webnovel

Chalissa

Devy_shandra98 · Teen
Not enough ratings
13 Chs

Rencana Dimulai

Ketiga orang itu pun pergi sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat. Chalissa menggunakan wodhie putih dengan paduan celana jins dan sepatu snikers warna putih. Sementara Oris menggunakan kaos putih dengan jaket hitam dan celana jins, sementara Arya lebih santai ia menggunakan kaos lengan panjang dengan celana seperempat.

"Ayo jalan". Ucap Chalissa setelah sampai di pasar malam.

Sesampai disana Chalissa melayangkan protes kedua orang yang berada di sampingnya. "Kenapa rame banget?". Protes Chalissa.

"Namanya juga pasar malam ya ramelah". Jawab Arya santuy.

"Maksud gua, kenapa lo nggak batasin jumlah pengunjung, kalau rame gini belum nyampe rumah hantu gua udah keringat dingin hadapi orang orang yang lalu lalang". Jelas Chalissa.

"Nah itu, gimana lo mau sembuh dari segudang trauma lo, kalau dari hal yang sederhana aja nggak bisa lo hadapi, gimana sih". Debat Arya.

"Ee… curut, ngelawan trauma itu ngga segampang lo balik in telapak tangan, sim selabim selesai, bego". Ucap Chalissa menyoyor kepala Arya.

"Makanya lo coba, lo kan pinter, gimana sih". Arya balik menjitak kepala Chalissa.

Sementara Oris, hanya menonton perdebatan dua bersaudara beda orang tua itu tanpa sedikit pun mau melerainya. Ia ingin tahu sejauh mana mereka akan memperdebatkan sesuatu yang nggak guna sama sekali. Padahal jika dilihat ketika Chalissa berdebat dengan Arya secara tidak sengaja dia telah melawan traumanya itu.

Oris lantas berbisik pada Arya untuk melanjutkan debat mereka sambil terus berjalan ke arah keramaian. Walaupun Arya tidak mengerti apa maksud Oris ia tetap mengikutinya.

Perdebatan mereka terus berlanjut sampai dekat dengan pintu masuk. Saat menyadari posisinya Chalissa mulai cemas, keringat dingin membanjari wajahnya. Langkahnya mulai mundur. Namun tangannya ditarik Oris sampai menubruk dada bidang Oris. "Jangan takut, ada gua". Ucapnya ditelinga Chalissa.

Chalissa menggelengkan kepala mundur. Namun Oris menarik pinggang Chalissa hingga lagi-lagi Chalissa menubruk dada bidang Oris.

Oris menggenggam tangan Chalissa mengajaknya masuk ke dalam arena. Sementara Arya mengikutinya dari belakang.

Baru saja mereka sampai pintu masuk mereka sudah di kagetkan oleh sosok perempuan berambut panjang. Akibat keterkejutannya Chalissa memberi bogeman telak pada wajah hantu tersebut hingga membuatnya terjungkal kebelakang. Dua orang yang berada di samping, berusaha menahan tawa mereka agar tidak pecah.

Hantu itu kemudian bangkit, ia tidak terima dihajar begitu saja oleh seorang pengunjung, bertahun tahun ia bekerja sebagai hantu baru pertama kali ia diperlakukan seperti ini.

"Apa?". Ucap Chalissa lantang menahan serangan hantu itu. "Mau ngehajar gua?". Menghempaskan tangan hantu itu.

"Iya, gua nggak terima dipukul oleh pengunjung, gua udah lama kerja disini baru pertama kali gua digiiin sama pengunjung". Ucap hantu itu emosi.

Mendengar ribut-ribut hantu lain mulai bermunculan, mereka mulai kepo hingga pengunjung yang datang juga berhenti di depan pintu masuk berjejalan. Penjaga loket yang melihat para pengunjung yang masih mengantri di depan pintu masuk ikut penasaran.

"Ada apa ini?". Ucap penjaga loket.

"Ini pak, ada pengunjung yang tonjok muka saya". Ucap hantu yang terkena pukulan Chalissa.

"Apakah itu benar?". Tanya penjaga loket yang tak lain adalah pemilik wahana hantu tersebut.

"Iya pak, habisnya dia ngagetin gua, ya reflek gua tonjok mukanya". Jawab Chalissa santai. Membuat orang-orang yang ada disana sontan tertawa.

