webnovel

Kedatangan Saudagar Kaya

Maula dan Saminem sedang duduk mengobrol di teras rumah mereka. Teras kecil yang selalu bocor ketika hujan adalah tempat ternyaman di rumah Mutia untuk beristirahat sembari melihat sekeliling rumah mereka yang masih berupa pekarangan kosong penuh semak belukar ataupun tanaman sayuran milik tetangga.

Saminem ingin sekali memiliki kebun sayur seperti milik Bu Ida selaku istri dari seorang abdi negara yang letaknya tepat di sebelah rumah mereka. Beliau adalah satu-satunya tetangga yang masih sedikit peduli dengan keluarganya. Kadang ketika Bu Ida memetik sayuran untuk dimasak, Saminem selalu diberi sayuran yang bisa dimasak untuk dua hari ke depan. Ia sangat bersyukur mendapatkan pemberian dari Bu Ida yang memang murah hati kepada orang lain.

Namun, keinginan Saminem harus tertunda lebih dulu karena uang yang mereka kumpulkan untuk melunasi utang. Jika utangnya sudah terbayar lunas, maka ia akan menanam beberapa jenis sayur di depan rumahnya yang tidak terlalu luas, setidaknya bisa menghemat keperluan keluarganya.

Maula menyuruh istrinya untuk membuatkan kopi hitam kesukaannya sejak dulu. Lelaki tua itu baru saja pulang kerja dari desa sebelah yang kebetulan sedang membangun sebuah rumah. Maula mendapatkan pekerjaan tersebut hasil ajakan dari seorang tetangga yang kehidupannya memang tidak jauh berbeda dengan keluarganya.

"Ini Pak, kopinya."

Saminem datang dengan segelas kopi yang masih mengepulkan asapnya, meletakkannya di bangku bambu di depan Maula.

"Terima kasih, Mbok."

"Bagaimana tadi kerjaannya, Pak?" tanya Saminem yang lalu duduk di sebelah suaminya.

"Lancar, Mbok. Bos kontraktornya juga baik sama buruh-buruh seperti Bapak yang sudah tua ini," jawab Maula lantas menyesap kopinya penuh kenikmatan. "Mantap tenan kopi buatanmu, Mbok, sama sekali ndak berubah dari dulu."

Saminem tersipu mendengar pujian suaminya. "Bisa saja Bapak ini."

Mereka sedang asyik-asyiknya bercengkerama. Kedatangan seseorang yang tidak diduga membuat mereka terdiam dan tertegun. Maula dan Saminem lalu menyambut kedatangan orang itu dengan baik, mempersilakan duduk, dan membuatkan minum.

"Tidak usah, Mbok. Saya nggak akan lama kok," katanya menghentikan Saminem yang hendak masuk ke dalam rumah untuk membuatkan minuman untuknya.

Wanita itu lantas duduk di sebelah suaminya, mendengarkan keperluan orang itu yang datang tanpa pemberitahuan lebih dulu.

"Sebelumnya kedatangan Pak Darmo kemari ada apa ya?" tanya Maula sopan.

Darmo tersenyum simpul. "Maaf kalau kedatangan saya mengganggu waktu Simbok dan Pak Maula," ucapnya yang menjeda pembicaraan. "Begini, Pak, saya datang kemari berniat untuk meminta jatah bulan ini," lanjutnya kemudian.

Maula sedikit terkejut. "Loh, bukannya ini belum tanggal tiga puluh ya, Pak?"

"Benar, Pak. Kebetulan saya sedang ada kebutuhan dan memerlukan uang itu segera."

Maula tersenyum kikuk, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Saminem menatapnya penuh isyarat.

"Sebelumnya, saya minta maaf Pak Darmo, untuk uang bulan ini belum terkumpul semuanya, Pak, kemungkinan baru setengahnya."

"Waduh, gimana ya, Pak, padahal saya sedang membutuhkannya segera kalau menunggu sampai akhir bulan tidak bisa, Pak," ujar Darmo kecewa.

"Maafkan kami, Pak. Uangnya kami pakai untuk makan sehari-hari dan sisanya untuk membayar utang tetapi belum terkumpul semua."

Maula dan Saminem mencoba meminta pengertian kepada lelaki botak yang duduk bersama mereka. Mereka tampak tidak enak hati kepada Darmo, apalagi melihat raut wajah lelaki itu yang terlihat sangat kecewa, mereka takut jika akan kena marah.

"Bagaimana ya, Pak Maula, saya juga sudah datang jauh-jauh kemari dengan harapan pulang dengan membawa uangnya." Darmo menunjukkan deretan giginya, mencoba tersenyum namun dipaksakan.

"Masalahnya kalau saya tidak dapat uang itu sekarang, istri saya akan marah, Pak. Dia sangat ingin membeli sesuatu yang tidak bisa ditunda, maklum istri saya sedikit tegas orangnya jadi saya ndak bisa melawannya."

