webnovel

Covenant

[Completed] ===== CAUTION ===== **Warning 18+ : Gore, Bloody, Murder, etc. ===== CAUTION ===== Can you help me out? *Original Cover and Story by : Farren Bexley

FarrenBexley · Fantasy
Not enough ratings
21 Chs

- 4 -

Beberapa tahun berlalu dengan cepat. Anak-anak tumbuh pesat menyaingi tinggi orangtuanya. Hidup dalam perantauan, sendirian, untuk kemudian kembali pulang membawa kabar baik dan buruk. Sama halnya dengan Athan yang selama ini telah mengawasinya. Berada di sisinya dari bocah berusia 6 tahun hingga 19 tahun. Menemaninya dalam diam di setiap masalahnya. Terutama setelah ia melihatnya datang dan pergi ke rumah sakit dengan wajah tertekuk muram.

Sejak peristiwa tupai itu, Athan melihat Achlys sering di bawa dengan mobil taxi melaju kencang dan kembali lagi. Achlys tampak tak senang. Tapi Athan yang menyamar sebagai anak kecil tak bisa menghampirinya. Ia hanya bisa datang saat Achlys di luar rumah. Ia tidak ikut bersekolah dengannya, tak ada gunanya untuknya. Ia menutupinya dengan memberitahu mereka bahwa ia sekolah privat di rumahnya, hebatnya tak ada yang curiga sama sekali. Sepertinya Athan membuat dirinya menjadi keluarga kaya sekali sejak awal.

Belakangan ini, ia memutuskan untuk membuat skenario orang tuanya yang tengah dalam pekerjaan di luar negerinya mengalami kecelakaan fatal hingga meninggal. Selama ini ia menggunakan kedok seorang bocah yang ditinggal orang tuanya terus-menerus hingga ia bahkan tak pernah terlihat bersama keluarganya. Manusia mudah sekali ditipu dengan empati seperti itu. Bocah lugu tak lancar bicara yang mengalami masa kecil menyedihkan tanpa orang tua dan tumbuh besar dengan mengetahui orang tuanya meninggal di perjalanan bisnisnya. Athan tak peduli. Saat ini yang dipedulikannya hanya menjalankan janjinya pada kakek tua itu, namun selama ini tak ada insiden menarik yang mengharuskannya melakukan sesuatu yang lebih dari menatap Achlys dan menjadi pelampiasannya. Ya, ia sering dianiaya oleh Achlys, tapi ia tak terusik sedikit pun dengan kekerasan fisik itu.

Kehidupan damai di dekat Achlys membuatnya hampir melupakan janjinya, tapi ia tak bisa mengabaikan rasa laparnya. Belum genap 1 abad memang, dan ia tak berencana untuk menggenapkannya. Athan benar-benar lapar.

Jadi ia menunggu Achlys di depan rumahnya. Seperti biasa. Menggunakan wujud manusia selama 13 tahun ini membuatnya terbiasa. Rasanya sudah lama sekali ia tidak menggunakan wujud aslinya, herannya kemampuan berbicaranya tak juga berkembang. Athan tak ambil pusing. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie hitamnya. Celana kain coklat panjangnya menyimpan banyak cemilan dalam sakunya yang banyak. Sesekali ia menyemilinya sembari duduk menunggu.

Masa-masa awal dirinya yang menunggu Achlys pulang di depan rumahnya membuat beberapa tetangga menatapnya aneh. Ibu Achlys sudah berusaha menyeretnya masuk, namun Athan bersikeras menolaknya dan tetap menunggu di luar. Jadi Ibu Achlys menyerah dan menyediakan tempat duduk di depan rumahnya. Halamannya tak terlalu luas, hanya 2 meter dari depan pintunya, dan beberapa tanaman hias warna-warni kecil tertanam di tanah di sekelilingnya.

Akhirnya Achlys pulang bersama Xander. Gadis itu tumbuh menjadi remaja pemurung yang senang mengejek Xander. Mungkin karena masa kecilnya yang menjadi sering ke rumah sakit. Omong-omong soal Xander, Athan tidak terlalu memperhatikannya. Ia tak terlalu berminat pada pertumbuhan anak itu sedetail Achlys. Ia hanya tahu, Xander berubah menjadi seorang lelaki lemah penyuka kucing jalanan. Setiap Athan memergoki Xander di jalan, ia selalu bersama beberapa kucing dan kudapan tunanya. Entah darimana semua uang yang dibelikannya untuk kudapan tuna mahal itu padahal Xander terlihat tak bekerja. Athan tak peduli.

"Kau lagi," dengus Achlys jengkel. Athan menanggapinya dengan berdiri. "Aku tidak ingin jahat padamu, tapi bisa tidak sih kau tidak mengekoriku setiap aku pulang?"

"Penting," sahut Athan mengacuhkan ucapan Achlys. "Ikut aku."

Achlys mengedikkan bahu ke pintu rumah. "Di dalam saja, aku ingin ganti baju dulu."

Athan menolaknya seperti biasa.

"Alergi dengan rumahku, ya?" gumam Achlys. "Tunggu sebentar di sini."

