webnovel

Dear, Mantan Musuh

Perhelatan perkawinan Sakha hanya tinggal menunggu hari, tapi mendadak pengantin sang lelaki hilang tanpa kabar. Sakha begitu terpukul, ia bahkan berencana menyewa seorang wanita bayaran untuk menggantikan mempelai wanitanya yang telah menghilang. Di sisi lain, kedua orang tua Sakha menolak. Dan malah meminta Ghina, adik angkat Sakha untuk menjadi pengantin pengganti. Ghina tak mampu menolak, hingga ia menerima dengan mencari cara agar mampu mengikhlaskan. Jika semasa kecil, Sakha teramat membenci Ghina. Maka setelah menikah, Ghina berjanji akan membuat Sakha mencintainya. Apapun akan ia lakukan termasuk menyingkirkan pengantin Sakha yang belakangan kembali hadir mengusik rumah tangga mereka. Mampukah Ghina maraih cinta Sakha, ataukah ia harus mengikhlaskan sang suami kembali ke hati mantannya. "Aku tak pernah menyangka, ternyata kita dipertemukan dalam satu rumah tangga. Apa yang akan kamu lakukan padaku setelah kita resmi menikah, bukankah kamu sangat membenciku. Kamu pernah bilang, kalau aku ini jelek, bukan tipemu. Dilihat dari sudut pandang manapun, aku tetap jelek. Kamu juga yang pernah menyumpahi, tak ada lelaki manapun yang akan menikahi pengkhianat sepertiku hanya karena aku memergokimu berduaan di ruang tamu dengan teman perempuan sekelasmu. Sekarang kau harus memakan sumpahmu, pasti pernikahan ini akan membuatmu atau aku berada pada penderitaan yang tak berkesudahan. Aku harus menyalahkan siapa?"

Wahyuni_3924 · Urban
Not enough ratings
18 Chs

Bab 3. My First Love

"Gyanti Cafe Roastery, Jalan Surabaya no.20 Menteng."

Ghina menyebut kembali tempat yang disebutkan tadi oleh Ryanti. Niatnya untuk menunggu sang suami pulang, harus ia urungkan karena ibu angkat sekaligus ibu mertuanya meminta agar ia dan Sakha segera ke rumah sakit.

'Papa terjatuh di kamar mandi. Cepat kalian menyusul kemati.'

Gadis itu kebingungan, tadi saat mamanya menelpon dan menanyakan Sakha. Ia bilang Sakha di kamar mandi. Tentu ia harus berbohong, mana mungkin Ghina berani jujur pada wanita itu jika ia telah membiarkan Sakha pergi di malam pertama mereka untuk menemui mantan calon istrinya.

Huh!

Sekarang Ghina merasa kena batunya. Dengan segera Ghina mengganti pakaian, lalu keluar dari kamar hotel. Setelah enam tahun tak pernah menginjakkan kakinya lagi di Kota Metropolitan ini, kini ia diharuskan untuk menjejalah sebuah tempat yang bahkan tak pernah ia kunjungi sebelumnya.

'Naik taksi,' batin gadis itu berbisik pelan.

Ia turun ke lantai dasar lalu menitipkan kunci kamar pada bagian resepsionist.

Sampai di pintu masuk, sebuah taksi berhenti untuk menurunkan penumpang. Dengan segera Ghina berlari ke arah kendaraan itu.

"Bisa tolong antarkan saya ke Jalan Surabaya, Pak?" tanyanya pada seorang supir berpakaian biru langit.

"Maaf, Neng. Taksi ini sudah disewa. Neng kalau mau pesan taksi, silahkan hubungi nomor ini, barangkali sahabat saya sedang kosong. Atau mbak, bisa pakai aplikasi untuk pesan taksi online."

Ghina manggut-manggut dan mulai mencatat nomor yang disebutkan lelaki paruh baya itu. Hanya telpon yang bisa ia gunakan, sebab ia tidak memasang aplikasi apapun dalam ponselnya.

Tut.

Ghina mencoba menghubungi nomor yang diberikan lelaki tadi.

"Hallo, selamat malam, ada yang bisa saya bantu?"

"Selamat malam, bisa minta tolong jemput saya di-."

"Maaf, saya sedang mengantar pelanggan, mbak coba hubungi nomor ini, siapa tahu teman saya sedang kosong," jawab lelaki di ujung telpon.

"Oh, nggak usah, Mas. Biar saya cari taksi yang lewat aja."

"Oh gitu, baik kalau gitu, Mbak."

Telpon ditutup, Ghina menghela napas berat. Andai tadi Sakha tak pergi, pasti saat ini dia aman-aman saja saat disuruh mamanya ke rumah sakit. Sambil mencoba mengikhlaskan, gadis itu nb terus berjalan mengitari taman yang terletak tepat di depan pintu masuk ke hotel.

