webnovel

Catatan Cerita

Sheren Queena memiliki mimpi yang manis. Gadis cantik itu menyukai musik, dan mimpinya adalah orang-orang bisa mendengarkan musiknya. Sesederhana itu. Namun rupanya, jalan yang dia tempuh teramat sangat terjal.

ranyraissapalupi · Teen
Not enough ratings
297 Chs

Catatan 23: Teman-Teman Baru Yang Mengesalkan

Ini adalah hari pertama dia kembali berlatih di akademi musik setelah beberapa hari sebelumnya dia berlatih di rumah. Dan suasana akademi hari ini tampak sangat ramai. Suasana ini tentu saja menimbulkan rasa penasaran bagi Sheren karena suasana seperti ini sangat tidak lazim. Sheren kemudian mendekati beberapa remaja yang tengah bergerombol di depan loker penitipan barang.

"Permisi?"

Para remaja itu menoleh menatap Sheren. "Ya? Ada apa?" tanya salah satu dari mereka.

"Kenapa suasana hari ini terasa berbeda ya? Tadi sewaktu aku baru saja tiba, ada lebih banyak mobil berjejer di tempat parkir. Dan suasana hiruk pikuk di sini yang lebih ramai dari biasanya."

Salah satu remaja menjawab, "Itu karena hari ini ada beberapa aktor dan aktris yang akan berlatih musik untuk keperluan syuting serial televisi yang akan mereka bintangi di sini."

"Oh ya? Wah, aku baru tahu. Kira-kira, ruangan mana saja yang akan mereka pakai?"

Para remaja itu menggeleng, pertanda mereka tidak tahu ruangan mana yang akan dipakai untuk berlatih para aktor dan aktris itu. Sheren tersenyum seraya berkata, "Terima kasih informasinya ya! Aku permisi." Setelah mendapat persetujuan dari para remaja itu, Sheren berjalan meninggalkan kerumunan itu. Gadis itu melangkah ringan menuju studio yang biasa dia pakai.

Ketika Sheren tiba di depan studionya, dia bisa mendengar suara-suara tawa dan obrolan dari dalam sana. Hal ini tentu saja membuatnya terganggu. Lalu, Sheren membuka pintu itu dan terkejut saat melihat Shawn, Adisty, Adinda dan beberapa remaja yang tidak Sheren kenal tengah berada di sana. Studio yang biasanya sepi dan menenangkan, kini penuh oleh orang dan tentu saja ramai. Hal ini membuat Sheren menggerutu dalam hati, namun ekspresi wajahnya tetap tenang dan tidak menunjukkan riak ketidaksetujuan.

"Hai She!"

Sheren tersenyum sebagai tanggapan dari sapaan Adisty. Lalu, dia memasuki studio sambil menutup pintu. Sheren dengan tenang meletakkan tas ranselnya di atas meja di sudut ruangan samping sofa. Dia tahu beberapa pasang mata mengamatinya. Namun, dia tidak mengacuhkan tatapan-tatapan itu. Dia lalu mengeluarkan buku notasi musik dari dalam tasnya.

"She?"

Sheren menoleh ke arah Adisty. "Apa?"

"Tidak ada pertanyaan?"

"Pertanyaan soal?"

Adisty melirik keberadaan Shawn dan para remaja itu. Memberikan Sheren kode melalui gerakan matanya. Hal itu membuat Sheren tersenyum. Gadis cantik itu lalu berkata, "Awalnya ya. Tapi sekarang tidak. Aku sudah mendapatkan jawaban dari beberapa orang yang kutemui tadi." Lalu, Sheren berjalan menuju grand piano yang biasa dia gunakan untuk berlatih.

"Kamu bukan amatir. Berapa lama kamu berlatih piano?" tanya gadis dengan rambut merah panjang. Dia mengamati Sheren dengan tertarik.

Sheren tersenyum sambil meletakkan buku partiturnya ke penyangga partitur. "Aku berlatih piano sejak usiaku tiga tahun jika aku tidak salah ingat. Dan Kak Adisty bukan guru pertamaku." Lalu, Sheren menekan-nekan tuts-tuts hitam putih itu secara acak. Dia sedang melakukan pemanasan.

"Oh ya? Siapa guru pertamamu?" Gadis berambut merah itu terlihat tertarik.

Sheren tersenyum sinis. "Kenapa kamu ingin tahu? Memangnya kamu siapa?"

