webnovel

Cinta Semi

Ketika sahabat baik Dima menyarankannya berpacaran, Dima menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta penyendiri. Awalnya hanya berniat membantu, tetapi tanpa disadari semakin terjerumus. Bisakah Dima melewati ujian ini? Haruskah cita-cita dikorbankan ketika cinta hadir? Dan apakah Dima yakin tahan menghadap rahasia gadis tersebut?

WiddyWierft · Urban
Not enough ratings
6 Chs

Chapter 2: Bohong

"Hai, Bu Lastri."

"Oh, Dima," kata Bu Lastri riang, berbalik menghadapnya dari layar komputer. "Kau cepat sekali hari ini?"

"Iya, tadi aku permisi ke kamar mandi. Saat mau kembali, bel tanda jam istirahat sudah berbunyi makanya aku langsung saja ke perputakaan," terang Dima. "Ngomong-ngomong, di mana Bu Felicia?"

Biasanya petugas perpustakaan ada dua orang, yaitu Bu Lastri dan Bu Felicia. Bu Lastri adalah seorang ibu-ibu berusia sekitar 50an yang berjilbab serta bertubuh pendek bongsor, sedang Bu Felicia seorang perawan tua berkacamata tebal. Sehari-harinya mereka berdua menjaga perpustakaan. Bu Lastri berjalan-jalan mengembalikan buku pada tempatnya dan Bu Felicia menginput data. Pada dasarnya mereka saling bantu-membantu.

"Sedang cuti sakit," Bu Lastri menyahut simpatik. "Akhir-akhir ini sedang ada wabah flu."

"Semoga beliau cepat sembuh."

"Amin," Bu Lastri mengamini panjang. "Makasih, Nak. Cuma kau satu-satunya murid yang paling baik sama kami."

Dima mengangkat alis. "Benarkah?"

"Siapa lagi menurutmu yang sering ke perpustakaan?"

"Para murid?"

"Tidak semuanya, Dima. Coba kau lihat keluar."

Tidak perlu sampai keluar ruangan, cukup melihat melalui pintu kaca bening perpustakaan. Para murid berlarian ke sana kemari dengan riang gembira. Kelompok murid laki-laki maupun kelompok murid perempuan tampak melintas. Jangankan masuk, melirik saja tidak. Jadi kondisi perpustakaan mirip kuburan. Hampir selalu kosong, dingin, dan sepi pengunjung. Mungkin itulah sebabnya perpustakaan tetap sejuk dan adem.

"Kurasa mereka tidak suka belajar."

"Kecuali beberapa orang." Bu Lastri menunjuk Dima. "Contohnya dirimu, Nak."

Senyum tercetak pada wajah Dima. "Itu karena ada yang ingin kucapai."

"Menjadi dokter, bukan? Memang harus belajar giat."

"Bagaimana murid-murid lain?" tanya Dima penasaran. "Apa tak ada yang mereka kejar makanya tak belajar giat?"

"Mereka belum tahu dunia luar. Percayalah, saat kau tamat nanti, semuanya akan kelihatan berbeda 180 derajat."

Dahi Dima berkerut. Masih diam menunggu penjelasan Bu Lastri.

"Hampir semua yang dipelajari di sekolah tidak dipakai di dunia nyata, Nak," lanjut Bu Lastri terus terang. "Tapi ada beberapa hal yang dipakai kalau kau mengincar profesi tertentu."

"Maksud ibu 'Pekerjaan'? Itu kata lain profesi, bukan?"

"Bisa dikatakan begitu." Bu Lastri mencoba mengiyakan. "Dan menjadi dokter adalah salah satunya. Kau akan pakai semua yang kau pelajari di sekolah untuk ujian masuk nanti."

"Karena itulah aku selalu ke perpustakaan."

Tiba-tiba seseorang membuka pintu perpustakaan. Seorang gadis berambut sebahu dalam balutan jaket tipis berwarna biru tua. Wajahnya tampak lesu dan terlihat sangat tidak bersemangat. Gadis itu langsung berjalan lemas ke belakang perpustakaan, di mana sebuah meja besar terletak di depan bangku panjang kulit yang tertempel di dinding, dan duduk di pinggiran rak buku agar tidak kelihatan orang lain. Menunduk dan membenamkan diri dalam pelukan tangan hangat untuk istirahat sebentar.

