webnovel

Dear, Mantan Musuh

Perhelatan perkawinan Sakha hanya tinggal menunggu hari, tapi mendadak pengantin sang lelaki hilang tanpa kabar. Sakha begitu terpukul, ia bahkan berencana menyewa seorang wanita bayaran untuk menggantikan mempelai wanitanya yang telah menghilang. Di sisi lain, kedua orang tua Sakha menolak. Dan malah meminta Ghina, adik angkat Sakha untuk menjadi pengantin pengganti. Ghina tak mampu menolak, hingga ia menerima dengan mencari cara agar mampu mengikhlaskan. Jika semasa kecil, Sakha teramat membenci Ghina. Maka setelah menikah, Ghina berjanji akan membuat Sakha mencintainya. Apapun akan ia lakukan termasuk menyingkirkan pengantin Sakha yang belakangan kembali hadir mengusik rumah tangga mereka. Mampukah Ghina maraih cinta Sakha, ataukah ia harus mengikhlaskan sang suami kembali ke hati mantannya. "Aku tak pernah menyangka, ternyata kita dipertemukan dalam satu rumah tangga. Apa yang akan kamu lakukan padaku setelah kita resmi menikah, bukankah kamu sangat membenciku. Kamu pernah bilang, kalau aku ini jelek, bukan tipemu. Dilihat dari sudut pandang manapun, aku tetap jelek. Kamu juga yang pernah menyumpahi, tak ada lelaki manapun yang akan menikahi pengkhianat sepertiku hanya karena aku memergokimu berduaan di ruang tamu dengan teman perempuan sekelasmu. Sekarang kau harus memakan sumpahmu, pasti pernikahan ini akan membuatmu atau aku berada pada penderitaan yang tak berkesudahan. Aku harus menyalahkan siapa?"

Wahyuni_3924 · Urban
Not enough ratings
18 Chs

5. Hanya Fatamorgana

Kedua netra gadis itu masih terbuka, sesekali dia mengecek ke luar ruangan untuk sekadar memastikan apakah suaminya telah sampai. Tapi, hingga jam menunjukkan pukul satu malam, yang ditunggu pun tak kunjung datang.

"Kemana kamu, Mas? Harusnya ini jadi malam pertama kita, tapi kenapa kamu malah menghabiskan malam ini bersama wanita lain."

Resah, Ghina terus menunggu tanpa bisa memejamkan mata. Sedang di sisi lain, Mama mertuanya sudah sedari tadi terlelap. Untuk meredakan gemuruh di dada, ia memilih membuka aplikasi word di ponsel, khusus untuk mengetik cerpen yang biasa ia kirim pada sebuah perusahaan majalah ternama.

Kontrak kerjanya dengan perusahaan itu masih tersisa satu tahun lagi. Tapi, setelah dirinya resmi menikah dengan Sakha, mungkin kontrak kerja itu akan diputus sebelah pihak. Karena direktur utama perusahaan tak lain adalah Arya. Lelaki yang sudah dicampakkan Ghina.

Meski status kerjanya mulai diragukan, tak lantas membuat Ghina berhenti menulis. Kini ia justru sudah memikirkan sebuah judul yang akan dia eksekusi menjadi cerita bersambung.

'Dear, Mantan Musuh.'

Seulas senyum terkembang di bibirnya. entah kenapa dia malah ingin sekali menuliskan kisahnya bersama Sakha. Saat jemari tangannya dengan lincah mulai mengetik kata demi kata. Mendadak ketikan itu terhenti, ketukan pintu ruang rawatan membuat Ghina mengurungkan keinginannya untuk menulis.

Bahagia, gadis itu berharap yang datang kali jni adalah suaminya.

Benar saja, saat pintu kamar terbuka lebar, ia mendapati Sakha berdiri gagah diseberang sana.

"Maaf ya, menunggu lama," katanya membuat kedua netra Ghina yang sedari tadi membelalak, berkedip seketika.

Ghina menghela napas.

"Nggak papa, Mas. Tapi, Mama sana Papa udah tidur," ucap Ghina sambil memiringkan badan menunjuk kedua orang tua angkatnya yang sudah terlelap. Posisi mereka, sedaritadi membuat Ghina cemburu. Papa tidur dengan tangan terpasang infus, sedang Mama tidur pada lengan papa yang bebas dari infus, masih pada bed yang sama.

