanti yang ia kenal beberapa bulan belakangan, mampu membangkitkan keinginannya untuk saling memiliki. Oleh sebab itu ia segera ingin menghalalkan gadis itu, agar bisa memiliki seutuhnya tanpa melanggar syariat.

Selama mereka bersama, Ryanti tak pernah seagresif ini. Itulah yang membuat Sakha sangat mencintai gadis itu dan menjatuhkan pilihannya.

Tapi saat mendapati keberanian sang gadis malam ini, Sakha merasa kecewa.

Digerakkannya langkah menaiki tangga, lalu dibuka pintu kamar dengan perlahan. Dihadapannya kini ada Ghina, gadis terjaga. Yang bahkan ia tahu tak pernah tersentuh lelaki manapun.

Cantik wajahnya, bagus akhlaknya, bersih hatinya.

'Andai dahulu aku jatuh cinta padamu.'

Sakha memandang gadis itu dengan tatapan iba.

"Bagaimana nasibmu jika dua puluh sembilan hari lagi tiba? Kau akan kemana? Adakah lelaki yang mau meminangmu kembali, setelah gelar janda tersemat pada statusmu?"

Perasaan Sakha begitu perih mendapati hasil perjanjiannya dengan Ghina, tapi di sisi lain, ia tak mungkin mengkhianati Ryanti.

Dengan tak semangat Sakha melewati Ghina yang terbaring di atas ranjang. Sejenak membersihkan dirinya di kamar mandi, mengganti pakaian, lalu mengambil bantal untuk kemudian berniat tidur di atas sofa.

Direbahkan kepalanya pada bantal empuk kesayangan. Lama-lama, ada yang kembali berdesir dalam jiwa. Sesuatu melonjak naik. Sakha kembali menyentuh pipinya.

Terasa ada yang menjalari tubuh dengan perlahan. Perasaan yang tak nyaman itu membuang Sakha bangkit untuk kemudian duduk sejenak.

Tanpa sadar, kedua netra Sakha kembali terbidik pada sosok gadis yang tampak pulas di atas ranjang.

Deg!

Jantungnya bertabuh kuat seiring napas yang sedikit cepat. Perlahan langkah Sakha tergerak menaiki ranjang. Dipandangi kembali tubuh Ghina yang tak terbalut selimut.

Dadanya semakin berdesir.

Ia semakin mendekat. Saat hembusan napasnya terasa menyentuh wajah Ghina, gadis itu membuka mata.

"Mas Sakha?"

"Malam ini, Mas ingin memilikimu."

***