"Bolehkah tidur di perpustakaan?" bisik Dima ingin tahu.

"Seharusnya tidak boleh," jawab Bu Lastri pelan. "Tapi khusus untuknya."

"Bagaimana bisa?"

Seingat Dima, Bu Lastri menjunjung tinggi peraturan. Dia sering memarahi murid-murid yang ribut atau tidak meletakkan kembali buku yang mereka baca. Makanya dijuluki sebagai petugas galak sehingga murid-murid enggan berkomunikasi dengannya. Tapi tidak pernah galak padanya. Dima yakin Bu Lastri memiliki alasan tersendiri.

"Permintaan dari UKS. Katanya dia enggan terus berada di UKS dan minta diizinkan untuk tidur di perpustakaan."

Sekali lagi Dima berbalik memperhatikan gadis itu. Berambut panjang hitam lurus, bertubuh mungil, dan, walau sekilas tadi, memiliki kulit putih yang membuat wajahnya menawan. Dia ragu pernah melihat gadis itu.

"Apa kau tidak kenal dia?" tanya Bu Lastri setelah melihat Dima dipenuhi rasa tanda tanya.

"Tidak," jawab Dima singkat, tanpa memalingkan pandangan dari gadis itu. "Aku tidak mengenalnya sama sekali."

"Namanya Kilia. Tingkatan SMA2, sama denganmu."

"Mungkin dari kelas lain." Dima tidak ingat ada nama itu. "Apa jurusan IPS?"

"Sebentar, coba ibu cek dulu."

Setelah mengklik mouse beberapa kali, muncul sebuah daftar kertas digital pada layar berisi nama siswa-siswi yang sedang menempuh jalur pendidikan saat ini. Bu Lastri mengetik 'Kilia' di bagian pencarian dan muncul satu baris tabel. Satu-satunya di layar.

"Kelas IPS 8 dari total 10 kelas IPS," baca Bu Lastri singkat. "Benar. Dari kelas IPS."

"Wajar," Dima berbalik berbicara kepada Bu Lastri, "murid-murid seangkatanku jumlahnya ratusan."

Bu Lastri membenarkan. "Memang mustahil mengenal seluruh teman seangkatan kalau jumlahnya begitu."

"Baiklah. Apakah buku yang kupesan sudah ada?" Dima kembali bertanya dengan nada antusias.

"Sebentar, coba ibu cek dulu."

Bu Lastri mengambil kacamatanya dari atas meja komputer dan memakainya untuk memeriksa tumpukan buku baru yang belum dirapikan tak jauh darinya. Aneh sekali. Harusnya dia memakai kacamata untuk melihat komputer, bukan melihat buku yang tidak memiliki cahaya radiasi.

"Apa judulnya?" tanya Bu Lastri tanpa mengalihkan pandangan.

"Pengetahuan Organ Tubuh."

Bu Lastri menarik keluar sebuah buku berwarna putih. Amat tebal. Debu-debu masih lengket pada pembungkus plastiknya dari semua buku yang ada, menyakinkan Dima kalau buku tersebut jarang ada yang beli. Dan dia akan menjadi orang pertama yang membacanya. Rasanya tidak sabar.

"Ini." Buku itu diserahkan kepada Dima setelah Bu Lastri mengoyak pembungkus plastik. "Susah sekali mendapatkannya. Harus dibeli secara internet oleh Bu Felicia."

"Maaf merepotkan."

Bu Lastri tersenyum kecil. "Tidak untuk murid kesayangan perpustakaan."

Wajah Dima berseri-seri. Dia memegang buku itu erat-erat seraya memperhatikan sampul bergambar jantung merah pekat dihimpit oleh hati dan usus halus. Sampul yang bagus sekali.

"Aku pinjam buku ini, Bu," seru Dima girang. "Seminggu penuh."

"Tentu, tentu. Seperti biasa."

Bu Lastri hendak kembali menghadap komputer saat telepon perpustakaan berdering. Langsung diangkat. Terpaksa Dima harus menunggu sambil dirinya memperhatikan perpustakaan tempat dirinya berada. Sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Bagian ruang kecil tempatnya berdiri berupa tempat administrasi perpustakaan bersebelahan dengan pintu kaca tebal. Ruangan sisanya ditempati meja, kursi, dan rak-rak buku yang berjejer rapi. Setiap rak dilabeli kertas-kertas keterangan, bagai label untuk masing-masing kumpulan buku.

