webnovel

Dear, Mantan Musuh

Perhelatan perkawinan Sakha hanya tinggal menunggu hari, tapi mendadak pengantin sang lelaki hilang tanpa kabar. Sakha begitu terpukul, ia bahkan berencana menyewa seorang wanita bayaran untuk menggantikan mempelai wanitanya yang telah menghilang. Di sisi lain, kedua orang tua Sakha menolak. Dan malah meminta Ghina, adik angkat Sakha untuk menjadi pengantin pengganti. Ghina tak mampu menolak, hingga ia menerima dengan mencari cara agar mampu mengikhlaskan. Jika semasa kecil, Sakha teramat membenci Ghina. Maka setelah menikah, Ghina berjanji akan membuat Sakha mencintainya. Apapun akan ia lakukan termasuk menyingkirkan pengantin Sakha yang belakangan kembali hadir mengusik rumah tangga mereka. Mampukah Ghina maraih cinta Sakha, ataukah ia harus mengikhlaskan sang suami kembali ke hati mantannya. "Aku tak pernah menyangka, ternyata kita dipertemukan dalam satu rumah tangga. Apa yang akan kamu lakukan padaku setelah kita resmi menikah, bukankah kamu sangat membenciku. Kamu pernah bilang, kalau aku ini jelek, bukan tipemu. Dilihat dari sudut pandang manapun, aku tetap jelek. Kamu juga yang pernah menyumpahi, tak ada lelaki manapun yang akan menikahi pengkhianat sepertiku hanya karena aku memergokimu berduaan di ruang tamu dengan teman perempuan sekelasmu. Sekarang kau harus memakan sumpahmu, pasti pernikahan ini akan membuatmu atau aku berada pada penderitaan yang tak berkesudahan. Aku harus menyalahkan siapa?"

Wahyuni_3924 · Urban
Not enough ratings
18 Chs

4. Jangan Pergi, Mas

"Jadi benar Mas sudah menikah?"

Gadis yang tampak cantik dengan setelan tunik berwarna putih itu bertanya pada Sakha dengan raut tegas.

"Jadi kamu pikir, Mas akan membatalkannya? Setelah gedung resepsi di sewa, ribuan undangan telah tersebar, baju pengantin telah di pesan? Kamu nggak tahu, gimana hancurnya hati Mas, saat yang Mas ijab Qabul, bukanlah namamu ...."

Sakha menghela napas, sakit yang dirasa semakin bertambah kala bertemu kembali dengan Ryanti.

"Maafkan saya, Mas. Semua ini, Papa yang sudah merencanakan. Aya disuruh menikah dengan anak salah satu teman bisnis Papa. Saat Aya menolak, Papa justru bertindak keras. Semua akses komunikasi diambil alih oleh Papa. Bahkan, beliau juga yang sudah mengirimkan Aya ke Bali selama tiga hari. Dan asal Mas tahu, perjuanganku hingga bisa kembali ke Jakarta itu begitu berat. Sayang, pengorbanan itu Mas balas dengan pengkhianatan!"

Ryanti memandang tajam ke arah Sakha. Ucapannya membuat lelaki itu menjadi semakin terpuruk. Dari yang tadinya memuncah amarah dalam dada, kini berganti rasa bersalah. Sakha terlalu mencintai gadis di hadapannya, hingga hati hanya dipenuhi nama gadis itu seorang.

"Maafkan Mas, Sayang."

Sakha menyentuh punggung tangan Ryanti. Namun, gadis itu menepis.

"Mas nggak berhak lagi menyentuhku. Bukankah Mas sudah punya istri, Aya nggak mau jadi pelakor yang dituduh merusak rumah tangga Mas Sakha. Sebaiknya semua kita akhiri saja sampai disini. Mas jalani kehidupan baru Mas bersama wanita itu, dan aku akan menjalani kehidupanku sendiri!" Bentak Ryanti sambil berlalu pergi.

Sakha mematung, pikirannya kacau. Ingin ia menghentikan gadis itu, membawa kembali dia yang amat dicintai dalam dekapan. Tapi sesuatu membuatnya tidak bisa bergerak.

