webnovel

Covenant

[Completed] ===== CAUTION ===== **Warning 18+ : Gore, Bloody, Murder, etc. ===== CAUTION ===== Can you help me out? *Original Cover and Story by : Farren Bexley

FarrenBexley · Fantasy
Not enough ratings
21 Chs

- 3 -

Taman di dekat rumahnya umumnya sepi. Tidak banyak yang memiliki anak kecil. Tidak banyak lansia. Tidak banyak yang memiliki hewan peliharaan. Tidak ada yang bisa diajak ke taman, karena para pemuda yang memiliki pasangan lebih sering pergi ke tempat hiburan menyenangkan. Memang sangat disayangkan, apalagi taman itu cukup besar dan rindang hingga seseorang yang tidak tahu bisa salah menganggapnya sebagai hutan. Xander pun dulu juga sempat menganggapnya begitu.

Bangku-bangku kayu sederhana di pinggir taman terlihat kosong. Air mancur dengan patung cupid mini yang panahnya memancarkan air terlihat usang termakan usia, walau bahan patung itu masih belum tergerus namun warnanya memudar dari yang semula bercat putih. Dua jalan setapak di belakang air mancur mengarah langsung ke dalam taman tersebut. Xander tahu dimana bisa menemukan bocah menyusahkan itu. Ia memilih jalan kiri.

Di setiap beberapa meter, terpasang lampu jalan setinggi 5 meter yang menurutnya terlalu tinggi karena saat malam tiba, taman masih terlihat gelap menyeramkan. Untung saja ini masih sore hari yang cerah. Dedaunan di atasnya sedikit menghalangi matahari yang juga melindunginya dari panasnya. Tak banyak hiburan di taman itu, jadi wajar saja sepi pengunjung. Perjalanan di jalan setapaknya sejauh mata memandang hanya memaparkan bangku kayu kosong dan hamparan luas berbagai macam pohon dan tanaman hias serta beberapa area lapang yang mungkin dimaksudkan sebagai area piknik keluarga.

Setelah berbelok-belok mengikuti jalan setapak yang akhirnya berujung pada pertemuan jalan setapak yang ada dari arah kanan patung, Xander mengambil jalan keluar jalan menuju rerumputan yang terpangkas rapih. Pepohonan berdaun lebat setinggi 2-3 meter menghiasi area itu setiap jarak 2 meter. Xander menemukan Achlys di sana memunggunginya, di sebelah sebuah pohon yang lumayan besar. "Achlys!"

Ia menghampirinya sambil menggerutu. Padahal dia baru saja pulang sekolah dan berharap dapat langsung memainkan playstation terbarunya, namun orang tua bocah itu selalu mengganggunya dengan menghadiahinya ini-itu untuk mengasuh anaknya. Lumayan juga untuk tambahan uang saku, tapi ia tak tahan dengan kenakalan bocah 6 tahun itu. Menyusahkan sekali berlari ke sana kemari hanya untuk menemukannya dan menggiringnya masuk ke rumah.

Tubuh Achlys tersentak terkejut dan menoleh kebelakang dengan cepat. Achlys tersenyum setelah tersadar bahwa Xander lah yang mengejutkannya. "Hei!"

"Ada yang menarik?" tanya Xander di sampingnya sambil berkacak pinggang. "Sepertinya aku harus melamar pekerjaan lain."

Achlys menyeringai lebar. "Untuk apa? Kau tak cocok bekerja." Ia menunjukkan sesuatu yang digenggamnya. "Lihat ini."

Xander menatap buah-buahan diatas tangkupan tangan mungil Achlys. "Dari mana?"

"Kau ingat di hutan itu? Ini dari dia yang kita hampiri itu," kata Achlys penuh semangat. "Sudah kubilang ada sesuatu!"

"Apa maksudmu? Binatang buas memberimu buah beri?" tanya Xander

Achlys menggeleng kuat. Beberapa buah itu terjatuh dari tangannya. Xander melirik ke bawah pohon di sampingnya. Banyak buah, terutama buah beri kecil. "Dia bukan binatang buas. Dia manusia." Achlys menaruh buah di bawah pohon dan bergegas menghampiri sisi lain pohon itu, menarik lengan pendek yang perlahan menampakkan wujud seorang bocah lelaki kecil ingusan dengan ekspresi datar menyebalkan yang menatapnya. Xander menyipitkan matanya, mulutnya membulat sebagai tanggapan.

