webnovel

Dear, Mantan Musuh

Perhelatan perkawinan Sakha hanya tinggal menunggu hari, tapi mendadak pengantin sang lelaki hilang tanpa kabar. Sakha begitu terpukul, ia bahkan berencana menyewa seorang wanita bayaran untuk menggantikan mempelai wanitanya yang telah menghilang. Di sisi lain, kedua orang tua Sakha menolak. Dan malah meminta Ghina, adik angkat Sakha untuk menjadi pengantin pengganti. Ghina tak mampu menolak, hingga ia menerima dengan mencari cara agar mampu mengikhlaskan. Jika semasa kecil, Sakha teramat membenci Ghina. Maka setelah menikah, Ghina berjanji akan membuat Sakha mencintainya. Apapun akan ia lakukan termasuk menyingkirkan pengantin Sakha yang belakangan kembali hadir mengusik rumah tangga mereka. Mampukah Ghina maraih cinta Sakha, ataukah ia harus mengikhlaskan sang suami kembali ke hati mantannya. "Aku tak pernah menyangka, ternyata kita dipertemukan dalam satu rumah tangga. Apa yang akan kamu lakukan padaku setelah kita resmi menikah, bukankah kamu sangat membenciku. Kamu pernah bilang, kalau aku ini jelek, bukan tipemu. Dilihat dari sudut pandang manapun, aku tetap jelek. Kamu juga yang pernah menyumpahi, tak ada lelaki manapun yang akan menikahi pengkhianat sepertiku hanya karena aku memergokimu berduaan di ruang tamu dengan teman perempuan sekelasmu. Sekarang kau harus memakan sumpahmu, pasti pernikahan ini akan membuatmu atau aku berada pada penderitaan yang tak berkesudahan. Aku harus menyalahkan siapa?"

Wahyuni_3924 · Urban
Not enough ratings
18 Chs

6. Malam Pertama Kelabu

Ghina tersentak dari tidur. Segera ia melirik ke samping, seingat gadis itu semalam setelah sempat menumpahkan air mata bersama, ia dan Sakha walau diawal sedikit canggung, tapi tetap memilih tidur dalam satu ranjang.

Ingatan itu seketika membuatnya takut, bagaimana jika lelaki itu pergi menemui wanita lain, tanpa meminta ijin darinya.

Gadis itu menghela napas lega. Jelas yang ia khawatirkan masih berada di samping, begitu terlelap dalam tidur. Ketakutan tak beralasan, bukankah semalam Sakha sudah berjanji untuk memperlakukannya selayak seorang istri selama satu bulan? Mana mungkin lelaki itu pergi tanpa ijin.

Kecemasannya kini berganti senyuman. Sesaat netra gadis itu tertegun kala memperhatikan wajah tegas di hadapannya. Rasanya tak ingin percaya.

'Seranjang bersama saudara angkat ...."

Ghina tersenyum sambil menatap wajah tampan sang suami, sepersekian detik ia tenggelam dalam kesempurnaan ciptaan Sang Khalik. Sejenak terlupa bahwa kekagumannya itu mungkin saja tidak dapat ia nikmati dalam waktu lama.

"Pantas kau direbutkan oleh banyak perempuan, Mas. Kamu benar rupawan. Bolehkah kau kumiliki seutuhnya, Mas?'

Sakha menggeliat. Ghina yang tengah termanggu begitu terkejut dan segera menjauhkan wajahnya.

Setelah membalikkan badan ke arah kiri, teratur Sakha kembali larut dalam mimpi. Sedang Ghina, perlahan gadis itu menuruni ranjang. Berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menyikat gigi. Setelah ini, ia berniat membuatkan sarapan khusus untuk suaminya. Nasi uduk, dengan lauk ayam goreng, telor sambal dan tempe tumis.

"Semoga kamu suka Mas, akan kubuat engkau jatuh cinta pada apapun yang aku miliki. Jika kamu memilih bersamaku, aku akan menerimamu apa adanya, tak perduli bagaimana masa lalumu. Tapi jika kamu memilih untuk pergi, engkau akan kulepas."

***

"Bangun, Mas."

Ghina menyentuh pelan bahu suaminya.

Sentuhan itu membuat Sakha menggeleng dan membalikkan badannya. Sejenak Ghina dibawa kembali ke masa lalu. Dahulu, Mama angkaynya paling tidak menyenangi pagi. Yang membuat wanita itu jengkel, bukanlah perkara besar. Hanya soal membangunkan Sakha.

'Ah, sampai sekarang, ternyata kamu masih sulit bangun pagi, Mas? Shalat subuhmu gimana tho? Apa jangan-jangan kamu nggak pernah shalat subuh?' gerutu gadis itu dalam hati.

Ia kembali menyentuh bahu suaminya sambil memanggil nama.