"Apakah kamu baru pertamakali masuk ke sini?". Tanya penjaga loket lagi.

"Iya, pak". Jawab Chalissa polos.

"Pantas saja kamu seperti itu ke pegawai saya. Saya rasa ini adalah kesalah pahaman". Ucap penjaga loket, ia sudah menduga bahwa orang yang ada di hadapannya ini baru pertama kali mencoba wahana rumah hantu. "Begini, karena saya tidak ingin mengambil resiko terlalu tinggi, lebih baik kamu dan temanmu keluar dari sini, karena saya tidak ingin semua pegawai saya membuat kamu terkejut dan membuat kamu reflek memukul mereka. Biaya rumah sakit itu mahal dan saya rasa kamu mengerti apa maksud saya". Jelas penjaga loket.

Tanpa menunggu dijelaskan lebih rinci lagi, mereka sudah mengerti kalau mereka diusir dari wahana tersebut. Menghela napas berat ketiganya pergi meninggalkan arena tersebut termasuk arena pasar malam.

"Baru aja kita masuk, udah di usir". Keluh Arya saat sampai di tempat parkir.

Chalissa hanya menunduk mendengar keluhan Arya, ia sadar kalau ini salahnya. "Maaf".

Keduanya menoleh mendengar kata maaf yang diucapkan Chalissa, jarang sekali gadis bermulut dingin ini mengucapkan kata maaf.

"Sudah-sudah, ayo ikut saya". Ucap Oris menghibur.

Tiba-tiba ponsel Arya berdering menandakan panggilan masuk. "Dari mama". Ucap Arya melihat tatapan dua orang yang sadari tadi bersamanya.

Chalissa memberi syarat untuk segera mengangkatnya.

"Iya, ma".

"…".

"Tapi Arya lagi sama Chalissa, ma".

"…".

"Iya, ma".

"Kenapa?". Tanya Chalissa setelah sambungan terputus.

"Mama suruh saya balik, Salsa di rumah". Ucap Arya dengan wajah bersalah.

"Udah lo samperin aja dia, mungkin dia mau minta maaf". Ucap Chalissa. Ia sudah tahu permasalahan Arya dan Salsa semenjak dia pingsan beberapa hari yang lalu.

Arya mengangguk kemudian berjalan pergi.

"Kita mau kemana sekarang?". Tanya Chalissa setelah kepergian Arya.

"Kita jadi pergi?". Ucap Oris ragu.

"Jadi dong". Ucap Chalissa percaya diri. Padahal dia tidak tahu kemana Oris akan membawanya pergi.

"Let's go". Ucap Oris memasuki mobilnya.

"Lo besok ada kuliah nggak?". Ucap Oris memarkirkan motornya di rumah entah siapa, Chalissa baru pertama kali ia pergi ke daerah ini.

"Nggak ada, kenapa?".

"Mau ajak lo kemah, siapa tahu ini bisa bantu lo lawan rasa takut lo".

"Berdua". Tanya Chalissa ragu.

"Kalau lo takut sama gua, gua bisa ajak teman cewek gua, rumahnya nggak jauh dari sini". Jelas Oris mengerti arah pembicaraan Chalissa.

"Bukan itu maksud gua". Ucapnya merasa tidak enak.

"Gua paham kok". Oris kemudian tersenyum, ternyata segalak galaknya Chalissa ia tetap takut juga dengan cowok. Tapi kemana Chalissa yang waktu itu. Chalissa yang berani menciumnya terlebih dahulu, malah tidur bersama.

Setelah mengambil Carrielnya, Oris menyodorkan sebuah senter. Kemudian mereka berjalan bersama menuju sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi.

Semakin memasuki kedalaman bukit, Chalissa tanpa sadar mencengkram kuat lengan Oris. Oris hanya diam, ia tidak ingin membuat Chalissa merasa tidak nyaman saat bersamanya.

"Ris, lo kok diam aja. Ajak gua ngomong atau apa gitu". Ucap Chalissa memecah kesunyian.

"Gua nggak punya topik". Ucap Oris singkat.

Begini nih jadinya ketika dua orang yang terlewat cuek dan irit bicara digabung menjadi satu awkward kan jadinya.