"Kau pasti terjatuh keras sekali sampai Achlys bisa mendengarnya dari jauh, ya? Hanya Achlys." Xander menatapnya curiga dari atas ke bawah. Modus penculikan kah? "Aku tidak melihatmu di rombongan kami."

Bocah itu menggeleng. Ekspresinya benar-benar membuatnya ingin meremasnya. Menyebalkan sekali.

"Dia tidak pandai bicara, sepertinya dia tersesat di hutan." Achlys mengguncang tubuh bocah itu. "Dari tadi aku tanyakan asalnya tapi dia tidak jawab apa-apa dan hanya memberikanku buah ini. Aku tidak mengerti."

"Pintar sekali. Seorang bocah kecil yang tersesat di hutan tiba-tiba ada di sini. Dia pasti terbang ke sini," komentar Xander datar. "Kita harus membawanya ke kantor polisi. Ini mencurigakan. Kau mungkin tak sengaja terlibat sesuatu yang berbahaya."

Achlys menatapnya. "Dia lucu. Aku ingin bawa pulang."

"Dia bukan hewan peliharaan, Achy. Ayo, bawa dia ke kantor polisi dan kita bisa makan enak di rumah."

Bocah itu menggeleng dan mendengus. "Tidak. Aku pulang."

"Kau bisa pulang? Dari hutan, ke sini, lalu pulang?"

Bocah itu mengangguk.

"Menakjubkan," gumam Xander.

"Xander, kita harus mengantarnya." Achlys mencubiti pipi bocah itu.

Xander semakin curiga. "Kalian kok sepertinya dekat sekali. Achy, kemari sebentar." Ia menggiring Achlys ke jalan setapak, menjauhi si bocah itu. "Bagaimana kau bisa yakin dia bocah yang sama? Ini mencurigakan sekali kau bisa menemukannya di sini." Xander melirik bocah lelaki itu yang tengah memakan berinya.

Achlys merengut. "Kau ini curigaan sekali. Kan wajar saja ada anak kecil bermain di taman ini. Aku saja selalu ke sini walau sepi."

"Oke. Jawab pertanyaan pertamaku."

"Saat aku menemukannya, dia langsung berkata 'Hutan'." Achlys mengedikkan bahu. "Kau bisa saja melupakan seseorang di rombongan, kan. Aku saja hanya ingat beberapa."

Xander mendesah pelan. "Kalau dia dari rombongan, untuk apa dia ke pepohonan menyeramkan dan menjauh saat kita mendekatinya?"

"Mungkin dia butuh privasi karena sedang buang air kecil!" Achlys bersikeras. "Mungkin dia terjatuh dan malu lalu bersembunyi! Mungkin juga dia bersama saudaranya saat itu!"

"Aku tidak setuju. Semoga dia memang hanya seorang bocah bodoh yang bersama saudaranya," kata Xander sinis.

Achlys tersenyum lebar dan memukulnya pelan. "Antar dia pulang. Aku menyukainya. Dia imut," kekeh Achlys.

"Kuharap kau tidak membullynya menggantikan boneka pesta tehmu," sahut Xander yang dibalas tawaan Achlys. Ia menghampiri pohon tadi, diikuti Achlys di belakangnya. Bocah itu tak ada. Buahnya tak ada.

Achlys menyadarinya, ia mengelilingi pohon itu dan pohon lain di sekelilingnya. Sepertinya bocah itu gemar bersembunyi di balik pohon. "Kemana dia?"

"Uh, kurasa sebaiknya kita pulang dan lapor polisi saja sebelum berubah menjadi penculikan, ya."

"Hentikan pikiranmu, Xander. Mungkin dia sudah pulang duluan," kata Achlys.

Xander menggeleng. "Tidak sopan, ya, temanmu itu. Ya sudah, dia bisa pulang jadi kita pulang saja."