Achlys masuk membuka pintu dengan keras dan menutupnya sekasar membukanya. Sepertinya ia sedang kesal. Setiap hari ia terlihat kesal. Athan kembali duduk dan memakan cemilannya. Ia mengerjap kaget ketika menyadari Xander masih berdiri di tepi pekarang rumah kecil itu, menatapnya ragu. Athan menelengkan kepalanya sedikit. Xander menangkap maksudnya dan menggeleng, menjauh pergi walau melirik sekali-sekali padanya di belakang.

Achlys keluar menggunakan setelan santai kaos polos dan celana kain pendek selutut, rambut coklat gelapnya dikuncir kuda ke belakang tanpa menyisakan poninya. "Nah, kemana?"

Athan bangkit berdiri lagi dan mulai berjalan memimpin Achlys yang mengikutinya. "Rumahku."

Seketika Achlys berhenti dan menonjok lengan kanannya yang menggenggam camilannya. Camilan itu jatuh meninggalkan mulutnya yang menganga siap melahapnya. Athan berbalik menatap Achlys.

"Kau gila, ya? Rumahmu kan kosong."

"Aku baik."

"Yang benar saja," balas Achlys, matanya menyipit curiga. "Kita ini bukan bocah lagi."

"Aku baik." Athan tetap bersikeras. "Aku lapar."

Achlys menarik napas panjang. Ia merogoh saku celana Athan, mengambil salah satu camilannya dan memakannya. Ia berjalan mendahuluinya. "Nanti kutraktir. Ayo."

Di belakangnya, Athan menggeleng frustasi. Bukan makanan manusia yang diinginkannya. Makanan mereka tak bisa menghilangkan rasa laparnya. Semua terasa seperti kudapan saja bagi Athan.

______________________________________

Rumahnya tergolong besar di sekitar perumahan, apalagi jika dibandingkan dengan rumah kontrakan kecil Achlys, rumah Athan tentu termasuk orang yang memiliki gaji besar. Ia memilih untuk berlatar belakang sebagai keluarga kaya untuk kemudahan privasi dan menutupi informasi lainnya. Juga untuk persiapan lain tentunya. Tak terlalu besar tapi tidak kecil. Athan suka balkonnya yang langsung menghadap ke taman. Ya, rumahnya cukup dekat dengan taman dibandingkan dengan Achlys dan Xander.

Angin lembut dari balkon kamarnya yang terbuka membuai rambut pendeknya yang nyaman. Achlys duduk di salah satu bangku yang ia letakkan di sana bersama meja kecil untuk bersantai bersama camilan setianya. Athan bersandar di pagar balkon, menatap taman sepi yang sudah jarang mereka kunjungi.

"Jadi? Apa?"

Athan menolehkan kepalanya pada Achlys. Kegelisahan Achlys terlihat jelas dengan duduknya yang bergeser-geser tak nyaman. Athan hanya menatapnya dalam diam. Ia tak yakin bagaimana mengatakannya. "Ada masalah?"

Decakan kesal keluar dari lidah gadis itu, keningnya berkerut menatap Athan dalam kekesalan yang tak dimengerti Athan. Apa lagi kali ini? "Bukan urusanmu. Hanya itu yang ingin kau bicarakan? Memangnya aku kenapa?"

Athan menatapnya terang-terangan dari atas ke bawah. Kenapa? Sudah jelas ada masalah. Tanpa melihat pun, Athan dapat menciumnya. Tapi Athan hanya mengangkat bahu. "Aku lapar."

Ekspresi geram Achlys yang dikenali Athan sebagai tanda kekerasan membuatnya mengangkat kedua alisnya, menantangnya memberitahu lebih banyak selain hanya dari ekspresinya. Sudah ia bilang, ia tak peduli dengan kekerasan fisik yang diterimanya. Tidak meninggalkan bekas sama sekali padanya, jadi untuk apa mengkhawatirkan sesuatu yang sepele.

Helaan napas panjangnya membuat Athan sedikit terkejut. Tak pernah ia melihat Achlys menahan perasaan kesalnya. Jadi sekali lagi ia bertanya, "Ada masalah?"

"Kau tahu apa?" balas Achlys sambil memijat pelipisnya.

"Kau bau," sahut Athan seadanya. Ia tak tahu bagaimana harus mendeskripsikannya, kemampuan bicaranya memaksanya meringkasnya sampai Achlys bisa salah paham dibuatnya.

Achlys mengangkat kepalanya dengan cepat padanya, ia terlihat shock. Matanya berkedip beberapa kali sebelum shocknya hilang. "Maaf, aku belum mandi." Achlys menjawabnya dengan ketus.

Athan menggeleng pelan, perlahan ia menghampiri Achlys dan berjongkok di samping Achlys yang menunduk menatapnya. Tatapan Athan yang datar memaksa kerutan kesalnya berubah menjadi bingung. Achlys sedikit menjauhkan badannya.

"Bukan." Athan menatapnya lekat-lekat beberapa detik sebelum melanjutkan. Ia tak yakin ekspresi dan jawaban apa yang akan didapatnya dari gadis itu. "Darah."

Tatapan Achlys berubah menjadi kosong seakan sedang melihat sesuatu yang tak dapat dilihat Athan dalam kepalanya. [ ]