webnovel

Interogasi Uni

Hari Minggu adalah jadwal libur kerja Mutia. Sejak larangan Maula kemarin sore, kini gadis itu sudah tidak bekerja fi tempat hiburan lagi. Mau tidak mau Mutia harus mencari pekerjaan sampingan lain yang baik.

Pagi ini, dia pergi ke warung untuk membeli beras dan beberapa sayur serta lauk karena persediaan beras yang sudah habis. Mutia segera pulang setelah membeli semua kebutuhan. Ia tidak pernah berbaur dengan para tetangga yang memang tidak suka dengan keluarganya

Sayup, Mutia mendengarkan kumpulan tetangga yang datang berombongan ke warung yang sama dengannya ketika ia meninggalkan warung tersebut. Mereka tengah asyik membicarakan gosip terbaru yang didapat dari seorang tetangga yang lain.

"Iya, toh, Bu? Beneran itu?"

"Yo benar lah, wong saya diceritain sama orangnya langsung kok," kata wanita berbadan sintal.

"Oalah, jan! Kukira anak itu baik, eh ternyata mau bekerja di tempat hiburan seperti itu." Wanita berdaster ikut menyahut.

"Namanya juga orang berkekurangan, mau nggak mau segala rupa pekerjaan ya diambil demi dapat uang," kata wanita berbadan sintal lagi.

Wanita dengan rambut digelung yang diam mendengarkan tiba-tiba menyikut lengan temannya yang lain, menunjuk ke arah Mutia yang berdiri membelakangi mereka dengan kepalanya.

"Ssst, ada orangnya. Nanti dia marah," ucapnya menyuruh temannya menghentikan obrolan mereka.

"Eh iya."

Mutia yang mendengar omongan tersebut yang membicarakan tentang dirinya lantas bergegas pulang. Ada rasa perih dan kesal yang menyerang hatinya setelah mendengarkan gosip tersebut.

Ia penasaran dari mana para tetangganya tahu perihal pekerjaan sampingannya. Sejauh ini Mutia tidak pernah bercerita kepada siapapun kecuali keluarganya dan sahabatnya.

Sejenak, Mutia tertegun. Mungkinkah Uni yang memberitahu para tetangga perihal pekerjaannya itu?

***

Kembali pada rutinitas pekerjaannya setiap hari, Mutia yang datang lebih dulu ke toko menunggu kedatangan Uni dalam cemas. Ia sangat ingin menanyakan hal yang kemarin sempat ia dengar dari para tetangganya. Mutia benar-benar merasa terganggu dengan omongan mereka yang menjelekkan nama keluarganya.

Begitu orang yang ditunggunya datang, Mutia lantas menarik tangan Uni masuk ke dalam toko. Mereka berdiri di pojok ruangan yang cukup sepi.

"Ada apa Mutia, kok tiba-tiba kamu narik aku begitu?"

Uni yang baru saja menaruh tas di dalam loker terperanjat dengan perlakuan Mutia yang menarik tangannya kasar, membawanya ke tempat biasa mereka berbincang di sela bekerja.

"Ada hal yang mau kubicarakan sama kamu, Ni," kata Mutia melepaskan tangan Uni.

Uni mengangguk. "Aku juga." Wajah Uni seketika berubah serius.

Mutia sedikit gugup melihat perubahan wajah sahabatnya itu yang sebelumnya tidak pernah ia lihat.

"Kamu mau bicara apa?"

"Begini, aku minta maaf kalau aku ada salah sama kamu. Apa kamu yang memberitahu para tetangga kalau aku bekerja di tempat hiburan itu?" tanya Mutia gugup. "Kemarin ketika aku pergi ke warung, mereka membicarakanku dengan buruknya. Padahal, aku tidak pernah menceritakannya kepada siapapun kecuali kamu dan keluargaku. Aku percaya kepada keluargaku bahwa bukan mereka yang memberitahu para tetangga karena sejauh ini hubungan keluargalu dengan mereka tidaklah baik. Jadi—"

"Kamu menuduhku?" potong Uni sebelum Mutia menyelesaikan perkataannya.

Mutia menggeleng. "Bukan begitu maksudku—"

"Kamu nggak percaya sama aku, Mut? Kita udah berteman lama dan ketika kamu meminta bantuan padaku betapa senangnya aku saat bisa membantumu. Apa aku terlihat begitu egois sampai-sampai memberitahukan orang-orang tentang pekerjaan sampinganmu?"

Uni menatap Mutia dengan ekspresi kecewa. Ia tidak menyangka jika teman yang sudah dianggapnya sebagai keluarga memiliki rasa ketidakpercayaan kepadanya.

"Maafkan aku, Uni. Sungguh, aku bukan bermaksud menuduhmu, aku hanya ingin memastikannya," ujar Mutia memohon. "Aku percaya sama kamu bahwa kamu bukanlah orang itu, namun aku sedang bingung bagaimana mereka bisa tahu tentangku, itu saja."

Uni mendesah. Ia mengembuskan napas berat lantas mengangguk.

"Tentunya bukan aku, Mutia. Toh, aku sama sepertimu, tidak terlalu akrab dengan tetangga apalagi sampai bertegur sapa dengan mereka. Aku juga tidak bercerita kepada siapapun dalam keluargaku."

Mutia mengiyakan. "Maaf ya, kalau aku melukaimu," ucap Mutia menyesal.

"Nggak apa-apa. Sekarang giliranku bertanya kepadamu."

Mutia menunggu pertanyaan dari gadis yang tubuhnya lebih pendek lima sentimeter darinya.

"Kamu kenapa nggak berangkat kerja di sana? Kemarin Bang Doni menelponku, katanya kamu tidak datang. Apa ada masalah?"

Kini raut wajah Uni berubah khawatir. Ia takut ada hal yang terjadi pada Mutia tanpa sepengetahuannya.

"Bapak dan Simbok melarangku melanjutkan pekerjaan di sana, Ni," cerita Mutia.

Uni menyimak dengan baik setiap kata yang diucapkan oleh Mutia. Gadis itu paham bagaimana kondisi yang sedang dirasakan oleh sahabatnya itu. Mutia juga sudah menceritakan masalah yang dihadapi oleh keluarganya terkait utang yang tidak sedikit nominalnya.

"Ya sudah, nanti aku bantu kamu cari kerjaan yang lain ya."

"Terima kasih ya, Ni. Kamu benar-benar baik dan mau membantuku."

Mutia membawa tubuh Uni dalam pelukannya. Mereka verpelukan penuh kasih sayang seorang sahabat dan berbagi beban satu sama lain.

Bersambung ...