"Mas ... udah subuh, bangun shalat, Mas."

Tak bereaksi, akhirnya Ghina menggerakkan tangan menyentuh pipi Sakha. Dada gadis itu berdesir, saat sesuatu terasa menusuk telapak tangannya. Jambang tipis yang memenuhi sepanjang dagu membuat lelaki itu terlihat sangat gagah.

Ghina menarik tangan seketika.

"Mas ...."

Panggilan sang istri yang entah keberapa kali, akhirnya mengantarkan kedua bola mata Sakha untuk terbuka. Sedikit terhenyak ia mendapati seorang gadis ada di hadapannya. Tapi tak lama, seulas senyuman tercetak di wajah lelaki itu.

"Pagi, Ghin," ucap Sakha sedikit kaku.

"Subuh, Mas," balas Ghina.

Sakha menggaruk-garuk kepalanya.

"Iya. Sudah jam berapa?"

"Jam lima, Mas. Waktunya shalat subuh."

Sakha menggeliat. Membuka bedcover yang membalut badannya. Lalu dia berusaha bangkit ke posisi duduk.

"Biasa siapa yang bangunin Mas untuk shalat?" tanya Ghina seraya mengambil segelas air di atas nakas.

"Jam beker," jawab Sakha santai.

"Berhasil atau gagal?"

Sakha mengernyitkan dahi. "Kadang berhasil, kadang gagal. Banyak gagalnya sih."

Ghina terkekeh menanggapi ucapan Sakha.

"Sekarang, Ghina akan menggantikan tukas jam beker setiap subuh," Sakha mengerling, "Ghina pastikan Mas tidak terlewat subuh satu waktupun."

Sakha hanya tersenyum menanggapinya. Sejenak, percakapan semalam kembali terlintas. Lelaki itu mencoba menghela napas.

"Kamu udah shalat?" tanya Sakha kembali.

"Ghina nungguin Mas, kita shalat berjamaah ya?"

Lelaki itu tersentak kaget. Sedemikian tua umurnya, baru sekali menjadi imam shalat fardhu. Waktu itu kalau tak salah ingat, saat duduk di kelas tiga SMA. Itupun karena tugas wajib pelajaran Agama Islam.

Sakha menghela napas berat, menolak tak mungkin, bisa malu ia sama Ghina. Mengiyakan sedikit bingung. Shalat subuh itu, bacaannya keras atau pelan ya?

Sakha memutar otak, 'keras, semoga nggak salah.'

Sakha beranjak bangkit.

"Yaudah, Mas mandi dan wudhu dulu, ya."

Ghina mengangguk dan memilih menunggu di atas sajadah.

Beberapa menit berlalu, sang suami keluar lalu berjalan ke tepi ranjang. Di sana, Ghina sudah menyiapkan baju koko, kain sarung hitam dan peci putih.

Sambil meraih pakaian, lelaki itu tersenyum mendapati semua yang pagi ini dilakukan Ghina untuknya. Sejenak pikiran terlempar pada sosok perempuan yang ia titipkan di hotel semalam. Detik itu juga rasa bersalah menyergap. Tapi, ia sudah berjanji semalam pada Ghina, untuk tidak akan melayani apapun tentang Ryanti jika sedang bersama gadis itu.

'Bagaimana jika Ryanti menelpon pagi ini?' bisik batinnya.

Sejenak lelaki itu kembali menoleh ke arah sang istri. Ia tersenyum saat mengetahui Ghina tengah asyik dengan tasbih dan zikirnya.

Kesempatan terbuka buat mengetik sebuah pesan untuk Ryanti. Dengan cepat, Sakha meraih ponsel yang ada di atas nakas, dan segera mengetik sebuah pesan.

[Pagi Sayang, sudah bangun belum? Oya, nanti siangan Mas jemput, ya. Kita cari rumah sewa buat kamu tempati. Kebetulan pagi ini Mas harus ke rumah sakit, dan harus singgah di kantor sebentar untuk memeriksa ulang anggaran proyek terbaru perusahaan. Oya, ini ponsel Mas lupa dicharge semalam, jadi Mas matikan buat mengisi daya dulu, ya. Love you honey.]

Sakha menghela napas dan meletakkan kembali ponsel yang sudah ia matikan ke tempat semula. Lalu dia berjalan mendekati Ghina.

'Bimillah, memimpin shalat jamaah pertama kali. Walau makmum cuma satu orang, tapi langsung wanita. Semoga suara nggak bergetar.'

Terasa menegangkan, tapi Sakha akui, pagi ini kamarnya terasa berbeda dengan kehadiran Ghina.

***

Ghina menyendoki dua centong nasi uduk ke dalam piring suaminya, lalu meletakkan telor sambal, ayam goreng juga tempe tumis.

"Tumben Bi Minah masak nasi uduk pagi ini," ucap Sakha sambil memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulut.