Adisty refleks melotot menatap Sheren, namun Sheren tidak peduli. Sementara Shawn dan Adinda serta remaja lain yang ada di ruangan itu menatap si rambut merah dengan tatapan menegur.

"Aku hanya ingin mengenalnya, itu saja. Apa aku salah?" kata si rambut merah.

"Sangat salah karena kamu adalah orang asing. Kamu bukan temanku dan pertanyaanmu terlalu jauh," jawab Sheren. Pemanasan telah selesai. Pelan tapi pasti, jemari-jemari Sheren menekan tuts-tuts itu sesuai dengan partitur yang ada di penyangga partitur. Nada-nada yang dihasilkan itu sontak saja mengalihkan konsentrasi orang-orang di ruangan itu, termasuk si rambut merah. Mereka terpana dengan nada-nada indah itu. Para remaja itu sebenarnya sudah terbiasa mendengar musik karena pekerjaan mereka sebagai aktor dan aktris yang memang sering kali bersinggungan dengan musik. Lagi pula, siapa yang tidak pernah mendengar musik sepanjang hidupnya? Namun, musik yang mereka dengar kali ini berbeda. Musik ini dimainkan dengan hati.

Jemari Sheren sudah selesai menekan tuts-tuts itu. Kemudian, dia menatap Adisty yang sedari tadi mendengarkannya dengan penuh konsentrasi. "Bagaimana?"

"Bagus, jauh lebih bagus dari kemarin. Nada, tempo, dan pesan dari musik yang kamu mainkan tersampaikan. Namun, bagaimana jika berimprovisasi di bagian awal?"

"Tidak, terlalu berisiko. Jika terlalu banyak berimprovisasi pasti mendatangkan kritik," tolak Sheren. Adisty mengangguk setuju. Pendapat Sheren memang masuk akal. Mereka telah melakukan improvisasi pada bagian reff dan bagian akhir. Dan sepertinya, itu lebih dari cukup.

"Kamu ada rencana apa setelah kompetisi?" tanya Adinda. Gadis itu sengaja bertanya demikian karena Sheren belum memberikan jawaban pasti pada Bu Winona. Sheren juga belum menemui Bu Winona.

Sheren tersenyum simpul. "Entahlah, aku tidak tahu."

"Kamu belum memberikan jawabanmu pada kami," ucap Adinda. Gadis itu mengedip. "Kamu berjanji akan memberikan jawaban pada kami setelah kompetisi."

Tawa terdengar dari bibir Sheren. "Dan itu tidak sekarang. Kenapa kamu terburu-buru sih?"

"Kompetisi akan diadakan kurang dari dua minggu lagi," bantah Adinda. Gadis itu menatap Sheren tajam. Ekspresinya menyiratkan sebuah desakan pada Sheren untuk mengiyakan tawaran agensi yang menaungi Adinda.

"Aku akan memberitahu kalian nanti. Sekarang, aku tidak ingin mendapatkan distraksi apapun." 'Dan membuatku diusir dari rumah jika kalah', lanjut Sheren dalam hati.

Adinda mengangguk setuju. "Tentu."

Gadis berambut merah menoleh pada Adinda dengan tatapan penasaran. "Apa yang kalian bicarakan?"

"Kamu tahu, Dev? Terlalu ingin tahu urusan orang lain adalah tindakan yang buruk," ucap Adinda tajam.

"Aku kan cuma tanya," bantah Devina.

"Pertanyaanmu terlalu privasi, Devina." Adinda menatap tajam Devina. Nada bicara serta aura intimidasi yang tajam membuat Devina bungkam. Adinda lalu beralih menatap Sheren dengan wajah ramah. "Kami akan sangat senang jika kamu mengiyakan hal itu."

'Perubahan ekspresi yang luar biasa', batin Sheren. "Aku masih memikirkannya. Omong-omong, apa pekerjaanmu yang sesungguhnya? Kamu musisi? Aktris?"

Adinda tertawa kecil. "Kalau bisa dua-duanya, kenapa harus satu?"

Pemuda berambut coklat yang sedari tadi hanya diam saja kini bersuara, "Kamu tidak tahu siapa kami? Karena reaksimu terlalu normal saat bertemu kami. Dan sepertinya, Adinda mengenalmu tapi kamu tidak terlalu mengenal Adinda."

