webnovel

Penaklukan Mutia

Sejak pergi bersama Ferian, lelaki itu kini kerap datang ke rumah setiap pagi untuk mengantar Mutia bekerja. Awalnya Mutia menolak karena tempat bekerjanya tidak jauh dari rumah, namun bukan Ferian namanya jika ia tidak bisa memaksa.

Hari pertama, Ferian mengantarnya dengan mobil membuat Mutia merasa tidak enak hati dan sungkan. Lirikan tetangga yang setiap pagi melihatnya berangkat kerja pun tidak ada habisnya dipenuhi gunjingan. Alhasil, gadis itu menyuruh Ferian untuk datang memakai sepeda motor saja, jika lelaki itu masih ingin mengantarnya ke toko.

Tentu saja Ferian setuju dengan hal tersebut, tidak masalah baginya kalau harus naik mobil atau pun motor karena tujuannya hanya satu, yaitu menaklukkan hati Mutia. Ia sangat ingin Mutia jatuh hati kepadanya hingga mau bertekuk lutut memujanya agar Ferian bisa memiliki Mutia seutuhnya tanpa ada gangguan apapun.

Perihal Doni, lelaki yang sempat mengancam ingin merebut gadisnya itu kini sudah mulai menjauhi Mutia dan tidak menghubungi gadisnya lagi. Ferian senang perihal tersebut, namun dia tahu bahwa lelaki itu masih mengawasinya dan sedang menunggu waktu yang tepat untuk merebut Mutia. Ferian sudah mempersiapkan semua kemungkinan yang terjadi jika ia sedikit lengah. Ia telah menyuruh para anak buahnya untuk terus mengawasi lelaki itu. Dia juga sudah menyiapkan kejutan untuk Doni.

"Pulang kerja nanti, mau kujemput tidak?" tanya Ferian ketika Mutia turun dari motornya. Gadis itu menyerahkan jaket Ferian yang dikenakannya.

"Tidak usah, aku mau pulang bersama Uni saja," jawab Mutia menolak.

Ferian mengangguk. "Nanti malam kita makan di luar ya?"

"Lagi?"

"Kenapa, kamu tidak mau?" tanya Ferian.

Lelaki itu hampir setiap malam mengajak Mutia pergi makan bersama. Mutia sebenarnya sungkan dengan lelaki itu, ia merasa merepotkan dan menghabiskan uang Ferian. Namun, Ferian memaksa, saat pulang pun lelaki itu membawakan makanan untuk ayah dan ibu Mutia.

"Aku merasa tidak enak saja, lain kali saja ya, hitung-hitung berhemat?"

Ferian diam memerhatikan wajah manis milik Mutia. Ia lantas tersenyum. "Baiklah, aku akan hemat demi kamu, demi pernikahan kita. Bagaimana, kamu setuju?"

Mutia mengiyakan. Rasa takut yang sebelumnya dimiliki Mutia kini sudah mulai berkurang. Ferian ternyata orang yang baik dan perhatian.

"Ya sudah, kerja yang semangat ya, Sayang. Aku pulang dulu."

"Hati-hati di jalan."

Mutia melepas kepergian Ferian dengan senyuman. Sebutan Sayang pun sudah terasa akrab di telinganya. Ia sudah tidak mempermasalahkan hal itu lagi, hanya saja Mutia masih belum terbiasa memanggil Ferian dengan panggilan Mas, seperti permintaan lelaki itu. Sejauh ini ia masih memanggil nama lelaki itu saja.

Uni yang melihat pasangan tersebut dari dalam toko lantas menggoda Mutia yang tengah berjalan masuk. Dia mengikuti langkah Mutia layaknya anak ayam mengikuti induknya.

"Kamu apa-apaan, Uni. Ayo kerja!"

"Cieee, sekarang kamu sudah bisa move on dari Bang Doni ya?"

Mutia mendesah. "Entahlah, aku tidak tahu."

"Kok begitu? Kalau menurut kamu Ferian adalah orang yang baik, kenapa tidak? Toh, sebentar lagi kalian akan menikah. Coba mulai menyukai lelaki itu agar kamu tidak semakin terluka memikirkan Bang Doni. Aku yakin, Bang Doni kuat, sama sepertimu, dia akan segera mendapat kebahagiannya sendiri, Mutia."

"Haruskah aku melupakan Bang Doni dan membuka kisah baru dengan Ferian?"

Uni menganggukkan kepalanya. "Tentu saja!" ujarnya cepat. "Kamu mau menikah tanpa didasari cinta? Aku tidak bisa membayangkan betapa rumitnya nanti. Cobalah membuka hati untuk lelaki itu, sepertinya Ferian benar-benar menyukaimu."

Mutia hanya diam mendengarkan ucapan Uni. Sahabatnya itu lantas meninggalkan Mutia yang berdiri mematung di tempatnya. Mungkinkah benar apa yang dikatakan oleh Uni bahwa dengan begitu ia akan bahagia?

Sejatinya Mutia hanyalah perempuan biasa, memiliki hati yang mudah berubah-ubah. Mutia bukanlah perempuan murahan, tetapi jika ia diperlakukan dengan baik oleh seorang pria, tentulah perempuan mana yang tidak akan luluh hatinya? Sama seperti Mutia kini, hatinya tengah bimbang hendak memilih kasih yang mana.

Doni yang dicintainya ataukah Ferian yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Ferian tentu saja unggul dalam mendapatkan Mutia. Lelaki itu sudah memiliki restu dari keluarga Mutia, sedangkan Doni, dia pria malang yang harus terluka dengan tidak direstuinya kisah cintanya bersama Mutia, gadis pujaan hatinya.