"Ini bukan Bibik yang masak, Mas. Neng Ghina yang masak semuanya," sahut Bik Minah yang kebetulan lewat.

Seketika netra Shaka terlempar pada gadis yang kini nampak menunduk.

"Makasih ya, Ghin. Rasanya enak."

"Sama-sama, Mas."

"Masih ingat aja, masakan kesukaan, Mas," ucapnya lagi. Ghina menyunggingkan selarik senyum. Bahagia sebab ini kali pertama memasak buat suami dan langsung dipuji enak.

"Ghina nggak mungkin lupa, Mas. Kita 'kan serumah cukup lama, bahkan kebiasaan Mas setelah sarapan aja, Ghina masih ingat."

"Hus!"

Sakha memberi isyarat agar Ghina menutup pembicaraan. Ya, memang dulu tiap kali habis sarapan, lelaki bercambang tipis itu tak pernah absen menyetor usus besarnya ke toilet.

"Sekarang udah nggak lagi, kok."

"Oya?"

"Itukan dulu, sekarang udah jadi lelaki gagah begini, nggak model lagi begituan."

Sambil saling melempar pandang, mereka saling tersenyum.

Sudah lama mereka tak duduk bersama di satu meja makan. Apa yang terjadi pagi ini, seperti kembali mengulang mas lalu.

"Pagi ini, kita ke rumah sakit. Setelah itu, Mas harus ke kantor buat ngurusin beberapa urusan proyek. Kamu mau di rumah atau di rumah sakit?" tanya Sakha yang sudah menghabiskan seluruh makanannya.

"Saya di rumah sakit aja, Mas."

"Yaudah, nanti kalau ada apa-apa, kabari aja, ya."

Setelah menyelesaikan sarapan, keduanya memasuki mobil dan melanjutkan perjalanan ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Sakha benar-benar tak bisa duduk dengan tenang. Ia teringat akan Ryanti. Bagaimana jika Ryanti butuh sesuatu, tidak suka sarapan yang disediakan di hotel, karena Ryanti terkenal sangat pemilih dalam hal makanan. Lalu bagaimana jika ia ingin membeli sesuatu, pada siapa gadis itu akan meminta tolong.

'Ah, sebaiknya setelah mengantar Ghina, aku langsung menemui Ryanti,' bisik batinnya.

***

Matahari tegas memancarkan sinarnya yang kekuningan. Sakha dan Ghina baru lima menit sampai di rumah sakit. Tapi lelaki itu sudah ingin berpamitan.

"Kamu kenapa, Ka? daritadi duduknya nggak tenang gitu?"

Mamanya bertanya dengan raut cemas.

"Oh ini, Ma. Sakha harus ngantor pagi ini, ada beberapa berkas perencanaan proyek yang harus Sakha periksa."

"Oh yaudah, nggak papa, pergi aja.Tapi begitu selesai, langsung kemari, ya."

Sakha membuang napas lega. Akhirnya tak perlu bersusah payah meminta ijin keluar. Setelah berpamitan pada kedua orang tuanya, ia langsung keluar kamar. Ghina mengantar sampai di pintu masuk.

"Tolong jaga Papa sama Mama, ya," ucapnya pada Ghina. Gadis itu hanya mengangguk. Suasana terasa canggung beberapa detik.

"Boleh, Mas?"

Sakha mengernyitkan dahi.

"Apa?"

"Seorang istri saat melepas suaminya keluar rumah, biasa mereka akan mencium tangan suaminya itu dengan takzim."

Sakha mendelik, lalu tersenyum. Diulurkan tangan kanannya hingga tersambut oleh jemari tangan Ghina.

Perlahan Ghina meletakkan punggung tangan Sakha pada dahinya. Tiba-tiba matanya basah.

'Tidak, sebulan bersama Mas Sakha, aku tidak ingin menangis. Aku hanya ingin tersenyum. Ghina mengerjap cepat, membawa kembali genangan air yang memenuhi pelupuk agar tak jatuh berderai.

"Hati-hati ya, Mas."

Sakha hanya mengangguk dan kembali meneruskan langkah. Ia tahu, jika gadis di hadapannya tengah bersedih. Namun, tak kuasa untuknya menenangkan, karena ia tahu, semakin ia menaruh perhatian pada gadis itu. Maka semakin sulit untuk mereka berpisah dihari ketiga puluh perjanjian.

Ia bertekad akan bersikap sewajarnya pada Ghina. Meski gadis itu sudah membebaskan apa yang dimilikinya untuk Sakha. Namun Sakha berjanji, tidak akan menyentuh gadis itu. Biarlah yang akan menjadi suami sehidup sesurga Ghina yang menikmatinya kelak.

***

Bersambung.

Suka dengan cerita ini? Jangan lupa bintangin, dan votenya ya.. terima kasih.