Sementara Sakha, matanya seketika tertoleh kembali untuk menatap Ghina, saat ia melihat mama dan papanya tidur dalam satu ranjang.

"Mereka bisa dimarahin perawat itu kalau ketahuan," guyon Sakha sambil terkekeh.

"Ya, jangan sampai mereka taulah Mas. Tadi itu sebelum Ghina sampai, Mama terus menangis. Mas 'kan tau sendiri gimana Mama kalau Papa sakit."

Sakha kembali tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.

"Iya, Mas tahu. Ingatan dulu pas Papa sakit gigi aja, Mama nangis kayak ditinggal pergi jauh, ya 'kan?"

Sejenak keduanya saling berpandangan. mereka seperti terlempar pada masa lalu. Bahagia, kala mengingat pernah saling berbagi uang jajan, pernah saling berbagi makanan bahkan pernah saling melindungi.

Tapi juga ada sesal, jika mengingat pernah saling adu mulut, pernah saling diam-diam bahkan pernah saling menyumpahi.

"Sudah lama Ghina nggak melihat mereka begitu, Mas. Rasanya rindu."

"Hem ... sekarang kamu nggak bakalan rindu lagi, karena kita 'kan udah kembali serumah."

Ghina menunduk. Tiba-tiba ada sesuatu yang mendesir dalam dadanya. Cepat ia membuang perasaan aneh itu

"Kok Ghina iri ya, Mas lihat Mama sama Papa? Umur udah nggak muda, tapi hubungan begitu dekat, tiap hari seperti baru menikah, romantis terus."

Sakha terlonjak mendengar omongan Ghina.

"Kamu pengen seperti itu?" tanya lelaki itu polos.

"Ya pengen lah, Mas. Setiap wanita pasti bahagia mendapat pendamping seperti Papa."

Sakha terdiam. Seperti ada yang mengetuk mata hatinya.

"Apa kamu sedang memikirkan lelaki yang kamu cintai itu?" Sakha mencoba membaca apa yang ada di pikiran Ghina.

Gadis itu terdiam, ia menyesal karena Sakha terus saja mengungkit-ungkit masa lalu yang sudah ia usahakan untuk tutup buku. Tak ingin menanggapi, ia membalikkan badan hendak kembali duduk di sofa. Namun, Sakha mencegah.

"Tunggu, Ghin."

Sakha berusaha menarik tangan Ghina.

"Kenapa, Mas?"

"Maafkan Mas, ya? Sudah membawamu pada pernikahan yang tak kau harapkan."

Ghina membuang wajah.

"Nggak papa, Mas. Ghina lakukan semua ini demi Papa dan Mama," ucapnya terjeda.

Tiba-tiba ia teringat akan Ryanti.

Andai wanita itu tak kembali, Ghina sudah bertekad menemukan kebahagiaannya dalam pernikahan ini. Tapi setelah kehadirannya tadi, akankah ada kebahagiaan yang ia dapatkan bersama Sakha?

"Hanya demi mereka?"

Entah apa maksud pertanyaan Sakha, sungguh pikiran Ghina dibuat menerka-nerka.

"Maksud pertanyaan Mas, apa?"

"Benar kamu menikah dengan Mas hanya karena Mama dan Papa?" Sakha memperjelas pertanyaannya.

Jantung Ghina seketika berpacu kencang, haruskah ia jujur saat ini. Bahwa tak mungkin dia menerima permintaan Mama jika tak ada secercah rasapun untuk Sakha.

"Ghina ...."

Sakha menyebut namanya lirih, kala ia terdiam untuk merangkai kata.

Kringgg ....!

Ponsel Sakha tiba-tiba berdering. Lelaki itu segera meraih benda yang ia letakkan dalam saku celana. Terlihat pada layar, 'Ryanti is calling.'

Ghina yang sudah siap-siap dengan kejujurannya, kembali harus mengubur rapat keinginan itu. Helaan napas terdengar, tatkala ia tahu bahwa yang menelpon Sakha saat itu adalah Ryanti.

'Wanita itu lagi,' keluh batinnya.

"Sebentar ya, Mas angkat telponnya dulu."

Ghina membuang wajah. Tanpa anggukannya pun, nyatanya Sakha pergi untuk mengangkat telpon Ryanti. Kembali, hati gadis itu terhujam dengan kuat.

[Hallo, Yank.]

[Mas dimana? Ryanti nggak bisa tidur, Mas ...]

[Mas sudah di rumah sakit. Ada apa?]