____________________________________________

Keesokan harinya, Xander kembali mendapati Achlys tengah duduk bersender pada pohon besar di tempat yang sama bersama bocah lelaki itu, memakan buah beri merah yang mencurigakan. Setahunya, tak semua beri dapat dimakan, namun sayangnya ia tak bisa membedakannya. Jadi ia berharap semoga Achlys tak keracunan makanan atau tak ada bonus hari ini.

"Halo?"

Achlys melambaikan tangannya. "Xander! Aku sampai tak menyadarimu datang. Coba beri ini, enak sekali."

Xander mengernyit. "Untukmu saja kalau seenak itu." Ia menghempaskan dirinya tiduran di sebelah Achlys dan mendesah panjang. "Lelah sekali."

"Ada apa?"

"Sekolah. Memangnya apa lagi?"

Achlys terkekeh. "Tak punya teman, ya?" tebaknya.

"Bukan itu," balas Xander memutar bola matanya. "Pelajarannya cukup rumit bagiku. Kalian jangan bermain jauh-jauh, ya, aku ingin tidur siang sebentar."

"Kukira kau mencurigai bocah ini," sahut Achlys santai. Seketika Xander teringat dan membuka matanya dengan waspada menatap bocah lelaki itu. Achlys melambaikan tangannya di atasnya. "Tenang saja, aku sudah tahu rumah Athan. Kami bisa bermain sendiri."

"Oh, baguslah. Dimana?"

"Kau tahu rumah kosong di sebelah toko Boby si galak itu? Athan baru pindah ke sana," kata Achlys yang masih memakan berinya dengan lahap. "Orang tuanya dua-duanya bekerja. Kami cocok."

Xander mengernyit heran. "Kok aku tidak tahu ada yang pindah ke sana?" Bukan sombong, tetapi sebuah keluarga baru yang pindah ke perumahan mereka kabarnya pasti cepat menyebar. Ditambah lagi dengan kondisi Athan yang susah bicara pasti menjadi buah bibir para ibu. "Pindahnya diam-diam?"

"Entahlah, tetangga yang lain tahu, kok. Sepertinya kau terlalu sibuk dengan pelajaranmu. Tidur saja sana."

"Baguslah," desah Xander lega. Ia menutup matanya. Akhirnya ia tak harus selalu memelototi Achlys yang lari ke sana kemari. Setidaknya seharusnya teman pendiamnya tak bermain jauh. Dan perumahan ini bukan hutan belantara. "Nah, Athan junior, jaga dia jangan sampai berkeliaran jauh, ya. Achlys itu nakal sekali."

Xander mendengar Athan mendenguskan jawabannya, tapi ia terlelap begitu cepat di bawah buaian angin taman yang lembut. "Aku lapar."

________________________________________________

Xander membuka matanya. Ia mengerjap bingung beberapa kali sebelum tersadar di mana dirinya berada. Ia menoleh. Achlys dan Athan tak ada. Mungkin bermain tak jauh dari sini. Ia harus meyakinkan dirinya berkali-kali bahwa taman tak akan mencederai dua bocah itu. Dan tentunya menurunkan kecurigaan terhadap Athan junior yang malang.

Xander meregangkan badan sebentar dan mendesah lega. Sepertinya hanya terlewat 1 jam saja ia tertidur, matahari masih bersinar lembut di ujung sore. Tapi rasanya puas sekali beristirahat di tempat sejuk dan menenangkan ini. Angin sepoi-sepoinya benar-benar membuatnya terbuai. Tapi ia harus bangun dan membawa Achlys pulang untuk dapat jatahnya. Jadi ia memaksa dirinya bangun dan berkeliling dengan langkah setengah terseret sambil menepis beberapa rumput dan kotoran lain di tubuhnya. Ia tak menemukan mereka.

Sambil berdecak-decak kesal, ia berkacak pinggang dan memelototi pohon dan tanaman hias di taman yang mungkin menyembunyikan kedua bocah. Xander benar-benar harus berhenti melakukan ini setiap hari atau dia akan meledak! Ekor matanya menangkap sekelebat warna hitam yang dicurigainya sebagai rambut salah satu bocah itu, jadi dia bergegas menghampiri dengan serentetan omelan dibenaknya untuk diontarkan namun mengurungkan niatnya seketika.