"Iya, aku mengerti." Bu Lastri mengangguk sambil mencuri pandang ke arah Dima. "Akan kusampaikan padanya."

Dima mengangkat alis heran. Apakah panggilan itu ada hubungan dengan dirinya? Karena Bu Lastri tengah meliriknya sekarang bahkan setelah menutup telepon.

"Pak Brontas menyuruhmu menghadapnya." Mata Bu Lastri terlihat horor. "Apa kau terlibat sesuatu, Dima?"

"Tentu tidak, Bu," bantah Dima kebingungan. "Tapi kenapa aku dipanggil?"

"Entahlah. Tapi mari ibu daftarkan buku itu dulu."

Menggunakan jurus mengetik sepuluh jari, Bu Lastri menulis judul buku dan mendaftarkan nama Dima sebagai peminjamnya. Terlihat daftar riwayat peminjaman buku oleh Dima. Panjang ke bawah hingga lewat layar komputer.

"Baiklah. Kau boleh ambil buku itu."

"Terima kasih, Bu Lastri," ucap Dima dengan wajah datar.Sekarang dia harus menemui Pak Brontas, padahal dia sudah tidak sabar ingin membaca buku dalam genggamannya.

***

"Masuk," sahut Pak Brontas, mengizinkan orang untuk memasuki ruangannya setelah terdengar beberapa ketokan pintu.

Seorang laki-laki jangkung masuk sambil menganggukkan kepala. "Permisi, Pak."

"Oh, Dima." Pak Brontas meletakkan pulpennya ke atas meja. "Bapak sudah menunggumu sedari tadi."

"Maaf jika terlambat."

"Ah, tidak, tidak," bantak Pak Brontas. "Harusnya bapak yang minta maaf karena menganggumu yang sedang di perpustakaan. Ada yang ingin bapak bicarakan sebelum bapak pergi mengurus sesuatu."

Dima duduk pada salah satu kursi dari dua kursi yang ada di depan meja Pak Brontas. Bergaya duduk layaknya seseorang sedang wawancara kerja, dua kaki dirapatkan dengan dua tangan di atas perut. Formal sekali.

"Ada apa, Pak?"

Tangan Pak Brontas saling meremas. "Ini hari ketiga dia tidak masuk sekolah. Apa kau tahu di mana Edward? "

Pertanyaan tidak lazim. Bukankah seharusnya Pak Brontas sudah tahu di mana Edward? Kenapa harus bertanya kepadanya? Sejenak Dima bersedekap, berusaha memikirkan jawaban yang tepat.

"Kau tidak tahu atau Edward yang tidak memberitahumu?" tanya Pak Brontas sambil mengangkat alis. "Dia sudah tidak masuk selama tiga hari."

"Dia ada memberitahuku, Pak," jelas Dima serius. "Katanya ada urusan jadi dia tidak akan masuk sekolah beberapa hari ini."

"Dan tidak minta izin padaku?"

Mata Dima melebar. Seingatnya Edward bilang dia telah minta izin sehingga semuanya sudah beres. Apakah Edward berbohong?

"Dari ekspresimu, bapak jamin dia tidak mengatakan yang sesungguhnya padamu," simpul Pak Brontas, sekarang duduk menyandar kursi. "Anak itu berulah lagi."

Ini bukan pertama kalinya Edward berbohong padanya. Selalu ada alasan kenapa Edward berbuat demikian, biasanya tidak baik, dan Dima harus benar-benar mengorek dengan bertanya panjang lebar atau pun mengancam tidak akan membantu Edward jika ada tugas. Tambah sebuah kerjaan yang tidak perlu.

"Baiklah, Pak," desah Dima pasrah. "Biar aku saja yang mencari tahu ke mana Edward."

Pak Brontas tersenyum kecil. "Bapak jamin bisa mengandalkanmu. Selain kau ketua kelas, bapak tahu kau berteman baik dengan Edward."

"Tentu, Pak."

Satu pertanyaan lagi yang menganggu pikiran Dima. Perihal sifat Pak Brontas. Biasanya Pak Brontas terlihat tegas dan emosian sekali. Bahkan sekedar berbicara pada siswa pun dia akan membesarkan suara ditambah memukul meja. Walau jarang, sesekali bisa menggunakan kata kasar alias memaki-maki. Kejanggalan ini membuat Dima masih terduduk dengan wajah ingin tahu.