Mereka kembali diam, membiarkan suara binatang malam menjadi teman perjalanan mereka.

"Senterin, gua yang bangun tenda". Ucap Oris sesampainya disana. Segera ia mengeluarkan perlengkapan yang ia bawa.

Setelah tenda terpasang, Oris menggelar matras satu meter dari tenda. "Lis, ambilin dua botol minum dalam tas". Pinta Oris melihat Chalissa hanya berdiri melihat gerak geriknya kesana kemari.

"Sini duduk!". Ucapnya setelah menerima satu botol teh tawar.

Chalissa nurut.

"Coba kamu lihat sekeliling!". Ucap Oris setelah Chalissa duduk dengan nyaman.

Chalissa menoleh ke sekitarnya yang ia dapatkan hanya pohon-pohon beserta bayangannya. "Gelap". Ucap Chalissa, wajahnya terlihat mulai pucat sejak tadi ia tidak menyadari dirinya yang berada di tempat gelap.

"Sekarang coba lihat ke bawah". Perintah Oris.

Chalissa menoleh ke bawah yang ia dapatkan adalah kerlap kerlip lampu rumah bak sebuah bintang diangkasa, terlihat sangat cantik. "Amazing". Batin Chalissa. Matanya berbinar takjub. Sungguh selama ia hidup baru pertama kali ia elihat pandangan seperti ini. Poor Chalissa, lo kemana aja dari kemarin.

Melihat wajah berbinar Chalissa, Oris tersenyum tipis, sangat tipis seperti tidak tersenyum. "Coba sekarang kamu lihat ke atas". Perintahnya lagi.

"Cantik". Cuma itu yang keluar dari mulut mungil Chalissa. Sungguh betapa indahnya langit malam yang bertabur bintang.

"Lis". Panggil Oris yang dijawab gumanan oleh Chalissa. Ia masih terpesona dengan apa yang ia lihat sampai enggan untuk menoleh sedikit pun dari sana.

"Lis, bisa lihat saya sebentar". Suara Oris terdengar seperti sebuah permintaan.

Chalissa menoleh di dapatnya wajah serius Oris. Bisa ditebak Oris bakalan mengatakan sesuatu yang serius yang mungkin tidak ingin dibantah oleh siapa pun.

"Lis, kenapa bintang itu hanya kita lihat waktu malam?". Tanya Oris setelah mendapat perhatian dari Chalissa.

Chalissa hanya diam dengan ekspresi mengapa.

"Karena dia tidak akan cantik jika berada di pagi atau siang hari".

"Ya elah, itu mah gua tahu Oris". Jawab Chalissa memutar bola matanya jengah. Ia sudah berusaha serius malah diajak bercanda.

"Coba kamu lihat lagi lampu lampu rumah itu, bukankah cantik?". Ucap Oris menarik perhatian Chalissa lagi.

Chalissa hanya berguman sebagai jawaban.

"Lis, tanpa adanya gelap, terang tidak akan ada. Mereka saling melengkapi satu sama lain, mereka diciptakan untuk saling melengkapi. Jadinya gelap yang lo takutin, tidak selamanya semenyeramkan yang ada dalam banyangan lo. Emang gua nggak tahu sepenuhnya tentang trauma lo, tapi percaya deh, kalau lo terus support diri lo, lo percaya pada diri lo, lo percaya semua bakalan baik-baik saja, yang ada di bayangan lo nggak akan pernah terjadi lagi. Lo pahamkan maksud gua apa?".

Chalissa sangat paham apa yang dimaksud Oris, tapi menghilangakn sebuah trauma tidak segampang membalikan telapak tangan.

"Gua tahu, itu nggak segampang ucapan gua apalagi segampang membalikan telapak tangan. Tapi yang lo harus bisa, be positif, lo harus berpikir positif, bintang nggak akan pernah cantik tanpa ada malam yang gelap dan ketakutan lo akan gelap nggak akan pernah lenyap kalau lo sendiri nggak pernah berpikir positif, nggak pernah nyakinin diri lo kalau semua baik baik saja". Ucap Oris panjang lebar. Ini kedua kalinya Chalissa membuat Oris mengatakan kalimat yang begitu panjang. Selamat Chalissa.

"Lo mau kemana?". Tanya Chalissa melihat Oris yang beranjak dari tempat duduknya.