[Ryanti takut, Mas]

[Takut kenapa?]

[ ... aku takut kehilangan Mas ...]

Sakha menghela napas, sejenak matanya menoleh ke belakang. Dua wanita sedang bermain-main dengan perasaannya.

[Mas nggak akan kemana-mana, kita akan terus bersama. Kamu yang sabar, ya.]

Terdengar isakan dari seberang. Hati Sakha semakin terenyuh, tapi di satu sisi, ia tak merasa bersalah pada Ghina.

[Ryanti bisa pegang janji Mas itu, 'kan?]

[Mas janji. Yaudah, kamu tidur, ya. Jangan banyak pikiran, nanti sakit.]

Sakha menutup telpon dan kembali pada Ghina.

"Maaf ya, tadi kita sampai mana?"

Ghina kembali membuang wajah, "Mbak Ryanti sekarang gimana keadaannya, Mas?"

Ghina mencoba memancing.

Sakha menghela napas. "Ceritanya panjang Ghin, nanti Mas cerita kalau udah sampai di rumah, ya."

Ghina hanya bisa pasrah, rasanya ingin segera sampai di rumah. Menyimpan rasa penasaran yang cukup tinggi membuatnya tak merasa lega menarik dan membuang napas.

Saat keduanya melangkah masuk, Mama menggeliat. Lalu wanita itu membuka matanya.

"Sakha, kemana aja kamu, Nak?"

Wanita itu bangkit dan duduk di atas ranjang. pergerakannya juga membuat sang suami terbangun.

Sakha mendekat, menciumi tangan sang ibu lalu duduk di sofa.

"Sakha tadi baru habis ketemu teman kuliah, Ma."

Ibunda Sakha mendelik. "Kamu ninggalin Ghina sendirian di kamar hotel?"

Sakha terhenyak. "Tadinya Sakha pikir sebentar Ma, rupanya keasyikan ngobrol."

Wanita itu menghela napas. Bangkit dari ranjang dan mendekati anak angkat yang kini sudah menjadi menantunya.

"Sakha nggak punya perasaan ya, Ghin? Masak iya istri ditinggal dimalam pertama? Menurut Papa, ini keterlaluan nggak?"

Wanita itu melempar pertanyaan pada suaminya. Seketika Sakha menoleh ke arah papanya, menunggu komentar yang bakal meluncur detik berikutnya.

"Suruh aja mereka pulang, Ma. Biar nyambung malam pertama yang tadi sempat tertunda."

Sontak, ucapan Papa membuat Sakha dan Ghina saling berpandangan.

"Benar juga ya, Pa? Apalagi Papa juga sudah baikan. Lebih baik, kamu ajak Ghina pulang ke rumah, Ka. Jangan sampai Mama dengar kamu ninggalin Ghina lagi ya, demi teman-temanmu."

Suara mama, lembut tapi menyiratkan ketegasan hakiki. Sakha tak banyak bicara, dia segera mendekati Ghina, menggenggam tangannya lalu membawa gadis itu keluar ruangan.

Sampai diluar ruangan, Ghina berusaha melepas tangannya.

"Sakit, Mas," keluhnya sambil memegangi pergelangan tangan.

"Maaf."

Sesaat mereka dikuasai kecanggungan.

"Yaudah yok pulang."

Ghina menurut dan mengikuti langkah Sakha menuju mobil. Selama dalam perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Hingga sampai di rumahpun, masih diisi dengan kebisuan.

Beda dengan ketika mereka di hotel yang hanya menyediakan satu kamar untuk di tempati bersama. Kali ini saat mereka memasuki rumah, ada yang membuat keduanya bingung.

"Kita tidur di kamar Mas aja, ya?" ucap Sakha memastikan.

Ghina mematung.

"Atau kamu mau kita tidur di kamarmu?"

Ghina masih bergeming, mengernyitkan dahi.

"Terserah Mas saja," ucapnya kemudian.

"Kalau gitu, di kamar Mas aja, ya?"

Ghina mengangguk dan lekas memasuki kamar Sakha di lantai dua. Sakha meletakkan ponsel dan kunci mobil di atas nakas. Sedang Ghina nampak begitu canggung dan memilih duduk di atas ranjang.

Tak lama Sakha ikut duduk di samping Ghina. Dia mulai membuka suara.

"Kemarin Ryanti di jauhkan oleh Papanya ke Bali, dia dipaksa nikah dengan anak teman bisnis Papanya."

