webnovel

Catatan Cerita

Sheren Queena memiliki mimpi yang manis. Gadis cantik itu menyukai musik, dan mimpinya adalah orang-orang bisa mendengarkan musiknya. Sesederhana itu. Namun rupanya, jalan yang dia tempuh teramat sangat terjal.

ranyraissapalupi · Teen
Not enough ratings
297 Chs

Catatan 24: Kejutan Kecil

Kepala Sheren hari ini terasa sangat penuh sekali. Lalu lintas pikirannya hari ini cukup sibuk layaknya jalanan kota di jam-jam sibuk. Pelajaran matematika yang dijelaskan oleh guru di depan kelas sama sekali tidak masuk ke otaknya. Kini, yang berseliweran di otaknya adalah notasi, intro musik, bridge, dan lainnya.

Rhea melirik teman sebangkunya yang tampak melamun. Kemudian, Rhea menatap buku catatan matematika Sheren. Buku itu kosong, sama seperti tatapan mata si pemilik buku itu sekarang. Rhea menghela nafas, gadis cantik itu lalu melirik guru matematika mereka yang sekarang sedang duduk di kursi guru. Diam-diam, Rhea menghela nafas lega saat dia secara tidak sengaja melihat jam dinding di kelasnya. Lima menit lagi adalah waktu istirahat.

Bel pertanda istirahat telah dimulai berbunyi. Guru matematika mereka kini menutup kelas dengan salam, lalu berjalan meninggalkan kelas. Dan Sheren masih saja melamun. Bel tadi berbunyi nyaring, namun tidak cukup untuk membuat Sheren sadar dari lamunannya.

"She?" Jengah, Rhea memanggil nama teman sebangkunya. Namun, nihil. Sheren sama sekali tidak merespon.

"Sheren?" Bukan Sheren yang menoleh, melainkan Sashi. Sashi menatap Rhea penuh tanya. Rhea mengarahkan dagunya ke arah Sheren. Sashi beralih menatap Sheren dan gadis itu melihat bahwa Sheren tengah melamun.

"SHEREN? SHEREN QUEENA!!"

Teriakan melengking Sashi rupanya tidak cukup mampu menyadarkan Sheren. Sashi menghembuskan nafas kesal. Gadis itu lalu berjalan cepat ke samping Sheren, lalu dia mengguncang bahu Sheren dengan brutal saat dia sudah berdiri tepat di samping Sheren. Hal ini tentu saja membuat Sheren kaget.

"Ada apa? Ada keadaan darurat apa?"

Sheren kini panik. Gadis itu lalu menatap Sashi yang sedang menatapnya dengan penuh kekesalan. "Kamu kenapa sih?! Dari tadi melamun terus," bentak Sashi.

Raut wajah Sheren kini tampak lega sekaligus bersalah. Lega karena tidak ada kejadian darurat yang serius. Dan dia merasa bersalah karena membuat teman-temannya khawatir. "Bukan apa-apa. Mau ke kantin? Ke kantin sekarang yuk!" Lalu, Sheren merangkul pundak sahabat-sahabatnya sembari berjalan meninggalkan kelas.

***

"She? Kamu yakin tidak ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Rhea seraya mengaduk mi ayamnya.

Sheren menggeleng. "Enggak, sama sekali enggak ada."

"Sungguh? Kamu gak bohong?" Sashi menatap Sheren dengan tatapan mata seolah dia sedang memindai rekannya ini.

Senyuman kecil Sheren menjadi jawabannya. "Enggak kok. Beneran enggak apa-apa. Enggak perlu khawatir. Aku hanya sedikit lelah."

"Jangan terlalu memaksakan diri jika lelah. Istirahatlah sebentar. Istirahat sebentar tidak akan membuatmu tertinggal jauh dari yang lain," saran Rhea.

Sheren tersenyum menanggapi saran itu. Gadis itu lalu memakan nasi gorengnya. Raganya memang tengah menikmati makan siang berupa nasi goreng, namun pikirannya tidak. Pikirannya tengah berkecamuk tentang banyak hal, terutama tentang bagaimana dia harus menjalani hidupnya jika dia kalah pada kompetisi piano. Walau Kak Cyrus dan Kak Felicia mengatakan bahwa mereka bersedia membiayai hidupnya, namun Sheren merasa sungkan karena merepotkan mereka. Kak Felicia dan Kak Cyrus pasti memiliki banyak kebutuhan seusai menikah dan Sheren tidak ingin menjadi beban mereka.