"Ada apa, Dima?" tanya Pak Brontas, merasa seharusnya percakapan sudah berakhir.

Perasaan Dima gundah, tapi mencoba memberanikan diri. "Boleh aku tanya sesuatu yang agak pribadi?"

"Hm?" Dahi Pak Brontas berkerut samar. "Silahkan saja."

"Aku merasa sifat bapak berubah, dari…" Dima tidak berani mengungkapkan kata "kasar" atau "emosi" "…sifat biasanya."

Bapak berambut pendek dengan wajah sanggar dalam pakaian jas abu-abu ketat itu menarik napas dalam-dalam. Tidak habis pikir akan ditanya mengenai perubahan dirinya. Meski harus diakui dia memang berubah.

"Bapak tahu sifat bapak tidak bagus," Pak Brontas mulai menjelaskan kala bersedekap. "Bapak sering emosian, terlampau tegas hingga memberikan hukuman yang tidak masuk diakal, membentak tidak karuan, dan lain-lain sebagainya. Sampai bapak menemukan kasus itu."

"Kasus apa, Pak?"

"Beberapa murid membicarakan bapak dari belakang. Mereka mengata-ngatai serta menjelekkan bapak dari belakang." Pak Brontas memijat-mijat dahi. "Saat menerima kabar tersebut, bapak sedang tidak bersemangat atau bahasa kerennya galau. Jadi alih-alih marah, bapak bertanya-tanya kenapa mereka begitu."

Dengan penuh perhatian Dima memperhatikan Pak Brontas menjelaskan. Tatapannya fokus dan merasa simpatik.

"Bapak pun intropeksi diri dan bertanya-tanya pada guru lain, saat itulah bapak menerima banyak masukan. Juga unek-unek yang mereka simpan karena takut memberitahukan pada bapak selama ini." Pak Brontas menghirup napas lagi. "Hahaha. Maaf, bapak jadi curhat."

"Aku rasa perubahan bapak bagus," ungkap Dima, merasa senang dengan diri Pak Brontas yang baru. "Kami murid-murid sadar bapak menjadi pribadi yang lebih baik."

Terbesit harapan dalam mata Pak Brontas. "Oh? Bagus sekali kalau begitu."

"Tapi saya harap bapak tidak kehilangan ketegasan bapak," saran Dima. "Atau murid-murid akan memanfaatkan bapak."

"Itu salah satu hal yang sedang bapak coba terapkan," Pak Brontas menunjuk Dima. "Tapi bapak tak akan ragu-ragu. Kalian lihat saja."

Baik Dima maupun Pak Brontas tertawa kecil. Saat itulah Dima merasa pertanyaannya telah terjawab.

"Baiklah, Pak. Aku permisi dulu."

"Kabari bapak besok."

Baru saja keluar dari ruangan Pak Brontas, sebuah bunyi singkat terdengar. Bunyi dering pertanda sebuah pesan masuk. Dima merogoh kantong celana dan mengeluarkan ponsel pintarnya. Sebuah gambar surat terpampang di layar ponsel dengan nama pengiriminnya "Edward". Menggunakan jari telunjuk, Dima menekan gambar surat itu sambil menggeleng kepala.

Temui aku di tempat biasa

***

Saat Dima membuka pintu kafe, lonceng-lonceng kecil pintu berdentang-dentang. Seorang gadis pelayan berpakaian abu polos menghampiri Dima. Dia memberi salam dengan kikuk.

"S-Selamat datang, Bang," tanya gadis pelayan itu agak terbata-bata. "Mau duduk di mana?"

Dima sadar pelayan ini orang baru. "Tempat biasa. Di sana."

Telunjuk Dima mengarah ke sebuah tempat duduk di ujung ruangan dekat jendela. Meja itu kecil, cocok untuk empat orang. Tapi sebuah papan kertas tergeletak di atas meja, bertuliskan "Reserve".

"Maaf, Bang. Tempat itu sudah dipesan orang."

Otomatis Dima mengelus dagu karena Edward biasanya sudah memesan tempat mereka. Apa pemilik kafe lupa? Seharusnya tidak. Mereka langganan kafe itu. Mendadak seorang bapak setengah paruh baya memanggil gadis pelayan itu dari balik konter.

