webnovel

Hari Pertunangan

Satu minggu setelah jawaban lamaran Doni, gadis berambut sebahu itu akhirnya resmi diikat oleh lelaki pilihan sang ayah. Namanya Ferian Nugroho, lelaki yang kini sebentar lagi akan menjadi suaminya. Lelaki gondrong dengan jambang tipis yang mengitari dagu hingga mulutnya itu terlihat bersih dengan rambut yang sudah terpotong rapi dan rambut-rambut halus di rahangnya kini sudah tidak terlihat mengganggu lagi. Setidaknya lelaki itu sudah tidak menakutkan seperti sebelumnya.

Usai pertemuan terakhir dengan Doni, hari-hari Mutia kembali suram. Cahaya yang semula sudah memberinya keterangan kini redup dan padam sudah. Ada rasa tidak rela melepaskan tambatan hatinya yang masih terluka. Luka di hatinya pun masih saja basah, entah sampai kapan ia akan kering.

Yang jelas, hari ini Mutia harus sedikit tegar dan bahagia karena keluarga Ferian datang ke rumah gubuknya untuk melaksanakan pertunangan. Mutia tidak tahu bagaimana acara ini bisa dilakukan secepat ini, semua sudah dipersiapkan oleh ayah dan juga keluarga Ferian. Mutia hanya menerima saja.

Saminem mengelus bahu putrinya yang terlihat cantik. Riasan tipis di wajah anak gadisnya membuat Mutia semakin manis. Ia meminta agar Mutia tersenyum dan mengikhlaskan semua peristiwa yang sudah terjadi. Mutia harus membunuh rasa cintanya kepada Doni yang baru saja berbunga.

Gadis itu tersenyum paksa. Ia dituntun oleh ibunya menuju ruang tamu, di mana keluarga Ferian sudah hadir dan duduk di lantai tanah rumah Mutia yang dialasi tikar. Mutia duduk di sebelah Maula dan Saminem, sedangkan Ferian dan ibunya duduk di sebelah kiri mereka.

Ferian menatap kedatangan Mutia yang terlihat ayu. Dia melirik dari sudut matanya ke arah gadis itu yang dari posisi duduknya terlihat jelas wajah cantiknya. Ia tersenyum menang. Tidak menyangka bahwa dia akan segera menikahi gadis secantik dirinya.

Uni menatap punggung Mutia dalam cemas. Di balik tirai yang menjadi pemisah antara ruang tamu dan dapur, dia duduk menunggu. Mendengarkan acara pertunangan sahabatnya dalam perasaan gundah. Ia baru saja menerima pesan bahwa Doni akan datang mengucapkan selamat utuk Mutia dan juga Ferian. Entah, firasatnya berubah tidak enak setelah membaca pesan tersebut. Dia takut akan terjadi sesuatu jika lelaki itu benar-benar datang.

Acara pertunangan pun dimulai, ada beberapa perangkat desa yang hadir di rumah Mutia sebagai saksi dan perwakilan dari keluarga Mutia untuk menyampaikan beberapa kata. Acara itu berlalu dengan cepat hingga tiba di sesi menyematkan cincin yang dilakukan oleh Ferian kepada Mutia. Gadis itu terpaksa mengulurkan tangannya kepada lelaki itu agar Ferian dengan mudah memakaikan cincin di jari manisnya.

Kini jari manis Mutia sudah tidak kosong lagi. Ada sebuah benda yang tersemat di sana. Benda yang memikir arti bahwa dirinya sudah diikat oleh seorang lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imamnya. Mutia menatap jemarinya dalam pandangan kosong.

Deru mobil yang parkir di halaman rumahnya mengalihkan pandangannya. Lelaki yang satu minggu lalu ia lihat, kini tengah berjalan menuju rumahnya. Doni datang tanpa sepengetahuannya dan dengan santainya lelaki itu memberikan selamat kepada kedua keluarga atas pertunangan ini.

Mutia meringis. Hatinya kembali perih melihat senyum Doni yang tulus. Mungkinkah lelaki itu sudah sembuh dari lukanya ataukah lelaki itu tengah berusaha tegar menghadapinya?

Kini Doni berdiri berhadapan dengan Mutia di samping Ferian. Mereka memutuskan untuk berbincang secara terpisah di teras rumah Mutia. Uni yang melihat kedatangan Doni lantas menyusul mereka.

"Selamat ya, atas pertunanganmu, Mutia," ucap Doni menjabat tangan Mutia.

"Terima kasih, Bang, sudah mau datang."

Doni tersenyum lembut. "Selamat untukmu, Tuan. Tolong jaga Mutia dengan baik." Kini Doni berjabat tangan dengan Ferian untuk kali pertama. Tatapan mereka beradu. Tatapan Doni yang penuh amarah sedangkan Ferian penuh kemenangan.

"Pasti itu. Terima kasih ya."

Doni mengernyit. Tiba-tiba dia merasa bahwa pria di hadapannya ini tidaklah asing. Dia kembali mengingat-ingat dan yakin bahwa lelaki bernama Ferian adalah lelaki yang pernah ingin melukai Mutia saat pulang dari toko beberapa waktu lalu.

"Bukannya Tuan adalah lelaki yang mengikuti Mutia waktu itu?" tanya Doni ingat.

Mutia menoleh, ia memelototkan matanya terkejut mendengar perkataan Doni. Gadis itu pun ikut menatap Ferian dengan lekat. Ia sekarang ingat bahwa lelaki di sampingnya itu memang tidak terlihat asing dan benar saja, ternyata Ferian adalah lelaki di toko.