Kakinya kini menjejak jalanan setapak menuju parkiran, namun nahas, kendaraan mewah bermerek Mercedes benz melintas di hadapannya dengan cepat. Seketika Ghina terjatuh ke sisi trotoar.

Beberapa orang yang kebetulan melihat kejadian itu segera membantu Ghina bangkit.

"Kamu nggak papa?" tanya seseorang padanya.

Ghina menggangguk, menunduk membersihkan gamisnya.

Tak lama,

"Maaf. Kamu nggak papa 'kan?"

Sebuah suara membuat Ghina tersentak.

"Mas Arya?"

"Ghina?"

"Bapak yang nabrak gadis ini, sebaiknya Bapak bawa dia ke rumah sakit."

Seseorang yang lain ikut protes.

"Tenang. Baik, saya akan bawa dia ke rumah sakit," jawab Arya menenangkan beberapa orang yang masih berdiri mengerumuni Ghina.

"Yaudah ya Dik, lain kali jalannya hati-hati."

Ghina kembali mengangguk. Satu persatu dari mereka meninggalkan tempat itu.

"Maaf ya, kamu nggak papa?" Arya mengulang pertanyaannya.

Ghina menunduk, lalu menggeleng.

"Kamu mau kemana malam-malam begini? Bukannya seorang pengantin itu harus berada di kamar pengantinnya bersama suami?"

Pertanyaan Arya, menyentak jantung Ghina. Gadis itu berbalik, lalu hendak mengambil langkah.

"Hei, tunggu!" Arya menarik tangan gadis itu.

"Kenapa, Ghin?" Lelaki itu menarik napas, "katamu akan menerimaku setelah Abang angkatmu itu menikah, kenapa justru kau yang menikah dengannya?"

Sejenak hening.

"Saya sudah menjelaskannya melalui telpon!"

"Saya nggak puas, Ghin. Saya minta penjelasannya sekarang."

"Saya nggak bisa Mas, saya buru-buru."

Ghina kembali menggerakkan langkahnya.

"Ghin, jika kau hanya menjadi pengantin pengganti, maka apakah masih ada kesempatan untuk kita bersama?"

Suara lelaki itu tampak bergetar. Ghina berusaha tegar, toh dia juga punya rasa terhadap lelaki di hadapannya kini.

"Mas, statusku di mata manusia memang sebagai pengantin pengganti. Tapi tidak di mata Allah. Setelah menikah, hal yang paling tidak disukai oleh-Nya adalah berpisah."

Arya menghela napas.

"Maaf, Mas. Saya buru-buru."

Ghina kembali melangkah, tak ada sekejap mata pun ia berbalik. Ghina tak ingin memberi ruang pada hatinya, juga hati lelaki itu untuk merasakan sakit lebih berat.

"Maafkan aku, Mas."

***

Malam semakin larut, kendaraan bermacam rupa lalu lalang tanpa henti, namun tak satupun diantara kendaraan itu yang berhenti ketika Ghina melambaikan tangannya. Sudah setengah jam dia menunggu di pinggiran jalan sambil sedikit-sedikit berjalan. Mungkin posisinya kini sudah lebih seratus meter dari hotel tempatnya menginap.

Ghina menghela napas dalam. Dia memilih berhenti berjalan karena kelelahan.

"Sampai kapan harus menunggu begini. Mas Sakha, tidakkah kau punya feeling, jika aku, Mama dan Papa, membutuhkanmu?"

Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Ghina yang tadi tertunduk, seketika menoleh.

Pengendara mobil itu menurunkan sedikit kaca depan.

"Berapa semalam, Mbak?" tanyanya sambil menyodorkan sepuluh lembar uang ratus ribuan.

Ghina membelalak, "Anda kira saya pe*****!" jawabnya tegas.

"Sudah, jangan sombong begitulah, Mbak. Kurang? Saya tambah lagi deh!"

Lelaki hidung belang itu mengeluarkan lima lembar lagi uang ratus ribuan.

"Maaf, ya Bapak! Saya sedang menunggu suami saya menjemput."

"Nunggu di jemput suami, kok di tempat beginian? Ayo ikut saya saja, Mbak. Kita puaskan diri di tempat lain," ucap lelaki itu sambil membuka pintu depan.

Ghina nampak panik. Tak lagi menjawab, ia memilih berjalan menjauh. Namun, ternyata lelaki itu turun dan mengejar.

"Lepaskan saya, Pak."

Ghina menepis lengan lelaki tambun yang sudah mencengkeram tangannya.

"Ayolah Mbak, saya tambah satu juta lagi. Kita chek in di hotel berbintang jika Mbak mau."

"Saya bukan pela***! Lepas!"

Ghina terus melawan saat tangan besar lelaki itu terus menarik paksa tangannya.