"Oi, anak baru. Tempat yang ditunjuknya memang tempat yang dipesannya," seru bapak itu.

"Oh," Gadis pelayan menutup mulut dengan tangan. "Maaf, aku lupa tanya dipesan atas nama siapa."

"Tidak apa-apa," kata Dima sambil tersenyum, membuat gadis itu menunduk malu. "Aku pesan sebuah teh manis. Tolong diantar nanti."

"Ok."

Tanpa menunggu lebih lama, Dima mengambil tempat duduknya serta mengesampingkan papan kertas "Reserve" itu. Hari masih sore dan Dima tidak keberatan menunggu. Sehabis mengantar adiknya pulang, dia bergegas kemari setelah berganti baju. Dia tidak ingin kelihatan seperti anak sekolahan. Makanya memakai sebuah kaos hijau dengan celana jeans ketat. Namun tanpa disadarinya, masih banyak juga yang melirik.

"Aduh, aku lupa tanya Edward jam berapa datang," Dima teringat sekilas. "Coba kutanya dulu."

Pesan dikirimkan. Tak berapa lama Edward membalas mengatakan dia akan datang sebentar lagi. Sebentar berarti antar 15 menit sampai 30 menit, itu artinya dia punya sedikit waktu luang. Sebuah kesempatan. Dia mengeluarkan buku "Pengetahuan Organ Tubuh" dan mulai tenggelam di dalamnya. Halaman demi halaman dibalik seraya wajah Dima berseri-seri bagai seorang anak kecil mendapat mainan baru.

"Ini teh manisnya, Bang."

Gadis pelayan meletakkan sebuah gelas berisi cairan warna orange campur hijau tua ke atas meja Dima.

"Terima kasih." Tidak hanya teh manis, gadis itu juga meletakkan sebuah piring kecil berisi empat kroket. "Hm, aku tidak memesan kroket."

"Bos bilang punya abang."

Langsung saja Dima melirik kepada pria berbadan gendut di balik konter. Bapak itu sedang menata piring-piring.

"Pak Budi, aku tidak memesan kroket."

"Oh, itu dipesan oleh Edward," sahut Pak Budi. "Katanya berikan padamu."

Mungkin untuk menyogokku, batin Dima bergejolak setelah berpikir sejenak. Pasti ada sesuatu.

"Terima kasih untuk infonya," kata Dima lalu berbalik pada gadis pelayan. "Terima kasih."

"Sama-sama, Bang."

Suasana kafe sore tergolong sepi. Dima pikir tidak ada tamu, namun rupanya hampir seluruh meja penuh ketika diperhatikan. Lebih banyak yang datang adalah para kaum milenial kelahiran tahun 2000an dan mereka berkumpul hanya untuk bermain game online bersama-sama. Jarang berinteraksi, paling menyuruh teman mereka untuk maju, mundur, atau bersembunyi. Terkadang bisa terjadi ledakan tawa sesaat bila sesuatu konyol terjadi. Entah kenapa, Dima lebih menyukai interaksi langsung.

Berselang seseorang membuka pintu agak kasar. Dibuka cepat, tapi tidak sampai dibanting. Sosok itu memakai baju kaos abu-abu tua dibalik jaket kulit hitam ala para preman yang sering nongkrong di pinggir-pinggir jalan bersama motor gede mereka. Laki-laki itu tersenyum lebar sembari masuk diikuti dua remaja bergaya sama. Bedanya dengan pemimpin mereka, dua remaja itu memiliki tindik pada hidung serta bibir.

"A-Ada yang bisa kubantu?" tanya gadis pelayan agak takut. "M-Mau duduk di mana?"

Pemimpin preman itu berkata, "Owh, kau anak baru yah?"

"I-Iya," jawab gadis itu, sedikit melangkah mundur.

"Cantik juga, mau jadi pacarku?" tanya salah seorang remaja preman.

Remaja lain melanjutkan sok garang, "Jamin deh kau akan suka dengan kami. Benar kan, Bos?"

"Edward," panggil Dima dari jauh, merasa gadis pelayan itu semakin takut. "Di sini."

Sebelum pemimpin preman itu memutar kepala ke arahnya, salah seorang remaja preman menyahut kasar, "Berani sekali kau panggil nama bos tanpa rasa hormat."

"Oi, tahan lidahmu," tegur Edward tidak senang. "Jangan kau ganggu sahabatku itu atau kau lebih suka kepalamu pecah?"