***

Hari ini, sekolah menjadi hal yang sangat membebaninya. Dia tidak bisa berkonsentrasi dari jam pelajaran pertama hingga terakhir. Dan kini, langkah kakinya terasa berat saat dia berjalan menuju mobil di mana Shaka tengah menunggunya untuk berangkat menuju akademi musik. Sheren berjalan sembari mengatur nafasnya agar rasa penat dan menyesakkan ini segera menghilang.

"She? Kamu kenapa?" Shaka menatap saudarinya yang tengah berjalan sembari menunduk. Rambut panjang Sheren yang tergerai menutupi separuh wajahnya, membuat adiknya itu terkesan menyeramkan.

Sheren mendongak, menatap saudaranya dengan senyum simpul. "Aku enggak apa-apa kok." Lalu, gadis itu memasuki mobil diikuti oleh Shaka. Mobil itu lalu melaju meninggalkan halaman sekolah.

***

Sheren terkejut saat mobil yang dikemudikan oleh Shaka berhenti di depan sebuah arena bermain ice skating. Arena itu tepat berada di depan gedung bimbingan belajar yang dihadiri oleh Shaka. "Shaka? Ini apa? Kenapa kamu membawaku ke sini?"

Shaka tertawa kecil, dia menatap adiknya dengan tatapan jenaka. "Kamu masih ingat caranya bermain ice skating?" Bukannya menjawab pertanyaan saudarinya, Shaka justru memberikan adiknya sebuah pertanyaan.

"Shaka, jawab dulu! Kenapa kamu malah bertanya!"

"Anggap saja kita sedang membolos dan bersantai sejenak."

"Shaka!" Jawaban yang diberikan Shaka benar-benar membuat Sheren terkejut. Hari penentuan hidupnya tinggal seminggu lagi dan dia justru berada di sini bersama Shaka! "Lalu bagaimana dengan Kak Adisty? Dia pasti melapor pada Mama!"

"Biarkan saja. Lagi pula, Adisty bukan siapa-siapa."

"Shaka, bukan begitu! Aku..."

"Kamu takut kalah dan Mama mencabut semua fasilitasmu? Jangan khawatirkan itu. Aku sudah memberitahu Kakek, dan Nenek. Keluarga Kak Felicia juga sudah tahu. Kami tidak keberatan jika harus membantumu karena kamu bukan beban."

"Ka, tapi aku..." Belum sempat Sheren menyelesaikan kalimatnya. Shaka sudah keluar dari mobil lebih dahulu, lalu pemuda itu menariknya keluar dari mobil kemudian membawanya masuk ke arena ice skating sambil membawa tas besar berisi perlengkapan ice skating. Shaka tidak ingin menunggu adiknya menyelesaikan kalimatnya, karena dia tahu itu akan membuatnya semakin sakit hati.

***

Arena ice skating itu tidak terlalu ramai. Ada beberapa orang saja yang mengisi arena es tersebut. Sheren sudah mengenakan sepatu ice skatingnya sendiri. Dia tidak tahu kapan Shaka mengambil sepatu ini dari rak sepatunya yang berada di kamarnya, namun dia terkejut saat Shaka menyerahkan sepasang sepatu miliknya itu dari dalam kantung sepatu yang dia bawa.

Sheren memasuki arena ice skating, dia menggerakkan kakinya dengan perlahan. Gadis cantik itu tengah menyesuaikan keseimbangannya dengan lantai yang telah tertutup es tersebut. Setelah berhasil mendapatkan keseimbangannya, Sheren meluncur secara perlahan. Sebuah senyum terukir di bibirnya.

"Kamu menikmati ini?"

Sheren menatap ke samping kirinya. Dia mendapati Shaka tengah meluncur dengan kecepatan ringan di sampingnya. "Tentu aku suka! Kita jarang bisa melakukan hal-hal menyenangkan seperti ini," jawab Sheren riang.

"Kamu benar. Hidup kita hanyalah berputar-putar pada cara mempertahankan medali, menambah medali yang belum kita punya, dan mendapatkan sangat sedikit waktu bersantai bahkan di akhir pekan," angguk Shaka menyetujui ucapan adiknya.

"Terima kasih," senyum Sheren.

Shaka mengacak rambut adiknya lembut. "Sama-sama. Kamu bisa bicara padaku tentang apa saja yang kamu rasakan."

"Aku tidak ingin mengganggumu."

"Aku tidak merasa terganggu, She. Tidak ada kata terganggu jika itu menyangkut keluarga."

Sheren dan Shaka berputar-putar riang mengitari arena ice skating.

"Omong-omong Ka, kamu tahu darimana tentang masalahku dengan Mama?" Sheren kini berhenti meluncur. Gadis itu berdiri berhadapan dengan Shaka. Dia merasa penasaran mengenai cara Shaka mengetahui semua masalahnya padahal dia tidak bercerita pada saudaranya itu.

