webnovel

Catatan Cerita

Sheren Queena memiliki mimpi yang manis. Gadis cantik itu menyukai musik, dan mimpinya adalah orang-orang bisa mendengarkan musiknya. Sesederhana itu. Namun rupanya, jalan yang dia tempuh teramat sangat terjal.

ranyraissapalupi · Teen
Not enough ratings
297 Chs

Catatan 22: Orang Asing

Rhea dan Sashi terkejut saat mendengar cerita Sheren. Mereka bertiga kini tengah berada di kelas seusai melakukan upacara bendera. Sheren menceritakan pertengkarannya dengan Mama pada kedua sahabatnya ini. Dan Sheren bisa melihat bahwa kedua sahabatnya ini benar-benar terkejut.

"Bagaimana bisa Mamamu melakukan ini?!" geram Sashi. Sashi benar-benar tak habis pikir dengan pola pikir orang tua Sheren. Pertaruhan yang dilakukan oleh Sheren dan Mamanya, bagi Sashi terdengar seperti pengusiran halus yang dilakukan oleh ibu sahabatnya itu.

Rhea menatap Sheren cemas. "Kamu sudah bilang pada Shaka? Atau pada Ayahmu? Siapa tahu Ayahmu bisa membantumu menggagalkan rencana gila Mamamu." Gadis berambut coklat itu benar-benar cemas. Bagaimana sahabatnya ini akan hidup jika semua fasilitasnya dicabut? Termasuk bagaimana dia akan membiayai sekolah dan biaya makannya ?

"Ayahku pasti setuju dengan Mama. Aku belum bilang pada Shaka, karena kemarin dia tidak di rumah. Dia sedang berlatih taekwondo dan aku tidak mungkin menginterupsinya. Namun, aku sudah bicara dengan Kak Felicia," jawab Sheren menatap kedua sahabatnya bergantian. Sepasang manik mata Sheren kini terlihat berkaca-kaca.

"Lalu? Kak Felicia bilang apa?" tanya Sashi sambil mengusap punggung tangan Sheren. Gadis itu berharap bahwa usapan tangannya mampu meringankan sedikit beban Sheren.

Sheren menghela nafas panjang, lalu berkata, "Kak Feli dan Kak Cyrus bilang mereka akan membiayai hidupku hingga aku benar-benar bisa mandiri. Namun, aku juga tidak bisa benar-benar menggantungkan hidupku pada mereka." Kemudian, suara isakan terdengar dari bibir Sheren. Gadis cantik itu lantas menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Rhea memeluk Sheren erat, sementara Sashi mengusap lembut pundak Sheren. Kedua gadis itu menatap sendu pada sahabat mereka. Kenapa Sheren harus mengalami kepahitan hidup seperti ini? Dia terlahir di keluarga berada, namun dia miskin kebebasan.

***

Denting piano menyapa gendang telinga Shawn saat dia dan rekan-rekannya kembali menuju kelas mereka seusai melakukan kegiatan belajar di perpustakaan. Bel tanda istirahat berbunyi lima menit yang lalu.

"Tumben ruang musik dipakai? Biasanya hanya dipakai saat jam istirahat?" tanya salah satu teman sekelas Shawn.

Sel-sel otak Shawn bekerja cepat menganalisa sumber bunyi itu. Lantas, dia terpikirkan satu nama di benaknya. Nama seorang gadis cantik yang terlihat menarik di matanya, walau nyaris setiap hari dia melihat wajah gadis itu dalam versi laki-laki. Anehnya, dia tidak merasa bosan.

"Tolong kasih tahu Shaka untuk tidak mencariku. Oke?" pesan Shawn pada teman-teman sekelasnya. Pemuda itu lalu berlari kecil menuju ruang musik, meninggalkan teman-temannya yang menatapnya penuh tanya.

***

Sheren terkejut saat pintu ruang musik dibuka tiba-tiba tepat saat dia selesai menyelesaikan lagunya. Gadis itu lalu melihat ke arah pintu dan mendapati Shawn baru saja memasuki ruang musik. Hal ini tentu saja membuatnya heran. "Shawn? Sedang apa kamu di sini? Shaka mana?"

Shawn mendudukkan dirinya di kursi yang berada di samping piano yang tengah dimainkan oleh Sheren. "Shaka ada di ruang guru, entah ada urusan apa dia di sana. Lalu, urusanku di sini adalah cuma ingin saja."

"Hanya ingin? Serius?"

Shawn mengangguk. "Serius dong! Yah, aku hanya ingin menikmati waktuku di sekolah dengan nyaman. Dan kebetulan, aku mendengar bunyi yang menarik. Omong-omong, kamu gak makan?"

Sebuah senyum pahit terukir di bibir Sheren dan senyum itu jelas tertangkap oleh netra tajam Shawn. Senyuman itu membuat Shawn merasa penasaran sekaligus khawatir. Kira-kira, apa yang sedang terjadi pada Sheren? Apakah Shaka tahu?