"Woi!"

Sontak Ghina dan lelaki itu menoleh ke sumber suara teriakan seseorang.

"Mas Arya?"

"Apa-apaan ini? Siapa anda berani menyentuh tangan istri saya? Kurang ajar!"

Plakkk!

Sebuah bogem melayang ke pipi lelaki itu.

"Oh, maaf, Mas. Saya kira dia singgle," jawab lelaki itu ketakutan.

"Pergi, atau saya seret anda ke penjara!"

"Ba-ba, baik, Mas!"

Lelaki itu membalikkan langkahnya dan kembali ke mobil.

Arya menatap Ghina yang kini sudah berlinangan air mata.

"Ayo, ikut saya."

Ghina tak bereaksi, hanya air mata yang terus mengalir.

"Kamu mau di sewa Om-Om kayak tadi?"

Sambil terisak, Ghina menggeleng.

"Kalau begitu, ayo ikut sama saya," ucap Arya sambil melangkah memasuki mobil. Ghina yang takut hal serupa terjadi kembali, segera mengiyakan ajakan Arya.

"Sebenarnya kamu mau kemana malam-malam begini sendirian?"

"Ke Jalan Menteng, Mas."

Arya menghela napas, gadis yang telah mencuri perhatiannya hampir satu tahun ini, sungguh membuat dadanya tak karuan.

Seminggu yang lalu, ia memutuskan untuk mengungkapkan perasaan yang sudah ia pendam cukup lama. Dan ia begitu bersyukur, karena Ghina mau menerima, bahkan saat ia mengajak menikah, gadis itupun tak menolak.

Lalu, tiba-tiba dia mendapat kabar, bahwa Ghina tidak bisa lagi melanjutkan hubungan mereka karena akan menikah dengan Sakha.

Sekarang, dimalam pernikahan yang seharusnya dilalui di dalam kamar, gadis ini malah keluyuran hingga diganggu Om-Om kurang cinta.

"Kamu-"

"Jangan ungkit masa lalu," potong Ghina cepat.

"Oke, Saya nggak akan menyinggung apa-apa lagi tentang masa lalu kita. Sekarang yang jadi pertanyaan saya, kamu kenapa diluar?"

"Saya mencari suami saya."

Arya membelalak. "Emang suami kamu kemana, bukan seharusnya seorang suami menemani istrinya di dalam kamar?"

Ghina menoleh, lalu menunduk. Dadanya sakit mendengar ucapan Arya.

"Jika Mas tahu begini, Mas nggak akan melepaskanmu!" Arya meremas setir.

"Kamu sih, saya bilang jangan mau jadi pengantin pengganti, ada saya disini yang bisa membahagiakanmu! Tapi apa, kamu tinggalkan saya 'kan?"

Ghina melotot, dengan cepat ia membuka pintu mobil hendak keluar. Namun, Arya menahan tangan gadis itu.

"Mas ngajak saya ke mobil cuma buat meluapkan amarah Mas? Mas nggak pikir, ini bukan kemauan saya!"

"Kalau kamu terpaksa, kenapa harus mengiyakan? Banyak cara menuju Roma, kenapa harus bunuh diri?"

"Mas, itu Ibu angkatku! Dia buka saja merawatku, tapi memberi ibuku tempat tinggal setelah dicampakkan ayahku sendiri. Apa mungkin aku menolak satu saja permintaannya?"

Arya menghela napas panjang.

"Tapi ini menyangkut cinta, Ghin. Dia nggak bisa memaksamu menikah dengan orang yang tidak kamu cintai?"

"Lalu, apa Mas pikir aku sudah mencintai, Mas? Aku menerima ajakan Mas menikah, karena mengingat semua kebaikan Mas padaku."

Arya terperanjak. Gerahamnya menegas, ia kecewa karena mengira telah memiliki hati gadis itu.

"Katakan kamu mau kemana, saya akan mengantar sampai tujuan. Setelah itu, saya tidak mau lagi mengenalmu!"

Ghina merasa ada yang menghujam dadanya. Tapi ini pilihan, lebih baik tak mengenal, jika hanya akan saling menyakiti perasaan.

"Gyanti Cafe Roastery, Jalan Surabaya no.20 Menteng."

Detik berikutnya keduanya saling terdiam. Ghina memalingkan wajahnya menghadap kaca. Perlahan, dia usap air mata yang jatuh membasahi pipi. Sekuat tenaga ia menjaga agar saat kabut-kabut itu mengembun, tak ada isakan yang terdengar.

'Maafkan saya, Mas. Saya tidak mungkin jujur tentang perasaan saya pada Mas Arya, karena kejujuran hanya akan membuat kita sulit menerima takdir ini."

***

Bersambung.

Mau dilanjut nggak, jangan lupa vote ya biar tambah semangat up tiap hari..