"Iya. Aku tidak tahu siapa kalian berempat. Yang kutahu hanya Shawn dan Adinda. Shawn adalah teman sekelas kakakku dan aku berkenalan dengan Adinda saat dia datang ke sini dengan Bu Winona," ucap Sheren membenarkan.

"Kamu tidak punya televisi ya?" tanya Devina sinis, gadis itu kesal karena Sheren tidak mengenal mereka.

"Punya, tapi aku tidak punya waktu luang untuk menontonnya dan tidak ada peraturan yang mewajibkan semua orang menghafal nama-nama selebriti," jawab Sheren dengan nada ringan namun menusuk.

"Memang kamu sibuk apa sih?!" jerit Devina kesal. Teman-teman Devina menatap gadis itu dengan kesal.

"Tentu saja sibuk berlatih piano dan belajar. Aku masih pelajar aktif. Belajar dan bersekolah adalah hal wajar yang dilakukan oleh seorang pelajar," jawab Sheren datar. Dia mulai kesal dengan sikap Devina. Keenam remaja itu merasa tersindir secara halus, terutama Shawn.

Pemuda berambut biru berdeham. Lalu berkata, "Baiklah. Mari kita perkenalkan diri. Aku Michael. Pemuda berambut abu-abu itu Abraham.Dan yang berambut coklat adalah Michaelo, saudara kembarku. Sedangkan cewek berambut merah dan berisik itu adalah Devina. Kami berada di sini untuk mempelajari cara bermain alat musik untuk keperluan pembuatan serial televisi yang akan kami bintangi."

"Lalu, kenapa kalian tidak berlatih dan malah duduk di sini tanpa alat musik?"

Abraham menjawab, "Kami sudah selesai berlatih sejak pukul 12.00. Namun, Adinda meminta kami semua untuk menemaninya menunggu seseorang di sini dan Bu Winona juga setuju dengan pendapat Adinda."

"Kamu memata-matainya ya, Din?" tanya Shawn tanpa basa-basi.

Adinda menggeleng. "Tidak, aku hanya ingin mendengar musiknya saja. Dan ternyata benar, kualitas musik juara dunia piano memang tidak bisa diremehkan."

"Juara dunia?!"

"Dia juara dunia piano?!"

"Dia mengalahkanmu?"

Adinda mendengus kesal pada Michaelo. "El, pertanyaanmu tadi terasa menghinaku."

"Memang," tawa Michaelo.

Sheren menatap keenam remaja itu secara bergantian. 'Dasar orang-orang aneh! Pantas saja Shaka bisa cocok dengan Shawn,' batin Sheren. Lalu, gadis itu kembali melanjutkan latihannya.

***

"Kamu mau pulang bareng aku?" tawar Shawn saat dia melihat Sheren tengah berada di teras akademi musik.

Sheren menggeleng. "Enggak usah. Aku dijemput Shaka."

"Beneran?"

"Iya. Kamu pulang saja."

Shawn lalu berdiri di dekat Sheren. "Boleh tanya sesuatu?"

"Ya?" Sheren mendongak menatap Shawn dengan penuh rasa ingin tahu.

"Kamu tidak nyaman dengan orang-orang baru?"

Sheren mengangguk. "Sedikit. Kenapa memangnya?"

"Oh begitu. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Kami tidak akan melukaimu, kami hanya ingin menjadi temanmu. Karena, kami sangat sulit memiliki teman yang benar-benar teman."

Sheren mengerjap dan ekspresinya terlihat menggemaskan di mata Shawn. "Teman-temanmu ingin menjadi temanku?"

Shawn mengangguk. "Iya."

"Kenapa kalian mau menjadi temanku?"

"Kamu enggak mau?"

Sheren mengangkat bahunya. "Entahlah."

Lalu, sebuah mobil datang. Sheren berjalan menghampiri mobil tersebut. Saat Sheren membuka pintu mobil itu, dia mendengar Shawn berkata padanya, "Jangan terlalu memandang pahit hidup.Karena hidup tidak selamanya sepahit itu." Sheren melirik Shawn tajam, lalu gadis itu memasuki mobil dengan ekspresi kesal.

***

Surabaya, 12 Februari 2020

Tahu apa dia tentang hidupku? Dia dan teman-temannya mungkin saja menjadikanku teman hanya untuk terlihat baik di depan kamera. Aku benci orang-orang asing yang bertingkah seolah-olah mereka akrab denganku.