webnovel

Permintaan Maaf Doni

Satu bulan telah berlalu, kini Mutia sudah mendapatkan pekerjaan sampingan di sebuah restoran sebagai tukang cuci piring di sana. Uni benar-benar membantunya mencari pekerjaan sampingan. Gadis itu bahkan menanyai semua teman-temannya perihal ketersediaan lowongan pekerjaan.

Mutia tersenyum tipis. Ia merasa beruntung memiliki seorang sahabat seperti Uni. Ia sangat berterima kasih kepada gadis itu dan berniat ingin membalas budi suatu hari nanti ketika semua masalah utang keluarganya sudah terselesaikan.

Ayah dan ibunya pun setuju dengan pekerjaan sampingan Mutia kini. Mereka juga ikut mencari pekerjaan tambahan sebagai tukang sapu jalanan dan buruh bangunan. Mutia merasa sedikit lega bahwa sedikit demi sedikit keluarganya mulai berubah. Setidaknya ayah dan ibunya sudah tidak berani utang kepada orang lain lagi setelah kejadian itu. Kini, mereka fokus melunasi utang yang dipinjam dari saudagar kaya desa sebelah.

Jam istirahat toko, Uni memanggil Mutia yang sedang berada di musala untuk menunaikan ibadah zuhur.

"Ada apa, Ni?" tanya Mutia yang sedang melipat mukena ketika gadis itu menghampirinya.

"Ikut aku sebentar yuk, ada Bang Doni di depan," ajak Uni.

"Bang Doni? Ngapain?" tanya Mutia mengernyitkan keningnya penasaran.

Uni hanya menggelengkan kepalanya. Gadis itu juga tidak tahu dengan kedatangan lelaki itu yang tidak memberitahunya lebih dulu. Padahal, Uni sudah memberitahu bahwa Mutia tidak bisa melanjutkan bekerja di tempatnya lagi karena larangan orang tua.

"Bang Doni?" panggil Mutia pada lelaki itu yang sedang duduk di teras toko. "Abang sudah lama menunggu? Ada apa ya, Bang?"

"Maaf kalau kedatanganku kemari mengganggu kamu, Mutia. Aku cuma mau minta maaf sama kamu."

Mutia dan Uni mengernyit, mereka saling tatap dalam kebingungan. "Maaf untuk apa ya, Bang?"

"Karena ibuku yang menyebarkan berita bahwa kamu kerja di tempatku, kamu jadi bahan cibiran tetangga. Aku minta maaf ya, Mutia. Aku nggak sengaja dan nggak menyangka kalau akan tersebar seperti ini."

"Waktu aku pulang setelah mengantarmu malam itu, paginya aku ditanya oleh ibuku dan ceritalah aku kalau habis mengantarmu pulang. Aku tidak tahu kalau ibuku akan bilang kepada temannya yang satu desa denganmu. Aku benar-benar minta maaf, Mutia."

Doni memelas, ia memohon penuh penyesalan.

Uni dan Mutia diam menyimak penjelasan lelaki itu. Hal yang tidak mereka duga bahwa dalang dari semua omongan tetangga mengenai Mutia berasal dari ibu lelaki itu.

Mutia menghela napas tidak percaya. Mulut ibu-ibu memang tidak bisa dikendalikan, mereka sudah terbiasa mengumbar cerita ke sana kemari membicarakan orang lain tanpa berpikir orang itu akan terluka atau tidak. Mutia merasa menyesal pernah diantar oleh lelaki itu, namun ia sadar bahwa semua hal yang sudah terjadi biarlah terjadi dan lelaki di depannya itu jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan hal tersebut.

"Tidak apa-apa, Bang. Toh, itu sudah lama terjadi, biarlah berlalu," ujar Mutia pada akhirnya.

"Aku benar-benar minta maaf, Mutia."

"Sudahlah, Bang, ini bukan kesalahan Abang. Mutia sudah memaafkan hal tersebut, jadi Abang bisa tenang," kata Uni mencoba menenangkan rasa penyesalan lelaki itu.

Mutia mengiyakan.

"Baiklah, terima kasih atas kemurahan hatimu ya. Lain kali kalau kamu butuh pekerjaan lagi, bisa hubungi aku. Aku akan mencarikan pekerjaan yang lebih baik untukmu."

"Terima kasih banyak, Bang."

Doni lantas berpamitan kembali ke tempat bekerjanya kepada mereka. Lelaki itu datang jauh-jauh hanya untuk meminta maaf atas perbuatan ibunya kepada Mutia. Mutia tersenyum melihat kepergian Doni dari teras toko.

"Cie cie, melihat kepergian Bang Doni sampai begitu."

Uni yang melihat ekspresi wajah Mutia yang sumringah langsung menggodanya sembarangan membuat wajah Mutia berubah merah menahan malu.

"Apa sih, Ni. Nggak ada apa-apa, aku cuma salut sama Bang Doni."

"Ehem, salut apa salut nih," ucap Uni masih menggodanya.

"Sudah sudah, yuk kembali kerja."

Bersambung ...