webnovel

Chalissa

Devy_shandra98 · Teen
Not enough ratings
13 Chs

Dia Turun Tangan

Oris menelphone kembali orang yang beberapa menit lalu ia telephone. Hanya dia yang bisa menenangkan pikiran Oris. Megingatnya Oris merindukan sosok orang yang selalu ada dikala ia membutuhkan apa pun.

"Hallo". Sapa orang yang berada di seberang sana. Semakin membuat Oris Rindu.

Tidak ada balasan dari orang yang menelphone, orang itu kembali berucap. "Jangan bilang kalau lo kangen sama gua". Ucap orang yang berada di seberang sana sambil tertawa renyah.

Suara tawa itu, tawa yang dirindukan Oris. Tawa itu selalu membuat Oris tenang dan nyaman. Ingin rasanya Oris berlari ke arah pemilik suara itu.

"Gua lagi males bercanda. Lo tahu maksud gua kan?". Tanya Oris dengan suara ketus.

Orang itu hanya tertawa renyah mendengar jawaban ketus dari lawan bicaranya.

"Baiklah". Ucapnya setelah tawanya mereda."Lo mau cara cepat atau cara biasa". Tawar orang itu.

"Konsekuensinya?".

"Kalau cara cepat lo cepat ketemu sama gua kalau cara biasa kemungkinan lo nggak akan ketemu gua, kecuali kalau lo ulur-ulur waktu". Jelasnya.

Oris mulai berpikir, keduanya merupakan pilihan yang sulit. Cara cepat kemungkinan trauma Chalissa akan cepat sembuh. Namun, berdasarkan watak Chalissa akan terjadi beberapa masalah, hal itu juga tidak akan luput dari Hana. Dan tentunya akan berpengaruh terhadap identitas orang itu. Cara biasa ia hanya akan berhadapan dengan Chalissa dan Hana, tapi ia tidak bisa menjamin kesembuhan Chalissa. Jika semakin larut akan membahayakan Chalissa bahkan orang yang ada di sekitarnya.

"Pilihan yang sulit". Keluh Oris.

"Lo terlalu banyak mikir". Sarkas orang itu.

"Lo nempatin gua di posisi sulit".

"Seharusnya lo senang, banyak cewek yang ngelilingin lo".

"Senang apanya kalau yang deketin gua cewek modelan kayak kalian".

"Lo nggak suka di dekat gua?". Marah orang itu.

"Bukan itu maksud gua". Pusing Oris.

"Terus apa?". Balasnya lagi.

"Please, jangan buat gua pusing". Ucap Oris kalut.

Terdengar suara tawa dari orang yang ada di seberang sana. Suara tawa yang ringan. "Gua nggak mau bertele –tele tentuin pilihan lo sekarang, gua lagi banyak kerjaan. Telephone gua kalau lo udah punya pilihan, batasnya jam 12, malam ini". Sambungan terputus secara sepihak.

Hidup memang dipenuhi dengan pilihan – pilihan yang mesti kita pilih. Selesai dengan pilihan yang itu kita akan kembali di pertemukan dengan pilihan yang lain. Terkadang pilihan yang kita pilih menepatkan kita pada posisi yang sulit. Akan tetapi kita dipaksa terus memilih. Memilih dan memilih itu adalah hidup. Tidak ada orang dapat terlepas dari namanya pilihan. Contoh kecilnya ketika kita bangun untuk menyambut hari berikutnya. Kita akan dihadapkan oleh beberapa pilihan, memilih tidur kembali, bangun terus mandi, atau bangun terus nonton televisi.

Sekarang Oris sedang terjebak dengan pilihan yang harus dia ambil. Akibat dari pilihan yang sebelumya. Akankah dia dapat memilih yang terbaik.

"Hai, Oni-chan". Ucap suara yang tidak terasa asing di telinga Oris.

Oris membalikan tubuhnya menghadap ke sumber suara. Betapa terkejutnya ia melihat siapa orang yang ada di hadapannya sekarang ini.

"Hana".

"Oni-chan". Ulang gadis yang dipanggil Hana.

"Kapan kesini?". Ucap Oris menetralkan ekspresi terkejutnya.

"Dari kemarin, tapi baru sekarang bertemu dengan Oni-chan". Jawab Hana sambil tersenyum manis. Namun menakutkan bagi Oris.