Mungkin perkataan Uni ada benarnya, sudah saatnya dia melupakan Doni dan fokus pada masa depannya bersama Ferian. Ada mimpi yang harus ia capai dalam rumah tangga yang kelak sebentar lagi akan ia jalani bersama lelaki itu, apalagi jika bukan kehadiran seorang anak. Mutia harus mulai membuka hati untuk Ferian dan mencintai lelaki itu dengan setulus hati agar anak-anak mereka bisa hidup bahagia bersama ayah dan ibunya.

Sudah dua hari ini Ferian tidak mengajak Mutia pergi makan di luar dan hari ini lelaki itu sudah merindukan gadisnya. Dia datang mengendarai mobil seperti biasa. Keluarga Ferian memang kaya, hal itu membuat Mutia merasa minder sebab ia berasal dari keluarga tidak mampu. Namun, ia bersyukur bahwa lelaki itu mau menerimanya apa adanya.

"Halo, Sayang!" sapanya ketika melihat Mutia membukakan pintu untuknya.

"Kamu sudah datang?"

Ferian hanya bergumam, dia duduk di teras menunggu Mutia berpamitan kepada ayah dan ibunya.

Maula dan Saminem lantas keluar menemui calon menantu mereka, menyambut dengan kehangatan.

"Masuk dulu sini, Nak," kata Saminem di ambang pintu. Dia sedikit menggeser tubuhnya mempersilakan Ferian agar duduk di dalam sembari menunggu putrinya.

"Tidak usah, Mbok, di sini saja."

Maula dan Saminem tidak memaksa. Mutia datang dengan tas selempang yang biasa ia kenakan, gadis itu berpamitan kepada ayah dan ibunya, begitupun dengan Ferian.

"Mau makan di mana?" tanya Mutia begitu mereka meninggalkan pekarangan rumahnya.

"Kita belanja beberapa barang dulu ya, setelah itu baru makan," jawab Ferian setelah berpikir sejenak.

"Kamu mau beli apa?"

"Membeli beberapa barang yang cocok untukmu," ucap Ferian diiringi senyum yang merekah.

Mutia ikut tersenyum, ia tersipu dipandang demikian oleh Ferian.

Ternyata lelaki itu membelikan beberapa pakaian, tas, dan juga sepatu untuk Mutia kenakan. Ia telah mengamati bahwa gadisnya hanya memakai beberapa barang yang sama setiap kali pergi bersamanya. Ferian ingin membuat Mutia merasa bahagia dengan memberikannya beberapa barang baru.

"Sudahlah, itu terlalu banyak. Aku tidak yakin bisa memakainya semua," ujar Mutia meminta Ferian menghentikan pekerjaannya yang sedang memilihkan pakaian yang cocok untuk Mutia.

"Kamu tidak perlu memakainya sekaligus, Sayang. Lagi pula, aku ingin membelikan baju-baju ini untuk istriku. Aku mau membuatmu terlihat lebih cantik lagi."

Mutia kembali tersipu mendengar pujian tersebut. Ferian benar-benar lelaki yang baik.

Setelah lelah berbelanja, Ferian dan Mutia memutuskan untuk makan malam karena perut mereka sudah keroncongan. Mereka makan di restoran burger yang belum pernah Mutia kunjungi. Di sela makan, Mutia dan Ferian bercengkerama, dari sana Mutia ingin mengenal lebih jauh sosok yang akan menjadi imamnya kelak.

"Aku ingin tanya sesuatu sama kamu, boleh?"

Ferian mengiyakan. Ia mempersilakan gadisnya untuk bertanya apapun kepadanya.

"Kamu bekerja apa sebenarnya, kenapa setiap pagi kamu mengantarku ke toko, memangnya kamu tidak terlambat berangkat?"

Ferian tertawa melihat ekspresi Mutia yang lucu. Ia menghentikan gigitannya dan meletakkan burger di atas piring. "Pekerjaanku banyak. Aku bisa jadi tukang bangunan seperti ayahmu, menjadi supir pribadimu, dan lainnya," jawabnya bergurau.

"Aku serius, Mas."

Ferian tertegun, dia mengangkat sebelah alisnya menatap wajah Mutia yang sedang serius bertanya. "Kamu tadi bilang apa?"

"Aku tidak bilang apa-apa." Kini giliran Mutia yang bercanda.

"Coba ulangi lagi," perintah Ferian tajam.

"Iya, Mas."

Sederet senyum yang merekah terpampang indah di wajah Ferian. Mutia yang melihatnya jadi ikut tersenyum manis.

"Oh, akhirnya …" Ferian merasa bahagia sekarang setelah mendengar panggilan yang diucapkan oleh Mutia untuknya.

"Sebenarnya, aku mau minta izin kepadamu, Mas," kata Mutia tiba-tiba.

"Izin apa?" Ferian penasaran dibuatnya.

"Apa aku boleh membuka hati untukmu?"

"Tentu saja! Kenapa harus izin dulu? Aku sangat senang karena kamu mau membuka hati untukku."

Ferian tersenyum senang. Sudut bibirnya sedikit terangkat, senyum miring yang biasa ia tampilkan terbit kala Mutia menundukkan kepalanya meminum minumannya. Akhirnya usaha penaklukan hati gadis di depannya kini sudah berhasil. Tinggal menunggu rencana selanjutnya berjalan dengan baik.

 

Bersambung ...