"Ghina?"

Sakha segera bangkit begitu melihat Ghina berdiri di ambang pintu menoleh ke kiri dan kanan seperti orang kebingungan.

"Ngapain kamu disini, Mas 'kan udah bilang, nyuruh kamu nunggu di hotel?"

Ghina menggosok-gosok jemari tangannya. Gugup dan sedikit khawatir.

"Mama yang nelpon Mas. Kata Mama, Papa terjatuh di kamar mandi, dan sekarang dirawat di rumah sakit."

"Hah? Kenapa Mama nggak nelpon langsung ke handphone, Mas?" 

Ghina mengangkat bahu. Sedang Sakha mencoba mengeluarkan ponsel, mengecek apa ada panggilan ke ponselnya.

Helaan napas terdengar dari mulut Sakha, kala dia melihat beberapa panggilan tak terjawab dari sang mama. Dia lupa telah menonaktifkan panggilan dan pesan saat tadi bertemu Ryanti, saking tak ingin Ghina atau sesiapapun mengganggu pertemuannya dengan gadis itu.

"Ayo kita segera ke sana."

Berita yang sampai pada Sakha kini sejenak membagi ingatannya pada sosok Ryanti.

Namun begitu ia duduk dibalik kemudi, Sakha kembali melihat gadis itu. Ia berdiri di sisi kiri Cafe, seperti sedang menunggu sesuatu. 

'Apa mobilnya juga ikut disita?' batin Sakha berbisik pelan. Dia menoleh ke arah Ghina. Ingin dirinya membarengi dua wanita itu dalam satu mobil, tapi tidak mungkin. Ryanti pasti menolak.

"Ghin, kamu nggak masalah 'kan, jika Mas ...."

Sakha menghentikan ucapannya.

"Kenapa, Mas?"

Sakha bergeming sejenak, berpikir bagaimana cara menyampaikan keinginannya pada gadis yang kini sudah sah jadi istrinya.

"Kamu ke rumah sakit, naik taksi ya? Biar Mas panggilkan taksi, kamu tunggu disini," ucap Sakha sambil seketika membuka pintu mobil.

"Tunggu, Mas. Kenapa kita nggak barengan? Nanti kalau Mama nanya, Ghina harus bilang apa?"

"Bilang aja, Mas sedang mengantar teman?"

Ghina terdiam sejenak.

"Mbak Ryanti?" tanyanya dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan lagi. Seberapapun ia ingin membentengi hati dari penyakit cemburu, tetap saja rasa itu kini perlahan mulai menyapa. Kenapa? Kenapa secepat ini ia merasakan hal itu. Sesalnya dalam hati.

Anggukan Sakha membuat Ghina hanya mampu menarik napas dalam, menyesal karena telah membiarkan hatinya merasakan sesuatu bernama cinta. 

Tanpa ia sadari, kedua netranya menghangat. Ingin ia melarang, dan meminta Sakha tetap bersamanya, tapi tentu itu tak mungkin. 

Bukanlah dari awal mereka memang sama-sama tak saling mencintai. Bahkan Sakha sudah mengatakan takkan menyentuhnya sekalipun.

Lagi-lagi Ghina menghela napas. Sementara itu, sambil menuruni mobil, Sakha mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengetik sebuah pesan.

"Tunggu di situ, Yank. Jangan kemana-mana, Mas akan mengantarmu pulang."

Sebelum berjalan ke sisi kanan, ia melihat Ryanti yang kini mulai membuka tas untuk meraih ponselnya. Tak lagi ia gubris, Sakha kini berlari ke sudut kanan jalan. Tak lama sebuah taksi melintas di hadapannya. Segera lelaki itu menghentikan kendaraan beroda empat itu. Lalu dia memberi isyarat agar taksi tersebut berhenti di belakang mobilnya. 

Ghina segera membuka pintu dan keluar dari mobil ketika taksi yang diarahkan Sakha berhenti.