"Itu mudah," senyum Shaka. Pemuda itu juga sedang berdiri berhadapan dengan adiknya.

"Kak Felicia yang memberitahumu?"

"Tet tot! Aku bahkan tidak berbicara dengan Kak Felicia selama sepupu kita itu tengah menyiapkan pernikahannya. Dia bahkan sepertinya lupa jika kamu adalah adikku. Dia merasa terkejut saat aku tiba-tiba datang ke rumahnya."

Sheren mengernyit. "Lalu, kamu tahu dari siapa?"

"Sekelebat memori milikmu, tentu saja. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan sejauh itu." Shaka lalu meluncur meninggalkan adiknya yang masih berdiri di tempatnya. Sheren menatap punggung saudaranya dengan senyum. Dia lalu meluncur menyusul Shaka.

Saat dia tengah berkeliling arena es menggunakan sepatu skatingnya, seorang pemuda tiba-tiba menjajari dirinya. Hal itu tentu saja membuat Sheren kaget. Pemuda itu ternyata adalah Shawn. "Kamu sejak kapan ada di sini?"

Shawn tertawa mendengar pertanyaan Sheren. "Aku di sini sejak tadi. Aku bahkan tahu kamu datang bersama Shaka. Sebenarnya, aku ingin mendekat namun kuurungkan. Aku melihat kalian tengah berbicara dengan sangat serius. Jadi, aku memutuskan untuk tidak mendekat. Dan aku tadi melihat Shaka meluncur meninggalkanmu, jadi aku memutuskan untuk menghampirimu."

"Kamu tidak ada jadwal pekerjaan?"

"Ada. Aku baru saja tiba di Surabaya dua jam yang lalu setelah menyelesaikan pekerjaanku di Jakarta."

"Kamu harusnya istirahat di rumah. Kamu tidak memiliki banyak waktu luang untuk beristirahat. Harusnya kamu manfaatkan waktu luangmu untuk tidur."

"Dan melupakan kegiatan yang menyenangkan? Aku akan tidur saat aku ingin, She. Dan itu juga terjadi saat aku ingin pergi bermain atau kegiatan lainnya, kecuali pekerjaan. Omong-omong, bagaimana kabarmu? Kamu terlihat pucat."

Sheren menurunkan kecepatannya. Gadis itu kemudian meluncur menuju tepi arena. Shawn mengikuti langkah Sheren. Kini, keduanya sudah berada di tepi arena. "Aku baik. Berapa lama kamu tidak sekolah? Seminggu?"

"Kenapa? Kangen ya?" Shawn menatap Sheren dengan ekspresi jenaka.

Sheren menggeleng, ekspresi wajahnya tetap datar. "Enggak, cuma penasaran. Para gadis itu tidak akan menggila jika kamu tidak ada."

"Itu termasuk kamu kan, She?"

Sheren mendengus. "Itu termasuk aku, aku yang bahagia dengan kesunyian itu. Aku senang saat semua berjalan dengan tenang."

"Kamu senang aku gak ada?!" Shawn tak habis pikir dengan jawaban gadis cantik di depannya. Bisa-bisanya gadis itu berpikir demikian!

Sheren melipat lengannya di depan perut. "Aku tidak senang dengan keramaian yang kamu bawa. Aku juga tidak berharap kamu mati dengan cepat dan tragis. Karena aku masih manusia yang mempunyai hati nurani."

"Kamu gak suka denganku?"

"Aku gak pernah merasa terganggu dengan kehadiranmu. Tapi aku tidak suka kamu, tidak juga membenci kamu. Perasaanku terhadapmu itu netral."

"Kok gitu?!"

"Memang kamu siapaku, Shawn? Kamu bukan siapa-siapaku dan aku bukan siapa-siapamu."

Shawn terdiam. Benar juga, memang dia siapa? Dia bukan siapa-siapa Sheren. Dia hanyalah teman dekat saudara kembar Sheren. Tidak lebih. Namun, kenapa dia kecewa ya? Sheren kemudian meluncur ke arah Shaka yang melambaikan tangan padanya. Pemuda itu berada di samping pintu keluar arena skating.

***

Surabaya, 13 Februari 2020

Aku seharusnya tidak terkejut dengan tindakan Shaka karena aku sudah mengenalnya sangat lama. Harusnya, aku sudah terbiasa dengan tindakan tiba-tiba yang dia lakukan. Nyatanya, aku masih saja terkejut. Dia bilang, dia tahu semuanya melalui kelebat memoriku. Aku percaya karena kami terkadang bisa mengetahui kondisi kami satu sama lain tanpa perlu berbicara. Dan aku bersyukur bahwa Shaka adalah saudara kembarku.