Athan duduk menatap Achlys yang tengah mendemonstrasikan bagian-bagian tubuh tupai malang yang setengah dikuliti dengan batu berbentuk panah kasar. Xander terguncang melihatnya. "Kau mengerti, kan? Coba lah." Achlys menyodorkan tupai itu pada Athan yang membuat Xander kembali tersadar.

"Achlys!" seru Xander menarik Athan menjauh dengan gusar. Ia tak bisa berkata-kata selain menatapnya dan tupai itu bergantian setengah ngeri dan muak.

"Oh, Xander! Kami sedang belajar bertahan hidup di alam liar!" kata Achlys dengan riang. Ia mengulurkan tupai itu padanya yang secara refleks menjauh, mendorong Athan ke belakangnya. Achlys tampak tertegun menyadari Xander menjauhinya. "Xander?"

"Ku-kurasa sebaiknya kita pulang. Saatnya makan malam," ucap Xander sedikit bergetar.

"Kenapa? Kita bisa makan tupai ini. Kami sedang belajar bertahan hidup,' kata Achlys lirih. "Kau tidak suka tupai?"

Xander menggeleng kuat-kuat. "Tidak, Achy. Kita pulang. Tak ada permainan bertahan hidup dan sejenisnya. Kau tidak boleh bermain-main dengan hewan seperti itu!" Ia benar-benar tak habis pikir dengan bocah ini! "Kubur tupai itu."

"Athan selalu mengeluh lapar! Aku hanya mengajarinya agar mengulitinya dulu seperti ibu membersihkan ayam! Apa bedanya?" Achlys mengguncang tupai itu di depannya. "Athan, kau tak boleh memakan ayam lagi bulat-bulat! Kau mengerti?"

Xander terkejut mendengarnya dan melirik Athan di baliknya yang mengangguk-angguk. "Apa maksudnya, Athan?"

Athan menatap Xander dengan tatapan yang sama seperti pertama kali ia melihatnya. "Telan ayam." Xander melongo. Orangtuanya pasti sibuk sekali sampai tak bisa menyiapkan makanan atau menyisihkan uang saku pada anaknya untuk membeli makanan matang sendiri.

"Ayam hidup?" tanya Xander memastikan. Athan mengangguk dan membeo. "Ayam hidup. Tidak mati."

"Aku tidak yakin kau menjawab pertanyaan yang sama, tapi ayam memang hidup. Maksudku kau memakannya hidup-hidup?"

Athan kembali mengangguk. Achlys mulai menggali tanah di sampingnya sambil menggerutu. Xander berjongkok untuk menatap Athan sesuai tinggi badannya, ia mengguncang tubuh Athan. "Ini gila. Bagaimana bisa anak sekecil dirimu memakan ayam hidup-hidup. Achlys, sepertinya kau harus menceritakan ini pada orangtuamu. Bagaimana bisa kau menguliti tupai itu?!"

Achlys mendengus kesal. "Aku ini jenius." Ia selesai mengubur tupai itu dan mengelap tangan bernoda tanahnya ke bajunya. "Aku tak mau beritahu. Xander saja. Aku mau main ke rumah Athan, kami sudah berjanji."

"Ibumu sudah tahu kau akan ke rumah Athan?"

"Apa peduli Ibu," balas Achlys kasar. "Aku bosan bermain sendirian, aku ingin bersama Athan."

"Aku tahu kau menyukainya, tapi jangan sampai berdua saja di rumah kosong bersamanya," kata Xander. Ia mengernyit sendiri mendengar ucapannya. "Maksudku, tidak baik anak kecil berdua di rumah kosong tanpa pengawasan."

"Xander ikut?" tanya Athan tiba-tiba.

"Aku tidak. Achlys tidak. Kami pulang, oke? Athan pulanglah, sudah malam," kata Xander, menggamit tangan kotor Achlys dan mulai menyeretnya pulang meninggalkan Athan yang menatap mereka dalam diam. Achlys meronta-ronta dalam genggamannya, sebisa mungkin melepaskannya dengan cakar dan giginya hingga Xander terpaksa menghelanya di atas bahu. Teriakan kesal Achlys mulai terdengar lirih dari tempat Athan.

"Aku lapar." [ ]