webnovel

Covenant

[Completed] ===== CAUTION ===== **Warning 18+ : Gore, Bloody, Murder, etc. ===== CAUTION ===== Can you help me out? *Original Cover and Story by : Farren Bexley

FarrenBexley · Fantasy
Not enough ratings
21 Chs

- 5 -

**Warning**

Ada adegan 18+ (just bloody) yang mungkin membuat pembaca sedikit kurang nyaman. Mohon maklum. Terima kasih.

______________________________________

Bersandar pada pohon sedikit tak nyaman baginya, keras dan tidak rata. Namun saat ini Achlys tidak ingin mempermasalahkan hal tersebut. Ingin rasanya menyeret Athan ke sini untuk melampiaskannya, tapi ia sudah terlalu sering melukainya akhir-akhir ini. Ia berhati-hati tidak melukai wajahnya, tempat di mana bagian tubuhnya terekspos jelas. Tak adanya respon dan keluhan darinya membuat Achlys tak enak hati, ia jadi sedikit kasihan dan menjauhinya sekarang. Jika bocah itu sekolah, ia pasti jadi bahan bully yang sangat membantu melepaskan stress. Sekarang Achlys hanya bisa berusaha menenangkan emosinya di taman yang sepi ini.

Gemerisik dedaunan dan sentuhan lembut angin perlahan menenangkannya kedutan samar di kepalanya. Dipejamkannya kedua matanya, memfokuskan dirinya pada kedua hal yang menenangkan tersebut. Tonjolan pada batang pohon di belakang punggungnya menjadi pijatan yang ikut menenangkannya. Achlys mendesah lega dan melorot ke tanah rumput, merentangkan kedua tangannya. Pikirannya kembali melayang pada yang terjadi tadi, tapi ia segera berusaha menepisnya dengan alam.

Menjadi seorang manusia—ya, tak peduli gendernya—yang tak memiliki pekerjaan sangat sulit, terutama dalam hal emosional. Batinnya tersiksa mendengar cemoohan tetangga dan beberapa teman sekolahnya tak menyukainya hampis setiap harinya, entah hanya berupa lelucon ringan, merendahkan, hingga lontaran kebencian. Walaupun cemoohan tetangga itu sudah ia dapat bertahun-tahun bahkan sebelum ia masuk sekolah hanya karena ia dianggap gila. Seharusnya ia tak perlu di bawa ke rumah sakit, ia tak merasakan efek apapun dari obrolan dengan orang yang tak dikenalnya itu. Dasar tupai sialan.

Achlys gemas sekali, sekarang ia sangat digencar oleh orang tuanya untuk menikah. Awalnya dipaksa mencari pekerjaan apa saja, dan sekarang menikah! Yang benar saja! Kenapa mereka seenaknya menyetir dirinya? Ia memang ada karena mereka, tapi bukan berarti ia akan diam saja seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Ia cenderung lebih senang memberontak dan membuat mereka kesal hingga akhirnya membebaskannya, walau sekarang ia terjerat paksaan nikah dan ancaman perjodohan. Sebegitu tersiksanya hanya karena tak dapat pekerjaan!

Suara langkah kaki menjejak rumput tak jauh dari tempatnya berbaring. Achlys membuka matanya dan mendapati seorang perempuan berdiri menjulang di atasnya. Ia langsung membencinya. Ekspresi merendahkan jelas terpampang di wajah perempuan itu tanpa ditutupinya sedikit pun. Pantulan sinar matahari terlihat silau dari jam tangan mahal di pergelangan tangan kanannya. Gaun merah muda pendek di atas pahanya membungkus badannya yang ramping dengan sempurna. Tas bermerek menggantung anggun di siku lengan kirinya. Sepatu pantofel putih mahalnya melontarkan tanah berumput ke atas tubuh Achlys, namun dengan angkuhnya ia mengibaskan rambut panjang hitam bergelombangnya.

Achlys menggertakkan giginya menahan amarah yang mulai menggelegak kembali di kepalanya. Perlahan ia bangkit berdiri dan membersihkan kotoran di badannya. Perempuan sinting itu kembali memainkan rambutnya dengan sikap centilnya yang memuakkan. Kedua alis lengkung sempurna di atas matanya terangkat sedikit. Matanya menatap Achlys dari atas hingga bawah dengan puas. Achlys hanya memakai kaos polosnya yang biasa dan celana trainingnya yang nyaman. Pasti ia terlihat seperti gembel di matanya.

"Diusir, ya? Kasihan sekali."

"Cheryl. Sesama pengangguran sebaiknya jangan mengganggu," balas Achlys ketus.

Cheryl memutar kedua bola matanya. "Setidaknya aku tidak membebani orang tuaku."

"Kau tidak punya teman, ya, sampai datang ke sini hanya untuk mengolokku? Aku terharu sekali."

Achlys mulai berjalan menjauhinya, mencari tempat baru untuk dirinya. Ia sedang tak ingin meladeninya. Tapi sepertinya Cheryl tidak akan membiarkannya. Perempuan itu membuntutinya di belakangnya, membisikkan cemoohan yang sudah berkali-kali di dengarnya seperti setan. Jadi ia berbalik dengan kesal dan berhasil membuat Cheryl hampir tersandung dirinya.

"Jalan saja tidak benar, dasar perempuan ini," ejek Achlys. Rasanya ingin sekali mencekiknya sekali saja. "Kau ini ada masalah apa, sih? Apa maumu?"