Remaja preman itu tertegun bukan main. Wajah garangnya melemah diikuti nada suaranya.

"M-Maaf, Bos," pinta anak remaja itu. "Aku tidak tahu tahu dia teman, Bos."

"Tahu dulu musuhmu sebelum cari masalah, Bodoh."

Ruangan lebih hening daripada tadi. Semua tamu memperhatikan apa yang barusan terjadi. Sebagian besar hanya menatap heran dan bingung.

"Jangan hiraukan anak-anak buahku ini," pinta Edward kepada gadis pelayan. "Temanku tadi sudah memanggilku. Bawakan saja tiga teh manis, satu untukku, sisanya anak-anak buahku."

Gadis itu mengangguk bengong. Tidak menyangka bahwa pemimpin anak-anak remaja preman itu begitu baik atau setidaknya lebih bertata krama. Edward pun menghampiri Dima dengan senyum lebar. Sedang anak-anak buahnya duduk di sebelah meja mereka, juga sudah di "Reserve" sama seperti meja Dima.

"Hai, Buddy," sapa Edward sembari duduk berseberangan dengan Dima. "Bagaimana kabarmu?"

"Baik, tentu saja." Dima menyambut uluran jabat tangan Edward layaknya saudara. "Sejak kapan kau punya anak buah?"

"Banyak yang terjadi, Dima," Edward enggan menjelaskan. "Intinya baik-baik saja."

Dahi Dima berkerut. "Ke mana saja kau tiga hari absen? Urusan apa?"

"Urusan keluarga," sahut Edward sambil mengangkat sebelah bahu. "Ayahku tidak pulang lagi sehingga mama merepet. Entah sampai kapan mereka akan ribut-ribut terus."

"Seberapa parah?"

"Biasa."

Dima hanya mengangguk. Mencoba mencerna, meski diam-diam dia sudah menelepon keluarga Edward dan mengetahui apa yang terjadi.

"Apa yang kau lakukan selama tiga hari?" tanya Dima lagi. "Keluargamu boleh ribut, tapi bukan berarti kau tidak melakukan apapun, bukan?"

"Aku tinggal selama tiga hari di rumah abangku, menunggu suasana kembali reda," jawab Edward tidak curiga. "Dan malam penuh kebebasan."

Yang dimaksud Edward adalah keluyuran malam-malam. Nongkrong bersama teman-teman sesama preman menikmati masa muda, dugem, balap-balapan, dan perbuatan yang lebih banyak tidak pantas untuk disebutkan. Tentu saja Dima tahu kegiatan Edward. Bahkan beberapa kasus yang sering menimpanya.

"Baiklah, Edward," kata Dima akhirnya. Dia menunjuk kroket yang belum tersentuh. "Kau memesan kroket untuk menyogokku, kan?"

Edward memutar bola mata. Pura-pura tidak tahu.

"Berarti memang benar." Dima menghela napas. "Lalu kenapa kita perlu ketemu di tempat biasa?"

"Ini."

Sebuah amplop putih diserahkan Edward kepada Dima. Sementara Dima membuka amplop tersebut, Edward menegur kedua anak buahnya agar lebih tenang. Ribut sekali gara-gara main game. Terdapat surat di dalam amplop, diketik rapi dan sistematis. Mata Dima bergerak cepat membaca surat tersebut.

"Dari mana kau bisa minta surat dokter?"

"Koneksi, Dima. Koneksi," jawab Edward sambil menerima teh manis dari gadis pelayan. "Aku kan bisa apa saja."

Dima mengangguk pelan. "Kalau surat sakit dari dokter untuk izin 5 hari ini kuberikan pada Pak Brontas, alasan apa yang harus kukatakan tentang dua hari izin selanjutnya jika dia bertanya?"

"Katakan saja ada urusan keluarga."

Surat itu dimasukkan kembali ke dalam amplop dan amplop itu diletakkan di atas meja. Dima bersedekap sambil bersandar pada bangku duduk. Dahinya berkerut tebal.

"Kau bilang padaku kalau kau ada urusan, sekarang menyuruhku kasih surat izin ke Pak Brontas. Apakah sebenarnya kau ada minta izin pada Pak Brontas?"

Sesaat Edward terdiam. Terlihat bingungan mencari alasan.