Tak ada sepatah katapun keluar dari bibir Ghina. Ia hanya menggerakkan kakinya memasuki mobil yang pintunya terlebih dahulu sudah dibuka Sakha.

Sebelum menutup pintu mobil, Sakha kembali berpesan.

"Mas nggak akan lama, cuma sebentar. Kamu langsung ke rumah sakit, ya. Kasih tau Mama, Mas lagi di jalan dan akan segera sampai."

Lelaki itu lalu menutup pintu taksi. Ghina menyandarkan tubuhnya pada kursi, setetes demi setetes air mata luruh membasahi pipi. 

"Aku pikir tidak akan seberat ini. Lantas, aku harus bagaimana?"

***

Ryanti membaca pesan yang dikirimkan Sakha ke ponselnya. Kesal tapi ada secercah bahagia yang menerpa jiwa. Tadinya ia pikir, Sakha akan membiarkannya seorang diri, tapi dia salah. 

'Aku bersumpah Mas, kau akan kembali padaku.'

Hanya berselang beberapa menit, Sakha sudah berdiri di hadapan gadis itu.

"Mas ...."

Ryanti berlari merangkul pinggang lelaki itu. Entah, Sakha kini merasa sedikit risih.

"Maafkan Ryanti, Mas?"

Sakha mengangguk. "Mas juga minta maaf sama kamu. Kamu mau Mas antar kemana?"

Ryanti mengangkat wajahnya, "nggak tahu Mas, Aya nggak mungkin pulang ke rumah. Atau Papa akan kembali memaksaku untuk menjauhi Mas Sakha."

Sakha melerai pelukan Ryanti.

"Mas nggak akan melepaskanmu. Malam ini kamu nginap di hotel dulu, ya.  Besok Mas akan cari rumah kos untuk kamu tempati."

Ryanti kembali mengangguk. Keduanya menaiki mobil. Sejujurnya, ada rasa bersalah yang lelaki itu rasakan dalam hatinya. Entah kepada siapa ia merasa hal itu. Sejenak ia teringat akan Ghina, sebenarnya apa harapan Ghina akan pernikahan ini, Sakha benar-benar tak tahu.

Sakha hanya mengerti satu hal, bahwa Ghina tidak mencintainya. Ghina sudah punya seseorang yang diinginkannya untuk jadi calon suami. Dan Sakha pula sudah berjanji pada gadis itu, untuk mengembalikannya pada lelaki yang diinginkan Ghina.

'Ah, mungkin kita hanya harus bersabar Ghin. Suatu saat, kau akan bersama lelaki yang kau cintai, dan aku akan kembali pada Ryanti.'

"Mas ...."

Panggilan Ryanti membuyarkan lamunan Sakha.

"Iya."

"Mas beneran masih mencintai Aya?"

Sakha mengelus puncak kepala gadis itu. "Iya, benar."

"Lalu bagaimana dengan istri Mas Sakha sekarang?"

Sakha menghela napas berat.

"Kami sudah sepekat, jika sudah tiba waktunya, kamu akan kembali pada pasangan masing masing-masing."

"Benar, Mas?"

Sakha mengangguk.

"Makasih, Mas. Aya sangat mencintai Mas Sakha," ucap gadis itu sambil kembali merangkul pinggang Sakha yang sedang fokus menyetir.

Ryanti terlihat begitu bahagia, entah dengan Sakha. Satu sisi ia merasa lega, namun sisi lain ada yang mengganjal.

Sedang di sisi lain kota itu, ada seorang gadis yang tengah bermandikan air mata. Semakin jauh mobil melangkah, Ghina merasa hatinya semakin sakit. 

"Ya Allah, hanya Engkau yang bisa menenangkan perasaan ini. Jika memang ia jodohku, maka kembalikan ia padaku. Jika bukan, maka pisahkan kami secepatnya, agar tak terlalu dalam hati ini terluka."

***

Assalamualaikum teman2, yang singgah membaca cerita ini, tolong tinggalkan jejak serta votenya ya..

Biar saya semangat untuk update tiap hari. terima kasih..