Ghina menarik napas dalam, menyiapkan hati dan jiwa untuk sesuatu yang mungkin akan menguras emosi dan perasaan.

"Ryanti melarikan diri dan kembali ke Jakarta demi Mas, Ghin," lirih Sakha hampir tak terdengar di telinga Ghina.

Gadis yang nampak anggun dalam balutan gamis berwarna cream itu kini saling meremas jemari. Jantungnya berdetak cepat, serta napasnya terasa begitu berat. Bingung harus bagaimana ia menanggapi curhatan suaminya .

"Mas mau kita mengakhiri pernikahan ini?" tanyanya dengan suara bergetar. Kabut mulai memenuhi pelupuk mata. Sakha terdiam sejenak.

"Sebenarnya, Mas tidak ingin menceraikanmu," jawab Sakha ragu-ragu, "lelaki yang kau cintai-"

"Lupakan lelaki itu, Mas. Hubungan kami sudah berakhir!" sanggah Ghina cepat. Setetes air mata luruh tanpa menunggu ijinnya. Cepat, Ghina mengusap dengan punggung tangan.

Sakha mengusap wajah dengan kedua tangan. Ia kelihatan begitu bimbang. Satu sisi, ia terikat janji pada Ryanti, gadis yang masih begitu ia cintai. Di sisi lain, ia merasa tak adil pada Ghina. Gadis di hadapannya ini bahkan telah ikhlas mengorbankan cinta demi menyelamatkan kehormatannya. Tapi apa balasan yang akan dia berikan? Sungguh perbuatannya biadap, membalas susu dengan segelas air cuka.

"Maafkan Mas Ghina ...," lirihnya merana.

"Tak perlu minta maaf, Mas. Katakan saja, berapa lama kita harus bertahan dalam rumah tangga ini?"

Ghina sukses mengucapkan kata yang tiap keluar hurufnya bagai cambukan cemeti yang menyayat hati.

"Ghin ...."

Sakha mencoba meraih tangan Ghina.

"Maaf ...."

Lelaki itu turun dari ranjang, menekuk sambil memegang tangan Ghina yang terletak diatas kedua pahanya.

"Maafkan Mas, Ghin ...."

Ghina tak menjawab. Suaranya tertahan di tenggorokan. Pernikahan yang diharapkan sekali seumur hidup, harus ia relakan untuk diperdebat lama waktunya bertahan.

"Satu bulan Mas."

Sakha terlonjak. Netra mereka sejenak saling beradu.

"Tapi Ghina mohon, selama satu bulan ini, ijinkan Ghina melayani Mas seperti layaknya seorang istri melayani suaminya. Apapun boleh Mas lakukan, termasuk menyentuh keperawanan Ghina. Jika Mas mau."

Sakha menelan saliva. Tak pernah ia merasa dadanya semenyeri ini. Air mata Ghina yang luruh di atas jemari tangannya membuat batinnya semakin tersiksa.

Kringgg!

Ponsel Sakha kembali berdering.

"Satu lagi Mas, di belakang Ghina, Mas boleh bertemu Mbak Ryanti sesuka hati Mas. Tapi saat Mas kembali pada Ghina, jangan pernah Mas layani apapun tentang wanita itu. Walau sebentar, ijinkan Ghina menjadi seorang istri seutuhnya, Mas."

Sakha bangkit, lalu ia mengecup kening Ghina dengan lembut.

"Baiklah, Ghin. Jika itu yang kamu mau."

Ghina menatap lelaki itu penuh luka. Entah seperti apa ia gambarkan hancur perasaannya saat itu. Sekilas, ucapan Arya kembali terngiang di telinganya.

'kenapa dia mau menikah dengan Shaka, sedang Arya siap untuk membahagiakan Ghina sepenuh hati.'

Menyesal, tentu itu bukan tolak ukur dari apa yang sudah ia pilih sebagai takdir hidupnya. Tapi rasa yang menghujam dadanya kini, tak tahu harus seperti apa ia luapkan agar tak sebegitu menyesakkan dada.

'Ya Allah, jika lelaki ini jodohku, kokohkanlah hubungan kami. Hadirkan titipan-Mu dalam rahimku. Tapi jika dia bukan jodohku, aku rela melepasnya dengan mengharap keridhaan-Mu ya Rabb ....'

***

Bersambung.

Note :

jangan lupa komentar, vote dan power Stones nya ya.. Terima kasih.