"Tentu saja. Surat sakit itu agar Pak Brontas tahu aku sakit," Edward beralasan. "Berikan saja padanya. Dia pasti mengerti."

"Kalau semuanya lancar-lancar saja," Dima berkata pelan, "kenapa hari ini Pak Brontas menyuruhku ke kantornya dan bertanya tentang dirimu?"

Satu kalimat terakhir membuat Edward bungkam. Kedua anak buahnya juga mendengar pembicaraan mereka, baru pertama sekali melihat bos terdiam menghadapi seseorang.

"Kau berbohong padaku Edward," lanjut Dima serius. "Aku sudah menelepon keluargamu dan semuanya baik-baik saja, kecuali kau minggap tinggal di rumah abangmu. Alasanmu ada urusan mendadak. Jadi, adakah alasan sesungguhnya yang harus kuketahui?"

Tidak disangka Edward kalau dia akan dijebak sedemikian rupa. Dia telah salah taktik yang mengakibatkan banyak kejanggalan sehingga terkesan mencurigakan. Sahabatnya tentu saja tidak akan tinggal diam. Bila Edward ingin Dima melakukan hal yang diinginkannya, dia harus menjelaskan segala situasi penat itu.

"Aku kalah, Dima," aku Edward kecewa. "Aku memang berbohong padamu karena ada urusan sangat penting yang harus kuatasi."

"Jelaskan."

"Jangan marah padaku kalau kuceritakan," Edward memperingatkan. "Akhir-akhir ini terbentuk sebuah geng baru yang dipimpin seorang murid SMA. Kami tidak masalah sebab ada banyak geng baru terbentuk setiap bulan, namun geng ini berkembang cukup pesat dan mulai meresahkan. Mereka menganggu wilayah geng lain serta membuat keonaran."

Dima menggerakkan sebelah tangan. "Dan kau menghajar mereka?"

"Tentu saja tidak," banyah Edward langsung. "Kita harus tahu musuh kita dulu daripada bertindak gegabah. Aku dikirim ketua geng untuk mencari informasi tentang geng baru itu. Selama lima hari ini aku mencoba menyusup dan berbaur dengan anggota-anggota mereka."

"Edward, Edward," gumam Dima sambil memijat-mijat dahi. Tahu tidak ada gunanya menasehati Edward. "Apa kau tidak takut kena masalah? Bisa-bisa kau dihajar dan mati karenanya."

"Inilah jalan hidupku, Dima," Edward membela diri sambil merentangkan tangan. "Apalagi yang bisa kulakukan? Aku suka kehidupan begini."

Dima hanya bisa geleng-geleng kepala. Mau berapa kali pun dikatakan, Edward tidak akan dengar. Daripada membuang tenaga, lebih baik ikuti alurnya saja.

"Tapi ada satu gadis yang ditaksir oleh ketua gengnya," lanjut Edward pelan. Badannya dicondongkan agar Dima saja yang bisa dengar. "Sekarang aku sedang melacaknya."

"Haruskah?" tanya Dima ragu.

"Ya, misi ini sangat penting bagiku." Mata Edward menatap serius. "Aku mohon, bantulah aku mengatasi Pak Brontas."

Sebagai seorang sahabat, Dima ingin sekali membuat Edward kembali ke jalan benar. Tetapi jalan benar bagi Edward adalah gengnya serta perbuatan tidak terpuji lainnya. Sekali lagi tergiang dalam pikiran Dima kalau tidak ada gunanya memperingati Edward. Dan dia harus menerimanya apa adanya. Memang awal pertemanan pun terjadi secara otomatis tanpa memandang alasan apapun.

"Baiklah, Edward," Dima pasrah. "Pastikan kau tidak terlibat masalah apapun."

Secara refleks tangan Edward memukul meja. "Itu yang kusuka darimu, Dima. Kau memang bisa diandalkan."

Sangking keras pukulannya, hampir semua tamu melihat ke arah meja mereka. Bukan Edward namanya kalau tidak membuat sensasi. Tetapi mau tidak mau Dima harus merasa penasaran dengan gadis yang disukai ketua geng musuh Edward itu. Bagaimana sosok gadis itu sehingga bisa meluluhkan hati seorang ketua geng? Tentu juga bisa meluluhkan hati Edward. Mungkin hanya melihat sosoknya sekilas. Tidak, tidak. Dima tahu dia tidak boleh terjerumus dalam urusan ini.