"Kamu?"

Ferian menatap Mutia dengan sebelah alis terangkat. Salah satu sudut bibirnya terangkat, ia balas menatap Mutia dengan tatapan menggoda.

"Kenapa kamu tidak memberitahuku?" tanya Mutia sedikit berteriak.

"Aku lupa, Sayang. Dan aku pun sama sepertimu, jika saja lelaki ini tidak ingat kepadaku, mungkin aku juga tidak akan ingat kepada kalian."

Ferian bohong. Tentu saja dia tahu, wajah Mutia tidak berbeda. Itu yang dipikirkan Doni setelah mendengarkan penuturan Ferian. Bahkan dia hampir lupa dengan penampilan Ferian yang berbeda.

"Bukankah ini namanya jodoh, Mutia Sayang? Dua kali kita bertemu di toko akhirnya aku akan menikahiku juga. Benar bukan?"

Ferian sedikit terkekeh. Mutia benar-benar sangat terkejut mengetahui kebenaran itu. Pikirannya berkecamuk, antara marah, kesal, dan juga takut. Entah kenapa Mutia menjadi takut kepada lelaki di sampingnya itu. Senyum miring dengan alis terangkat membuatnya merinding, seperti ada sesuatu dari lelaki itu.

"Mungkin benar kalau kalian berjodoh, tetapi ingat Tuan, jika anda melukai Mutia sedikit saja atau membuatnya menangis, saya tidak akan segan merebutnya dari anda," ancam Doni dengan suara yang ditekan.

"Tenang saja, Tuan. Kamu tidak perlu marah begitu. Mutia akan menjadi istriku, jadi sudah tugasku untuk membahagiakannya."

Ferian lantas meninggalkan mereka, lelaki itu masuk ke dalam rumah dan bergabung dengan keluarganya.

Doni menatap Mutia dengan raut khawatir. Uni yang sejak tadi hanya menonton akhirnya membuka suara, dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi kepada sahabatnya itu.

Setelah mendengarkan cerita dari Doni, akhirnya Uni tahu kebenarannya. Ia memeluk Mutia erat, mencoba menenangkan pikiran sahabatnya. Doni pun berjanji akan selalu mengawasi Mutia dan meminta gadis itu untuk menghubunginya jika terjadi sesuatu yang tidak wajar.

Mutia sungguh menyesal telah melukai Doni, lelaki itu tetap saja berbuat baik kepadanya dan terlihat masih mencintainya.

***

Keesokan harinya, Ferian datang ke rumah Mutia. Lelaki itu ingin mengajak gadisnya bepergian. Sebelumnya mereka belum pernah pergi bersama dan berkencan, jadi ini adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk saling mengenal satu sama lain sebelum hari pernikahan tiba.

Ferian sudah berjanji kepada Maula bahwa apapun hal-hal yang tidak ia sukai dari Mutia, lelaki itu akan tetap menikahi anak gadisnya dan akan membuat Mutia mencintainya, sama seperti gadis itu mencintai Doni. Tentu saja Ferian tahu apa hubungan Doni dengan calon istrinya itu. Di samping setelah mendengarkan cerita Maula saat ia berkunjung, dia juga melakukan pengintaian kepada Doni.

Doni Hermanto masih memiliki keturunan darah yang sama dengannya, hanya saja keluarga Doni adalah sepupu jauh ayahnya dan artinya Doni adalah sepupu jauh Ferian juga. Ferian mendengus mengetahui informasi tersebut. Lelaki yang satu tahun lebih muda dari Ferian ternyata sangat mencintai calon istrinya. Dia akan berusaha menghilangkan perasaan Mutia kepada lelaki itu dan membuat perhitungan kepada Doni.

"Kita mau ke mana?"

Sejak Ferian menjemput Mutia dan mengajak gadis itu pergi, Mutia hanya diam mengikutinya. Ia tidak menyangka kalau gadisnya akan mengeluarkan suara juga. Ferian tahu bahwa Mutia sangat tidak menyukainya dan ia tidak mempermasalahkan hal sepele tersebut.

"Kita akan jalan-jalan ke tempat hiburan, bagaimana kamu mau tidak?" tanya Ferian sembari mengemudikan kendaraannya.

Mutia hanya diam. Dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela tanpa menjawab pertanyaan Ferian.

"Kuanggap kamu setuju, Sayang."

Mendengar panggilan yang diucapkan oleh lelaki itu membuat Mutia menoleh, ia menatap Ferian dengan tatapan membunuh. Namun, Ferian tidak mengacuhkannya, justru Mutia mendapatkan senyuman manis darinya.

"Berhenti memanggilku seperti itu. Aku tidak suka mendengarnya," ujar Mutia merajuk.

"Kenapa? Kamu sebentar lagi akan menjadi istriku, Sayang, tentu saja aku harus memanggilmu begitu. Atau kamu mau kupanggil Istriku saja, hem?"

Ferian kembali menggodanya dan tidak terasa wajahnya memanas mendengarkan godaan itu. Mutia semakin mengalihkan wajahnya agar tidak terlihat oleh Ferian. Jantungnya pun mulai berdetak lebih kencang dari biasanya.

Ferian melirik Mutia dengan senyuman puas. Dia akan kembali menggoda gadis itu agar segera takluk kepadanya.

Bersambung ...