"Jika aku kalah, aku pasti kehilangan banyak hal."

"Kalah dalam sebuah kompetisi itu wajar."

"Benarkah? Tapi hal itu sangat tidak wajar untuk keluargaku. Kami dituntut oleh orang tua kami untuk selalu menjadi yang pertama. Dan jika kalah, kami akan kehilangan segalanya. Aku akan kehilangan segalanya."

Shawn menatap Sheren tajam. "Sesuatu terjadi padamu?"

"Sesuatu terjadi padaku setiap hari, Shawn."

"Orang tuamu menyiksamu?" Saat mengucapkan pemikirannya itu, jantung Shawn berdebar kencang. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Sheren.

"Orang tuaku tidak pernah memukulku, Shawn," jawab Sheren. Lidahnya terasa kelu saat mengatakan hal itu. Orang tuanya memang tidak pernah memukulnya secara fisik. Namun, mereka memukulnya dengan kata-kata.

"Benarkah?" Shawn menatap Sheren dengan pandangan tidak percaya.

Tatapan Shawn membuat Sheren merasa aneh. Ada apa dengan aktor ini? Kenapa dia mendadak tertarik pada urusan orang lain? "Kamu kenapa sih? Kenapa kamu tiba-tiba bertanya mengenai hidupku? Padahal sebelumnya, kita tidak saling mengenal. Setelah mengenal pun, kita tidak pernah berbicara secara intens. Hanya bertegur sapa saja."

"Maaf, maafkan aku karena aku lancang padamu. Maaf, maaf banget," sesal Shawn. Dalam hati pemuda itu, dia tengah merutuki kebodohan yang baru saja dia lakukan sesaat yang lalu.

Sheren tersenyum. "Enggak apa-apa kok. Santai saja." Gadis cantik itu juga kini merasa bersalah pada Shawn karena telah membuat pemuda itu merasa canggung. Namun, dia tentu saja tidak bisa mempercayai Shawn seratus persen. Karena baginya, Shawn adalah orang asing. Walau bagi Shaka, Shawn bukanlah orang asing.

Suasana hening. Hanya ada suara detik jarum jam yang berputar. Sheren kembali menekan tuts-tutsnya. Dia sengaja melakukan itu karena dia tidak tahan dengan suasana hening yang terkesan mendadak tadi. Apalagi topik yang mereka bicarakan tadi lumayan mampu membuat canggung.

"Kamu tumben ada di sekolah?"

Shawn kembali memfokuskan konsentrasinya. Kini, pemuda itu menatap Sheren yang tengah bermain piano. "Ha? Kamu tanya apa tadi?"

"Kamu tidak ada pekerjaan? Syuting misalnya. Karena melihatmu berada di sekolah seperti sekarang ini terasa aneh bagiku, terutama saat melihatmu dalam jarak sedekat ini," senyum Sheren. Kedua tangannya sibuk menari-nari di atas tuts-tuts hitam putih itu.

Shawn tersenyum. Suasana canggung kembali memudar. "Kalimat-kalimatmu tadi seakan mengusirku secara halus."

Sheren tertawa, sedangkan kedua tangannya masih memainkan notasi-notasi itu dengan stabil. "Enggak sih, aku hanya bertanya karena penasaran. Tapi, kamu malah berpikiran bahwa aku mengusirmu."

"Iya sih. Aneh ya? Aku juga merasa aneh karena bisa berinteraksi dengan teman sebayaku dalam suasana sekolah," senyum Shawn. "Dan juga, aku tengah berinteraksi dengan musisi luar biasa."

Sheren menggelengkan kepalanya sambil tertawa. Sepasang tangannya masih menari di atas piano. "Berlebihan kamu!"

"Kamu gak berminat menjadi musisi?"

"Penulis lagu? Atau penyanyi?"

"Dua-duanya kalau bisa. Minat?"

Permainan piano Sheren akhirnya selesai, sesaat setelah dia menekan tuts terakhir. "Entahlah. Aku tidak tahu. Musik bagiku memang menyenangkan, namun di satu sisi musik tak lebih dari pisau yang menikamku secara perlahan."

"Kamu tidak menikmati permainanmu?"

"Aku menikmatinya. Tapi sudahlah, tidak usah dibahas."

Sheren lalu berdiri dari kursi kayu yang sedari tadi dia duduki untuk bermain piano. Lalu, gadis cantik itu berjalan keluar dari ruang musik. Meninggalkan Shawn sendiri di sana, bersama dengan rasa penasaran yang bersarang di benak pemuda itu.

***

Surabaya, 10 Februari 2020

Aku sesungguhnya merasa tidak nyaman berinteraksi dengan Shawn. Dia terlalu ingin tahu urusanku. Aku tidak dekat dengannya, hanya tahu sebatas nama. Dan dia dekat dengan Shaka, tapi dia tetap saja orang asing bagiku.