Darmo akhirnya berkata jujur dengan harap kedua orang tua itu mau mengerti keadaanya.

***

Mutia yang tiba di rumah penasaran dengan rumahnya yang sedang kedatangan tamu. Ia belum pernah melihat orang itu sebelumnya dan yakin bahwa bukan warga desanya. Ia tersenyum ramah menyapa kehadiran lelaki botak itu. Saminem lantas mengajaknya masuk ke dalam rumah dan menjelaskan kedatangan Darmo ke rumahnya.

"Bapak itu siapa, Mbok?"

"Sstt, jangan keras-keras! Dia adalah orang kaya yang memberikan kita pinjaman," kata Saminem sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir.

Mutia mengangguk. "Apa dia datang mau menagih? Bukannya akhir bulan ya pembayarannya?"

"Nah, itu, kamu ada uang untuk membayar bulan ini tidak? Ayo sini, berikan uangnya pada Simbok. Kami takut beliau marah karena menunggu lama." Saminem membuka tas selempang yang dikenakan putrinya. Mengambil dompet dan uang Mutia.

"Mbok, jangan semuanya. Itu jatah sampai akhir bulan ini," kata Mutia hendak merebut uang hang diambil oleh ibunya.

"Sudah diam!"

Mutia mendesah kecewa ketika Saminem mengembalikan dompetnya dalam keadaan kosong. Wanita tua itu telah mengambil semua uang di dalam dompetnya.

"Ini dompetmu, Simbok kembalikan," ujar Saminem sambil menyerahkan dompet buluk milik Mutia.

Ia lantas bergegas keluar dan menemui saudagar itu dengan senyum yang merekah terpaksa.

Mutia kecewa, jatah uang belanja untuk satu bulan telah diambil oleh ibunya. Kini ia bingung mengatur makanan apa yang akan ia makan bersama keluarganya dua minggu ke depan sementara uangnya sudah habis tidak tersisa.

"Ini, Pak, uangnya, ternyata sudah ada untuk pembayaran bulan ini," ucap Saminem sambil menyerahkan uang tersebut kepada Darmo.

Darmo tersenyum senang menerima uang pemberian tersebut lantas menghitung ya dengan teliti.

"Uangnya pas ya, kalau begitu saya pamit pulang dulu. Terima kasih, Pak Darmo dan Simbok. Mari."

Lelaki botak itu lantas bergegas meninggalkan rumah Maula dengan membawa uang pembayaran bulan ini.

Maula dan Saminem menghela napas lega, kedatangan Darmo yang tidak diduga membuat mereka sulit bernapas. Entah kenapa aura yang dipancarkan oleh lelaki itu sangat menakutkan dan mau tidak mau mereka harus menuruti perkataan beliau.

Maula lantas menggiring istrinya masuk ke dalam rumah karena bedug azan magrib sudah berkumandang. Mereka menuju ruang tamu di mana Mutia sedang duduk sambil memandangi dompetnya yang kosong.

"Kamu kenapa kok melamun, Nduk?" tanya Maula yang ikut duduk di sebelah putrinya.

"Uang Mutia sudah habis, Pak. Dua minggu ke depan kita mau makan apa?"

Maula mengernyit, ia memandang wajah Saminem yang terlihat bingung juga.

"Loh, memang uang bulanannya kamu pakai untuk apa, kok bisa habis?"

"Tadi diambil Simbok untuk bayar utang, Pak," kata Mutia lemas.

Maula menatap istrinya tidak percaya. Saminem hanya menepuk dahinya seolah baru tersadar akan perbuatannya beberapa saat yang lalu.

"Sudah, ndak apa. Bapak masih ada uang untuk makan, kamu ndak usah khawatir yo," ujar Maula menenangkan putrinya yang sudah bekerja keras.

Ia menatap wajah Mutia yang lemas dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Sudah, Nduk. Maafkan Simbok tadi asal ambil uangmu, besok Simbok ganti ya," ucap Saminem merengkuh tubuh Mutia sembari mengusap puncak kepalanya.

Mutia menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, ia lantas memasukkan dompetnya ke dalam tas. "Nggak usah, Mbok, Mutia paham kok situasinya. Tapi Mutia heran kenapa orang itu datang di saat belum tanggal jatuh tempo?"

"Sudahlah, Nduk. Masing-masing orang punya kebutuhan mendadak jadi nggak usah dipikirkan lagi ya. Toh, bulan ini kita sudah bayar," terang Maula.

Mutia dan Saminem hanya mengiyakan. Mereka tidak membicarakan perihal kedatangan Darmo lagi dan bercengkerama mengenai pekerjaan masing-masing.

Bersambung ...