"Cari kayu bakar". Ucapnya singkat.

"Lo mau ninggalin gua sendiri?". Tanya Chalissa ragu.

"Gua nggak ninggalin lo, gua cuma mau nyari kayu kering".

Melihat tidak ada tanggapan dari Chalissa, Oris menghembuskan napasnya berat."Coba lo rebahan. Liat ke atas. Berpikir positif". Ucap Oris lalu meninggalkan Chalissa yang masih tetap diam pada posisinya.

Sebaliknya dari mencari kayu kering Oris mendapatkan tubuh Chalissa yang meringkuk bergetar di tempat semula saat ia meninggalkannya. "Lissa". Ucap Oris menepuk pelan pundak Chalissa.

Chalissa langsung memeluk tubuh Oris, untung oris dapat menahan tubuh Chalissa yang menubruknya spontan. "Hey, tenang". Ucap Oris mengelus punggung Chalissa soraya memperbaiki tempat duduknya.

"Maaf". Ucap Oris melihat Chalissa yang tidak mau berhenti menangis. Ia kembali merasa bersalah, ia kira dengan meninggalkan Chalissa mencari kayu dapat membuatnya melawan rasa takut.

"I'm here, don't afraid".

Sudah satu jam Chalissa berada di pelukan Oris, sampai napasnya mulai teratur dan tertidur lelap.

Menahan tangannya yang terasa kebas, Oris membaringkan Chalissa ke dalam tenda, kemudian menyalakan senter sebagai penerang.

Oris berjaga di luar sambil menyalakan kayu bakar yang telah dicarinya tadi. Tiba-tiba notifikasi handphonenya berbunyi menandakan pesan masuk.

Hana kabur ke Indonesia cari lo

Sebuah pesan singkat namun mampu membuat bulu kuduk yang membacanya berdiri. Wajah Oris pucat pias. Pandangannya yang semula ke arah lampu kerlap kerlip kini beralih ke arah tenda. Ia menghawatirkan orang yang tengah terlelap di dalam tenda.

Sepanjang malam Oris terus berpikir, ia harus menemukan kakaknya terlebih dahulu, sebelum ia yang ditemukan oleh kakaknya. Tapi bagaimana bisa kakaknya lepas dari pengawasan Liziqi.

"Melamunkan apa?". Tanya Chalissa.

"Eh,,, kau sudah bangun". Ucap Oris seraya terkejut dengan kehadiran Chalissa." Mau roti?". Tawar Oris. Setelah mendapat anggukan dari Chalissa Oris melepar roti tersebut ke arah Chalissa.

"Mau kemana?". Ucap Chalissa melihat Oris beranjak dari tempat duduknya, ia baru saja menghabiskan setengah roti coklatnya.

"Packing. Kita pulang".

"Pulang". Ulang Chalissa yang didapati angggukan oleh Oris.

Tanpa repot berpikir panjang Chalissa membantu Oris melipat tenda dan menyiram bekas api unggun semalam.

Dipakainya masker dan topi hitam dari dalam tasnya kemudian berjalan menuruni bukit.

Terlalu malas untuk bertanya maksud dari tindakan orang yang ada di sebelahnya itu, Chalissa memilih menghirup dalam-dalam udara segar di sekitarnya.

Sesampainya di parkiran serta tak lupa untuk berpamitan dengan pemilik rumah, Oris masih setia menggunakan masker dan topinya hingga ia berada di lingkungan kampus.

Oris mengambil smartphonenya dan menekan beberapa ikon, mengetik beberapa kalimat.

Lo udah nemuin keberadaan Hana

Udah, ada di sekitar lo. Mungkin kalau lo jodoh

beberapa menit lagi kalian akan ketemu.

Becanda lo nggak lucu

Apa kalimat gua terlihat bercanda?

Mendapati jawaban seperti itu Oris menjadi kesal. Entah kesal pada dirinya atau pesan yang baru saja dibacanya. Ia bisa membayangkan degan jelas bagaimana ekspresi orang yang ada di seberang sana.

Lebih baik lo ketemu Hana,

dari pada dia mulai berbuat onar (

Notifikasi yang dikirimkan oleh seorang yang berada diseberang sana mampu membuat seorang Oris diliputi perasaan campur aduk.