"Ayo kita ke Kantin, Oni-chan yang traktir". Ucap Oris mengalihkan perhatian Hana.

Hana menggenggam tangan Oris. Oris tidak keberatan dengan itu. Mereka berjalan beriringan menuju kantin. Banyak pasang mata memperhatikan mereka, lebih tepatnya memperhatikan Hana.

Hana merupakan seorang gadis keturunan Jepang dan Ukraina. Ia bertemu dengan Oris waktu Oris sedang turun dari pendakian. Pada waktu itu Hana dipenuhi dengan darah di sekujur tubuhnya sedang tangannya memegang pisau.

Oris mendekati Hana dengan hati –hati, walaupun ada rasa takut, entah mengapa kaki Oris menentunnya menuju Hana. Dibalik rasa takutnya, ia penasaran apa yang terjadi dibalik lumuran darah itu.

"Papa". Ucap Hana seperti anak kecil.

Oris berpikir Hana merindukan ayahnya. Melupakan apa yang ada di kepala sebelumnya. Oris mengusap lembut kepala Hana. "Rindu papa?". Tanya Oris pelan.

Hana mengangguk, lalu melempar pisau ke sembarang arah dan memeluk Oris. Untung Oris dapat menahan berat badan Hana hingga mereka tidak terjatuh.

"Papanya dimana?". Ucap Oris melepas pelukan Hana.

"Papa". Hanya itu yang di ucapkan Hana. Hana menuntun Oris ke sebuah rumah di bawah bukit. Hanya ada satu rumah disana.

Rumah itu tidak terlalu besar, tapi memiliki halaman yang cukup luas dengan berbagai macam tanaman bunga dan buah yang tertata rapi.

Hana mengajak Oris masuk ke dalam rumah. Langkahnya terhenti ketika mereka memasuki ruang tamu. Tangannya menunjuk sebuah ruangan yang sedikit terbuka. Tangan kanan HAna mencengkram kuat tangan kiri Oris membuat Oris merasakan ketakutan yang dihadapi Hana.

"Semua akan baik-baik saja". Ucap Oris menenangkan Hana.

Hana menggeleng kuat, sambil meneteskan air mata.

Rasa penasaran Oris bangkit, ia memeluk tubuh Hana. "Lo anak baik, semua akan baik – baik saja". Ucap Oris mengelus kepala Hana.

"Papa". Ucap Hana.

Papa. Apa Hana baru saja memanggilnya papa.

"Papa". Ulangnya lagi. Lalu menunjuk ruangan itu lagi.

Oris berjalan kea rah ruangan itu. Sementara itu, Hana berada di belakang tubuh Oris. Tubuhnya kembali gemetar ketakutan. Merasakan dingin di telapak tagannya, Oris menggenggam tangan Hana memberikan kekuatan pada gadis rapuh itu.

Betapa terkejutnya Oris melihat apa yang ada disana, tiga orang tergeletak begitu saja di lantai dengan tubuh bersimbah darah. Dua orang pria dewasa dan satu wanita.

Oris berbalik menghadap Hana, di dapatnya Hana sedang meringkuk dibalik pintu. "Tenaglah, gua disini, gua nggak akan meninggalkan lo. Ayo kita pulang". Ucap Oris menenangkan Hana.

Mereka pun pergi meninggalkan tempat itu.

Sesampai rumah."Aku pulang". Ucap Oris menggunakan bahasa Jepang.

"Wah ada tamu". Ucap Liziqi pada Hana. Ia tidak merasa aneh apalagi takut melihat tubuh Hana yang berlumuran darah.

"Lo mungut anak kucing dari mana?". Tanyanya pada Oris.

"Bukit".

"Namanya siapa cantik?". Tanya Liziqi pada Hana dengan ramah. Namun tidak ada jawaban dari orang yang ditanya.

"Ayo kita bersihkan tubuhmu terlebih dahulu". Ucapnya ramah.

Liziqi kemudian menuntun Hana menuju kamar mandi dan menyiapkan pakaian bersih untuknya.

"Ayo sini duduk, gua keringin rambut lo". Ucap Liziqi melambaikan tangan.

Hana hanya menurut.

"Anak pintar".

Liziqi mulai mengeringkan rambut Hana, setelah itu memberinya makan.