Senyuman Cheryl yang dibuat-buat membuat Achlys merengut jijik. "Aku ingin mengenal temanmu itu."

"Siapa? Xander?"

"Bukan, yang pendiam satu lagi," kekeh Cheryl. "Aku pernah melihat dia bersamamu di taman ini. Dia benar-benar tipeku. Bagaimana bisa lelaki semanis itu mau bersama denganmu?"

Mata Achlys berkedut kecil. "Aku tidak ingin memberitahumu. Lakukan saja dengan uangmu. Jangan ikuti aku atau kau akan menyesal."

Ancamannya tak membuat Cheryl takut karena ia masih membuntuti dirinya. Jadi Achlys memutuskan untuk pulang saja, walaupun harus berhadapan dengan Ibunya di rumah, pasti Cheryl tidak akan mengikutinya sampai masuk ke dalam.

Di depan rumahnya, Cheryl menarik tangannya dengan kasar yang dibalasnya dengan sentakan dan dorongan yang menjauhkan Cheryl dari tangannya. Achlys memelototinya. "Jangan sentuh aku."

"Dasar anak mami, beraninya ke rumah," cibir Cheryl sambil bersedekap. "Butuh uang berapa, sih? Aku bisa memberimu sebanyak yang kau mau. Kubeli informasi dirinya yang ada di otak udangmu itu."

Ia tak suka ucapannya. Tentu saja, siapa pun yang dicibir seperti itu tidak akan suka. Tapi sesuatu bergolak dalam dirinya. Emosi yang dirasakannya terasa menyebar di seluruh tubuhnya. Ia bisa merasakan pikirannya menjadi jernih. Berfokus pada satu hal yang tak dapat di tolaknya, dorongan perasaan dan otaknya mencengkram tubuhnya dengan erat. Saat ia mengucapkannya, ia merasa bukan dirinya yang mengendalikan bibirnya, menyunggingkan senyum ceria pada perempuan itu. "Oke. Ikut aku."

"Sudah kuduga! Murahan sekali!" Cheryl tertawa menutupi mulutnya dengan jari lentiknya.

Kakinya membimbing mereka kembali masuk ke taman, melewati tempatnya tadi berbaring, melewati semak liar pembatas taman dengan timbunan sampah dari taman dan saluran air keruh yang menguarkan bau memualkan. Pepohonan liar berdiri rapat menutupi mereka. Cheryl mengerutkan bibirnya dengan jijik, menatap tumpukan sampah dan selokan kotor itu bergantian kemudian mengeluarkan sapu tangan putihnya untuk menutupi sedikit baunya.

"Kenapa di sini, sih?" tanya Cheryl di balik sapu tangannya. Ia mengibaskan tangan dengan santai di depannya. "Terserah, deh. Nah, katakan padaku. Uangnya bisa langsung ku transfer."

Achlys terdiam sejenak. Denyut jantungnya menjadi lebih kencang. Tangannya berkedut pelan. "Aku tidak paham kenapa kau bisa menyukai bocah bodoh itu." Achlys mendekatkan bibirnya ke daun telinga Cheryl. Bau parfum rambutnya tercium tajam tak nyaman di hidungnya, menutupi bau busuk di sekitarnya. Ia berbisik pelan. "Yah, aku tak peduli, tapi aku ingin sekali mencekikmu."

Sapu tangan Cheryl sangat membantu meredam suaranya. Tapi ia tak puas. Jadi ia mulai menguliti wajahnya dengan kasar menggunakan kuku dan merobek dagingnya dengan potongan kaca tajam ukuran sedang yang ditemukannya pada tumpukan sampah. Darahnya mengalir ke saluran air keruh yang segera mewarnainya menjadi merah pekat. Saat hari mulai gelap, ia menyebarkan potongan daging itu dan membawa beberapa tulang yang masih tertempel sedikit bilur daging hijau-biru pada anjing di salah satu rumah yang menggonggong padanya. Dan semua atribut yang dikenakan perempuan itu dilelangnya di internet setelah ia bersihkan.

Ia sudah mendapatkan uangnya.

______________________________________

Tangan Achlys mengatup rapat dalam kepalan yang saling menggenggam. Matanya terpejam rapat. Sentuhan tangan Athan di bahunya tampaknya tidak memberikan efek seperti yang diharapkannya. Athan hanya terdiam selama ia menceritakannya. Habislah sudah jika bocah itu melaporkannya. Ia akan semakin di diskriminasi. Kenapa pula ia menceritakannya pada Athan? Achlys menghela napas pelan dan membuka matanya menatap Athan. Ia menunggu, namun Athan yang tetap diam membuatnya gemas.

"Bisa tidak, sih, kau tidak diam saja?!" teriak Achlys di depan wajahnya yang tengah berlutut di samping dirinya. Tatapan datar Athan seakan meledeknya.

Begitu dekat tangannya dengan lehernya.

Ia tersentak menyadari dorongan itu dan menutupi wajahnya, tapi Athan menarik kedua tangannya dan memaksanya bangkit berdiri. "Achy."

Achlys mendongak menatapnya. Ekspresinya masih tampak terkejut. Athan menggenggam kedua tangan Achlys dengan erat, mata hitamnya sedikit berbinar. Atau hanya pantulan cahaya?

"Di mana dia?" tanya Athan. "Aku lapar." [ ]