webnovel

Pernikahan

Tiba di hari bahagia, gubuk kecil milik keluarga Maula kini berubah menjadi tempat pesta yang megah. Pelaminan berdekorasi serba putih dengan aneka bunga berwarna lembut disertai lampu yang menyala terang membuat panggung kecil itu terlihat gemerlapan. Meja dan kursi akad telah siap yang diletakkan di depan panggung pelaminan, diikuti deretan kursi untuk para tamu undangan. Rumah Maula benar-benar ramai dengan banyak orang yang datang memeriahkan hari bahagia keluarga mereka.

Di kamar Mutia, gadis itu tengah dirias oleh beberapa orang dari perias pengantin. Acara pernikahan Mutia diselenggarakan cukup sederhana karena hanya akad dan tidak ada resepsi. Semua itu adalah keinginan Mutia, gadis itu tidak mau merepotkan pihak lelaki dengan menyelenggarakan pernikahan yang mewah.

Memakai kebaya putih dengan rambut yang disanggul minimalis, Mutia terlihat sangat menawan di hari bahagianya. Ia telah selesai dirias dan sedang diiring menuju meja akad. Penghulu, sang ayah, serta Ferian sudah terlebih dulu duduk di sana, menunggu kedatanganya.

Akad nikah pun berjalan khidmat, seusai kalimat qobul diucapkan oleh Ferian dengan satu tarikan napas lalu diiringi ucapan sah bersamaan, status Mutia kini sudah sah menjadi seorang istri. Seorang istri dari lelaki bernama Ferian. Mutia menyalami tangan suaminya, menciumnya penuh kelembutan. Mulai saat ini, ia akan mengabdi untuk imamnya dan akan selalu patuh kepada Ferian.

Ferian tersenyum senang. Gadis di sampingnya itu telah menjadi istri sahnya. Ia tidak menyangka bahwa rencananya akan berjalan dengan mudahnya. Dari awal dia bahkan tidak yakin bahwa ia bisa membuat Mutia jatuh hati kepadanya. Namun, di luar dugaannya gadis itu justru dengan mudahnya terpesona kepada Ferian.

Ia menatap sang ibu yang duduk di deretan kursi tamu dengan wajah sumringah. Maria membalas senyum putranya dengan tidak kalah bahagia. Ditatapnya wajah Mutia yang tengah memandangnya, lantas dikecupnya kening gadis itu. Ini kali pertama Ferian mencium sang istri. Ada rasa gugup yang menjalar tubuhnya ketika ia mendekatkan wajahnya ke arah Mutia.

***

Usai acara pernikahan selesai, Mutia langsung dibawa ke rumah Ferian. Gadis itu mulai saat ini akan tinggal di kediaman Ferian yang memiliki rumah yang besar. Di rumah itu, ia tidak tinggal sendirian. Di sana ada ibu mertua, kakak ipar, dan juga beberapa asisten rumah tangga yang akan membantu semua kebutuhannya. Mutia merasa dirinya sangat beruntung. Ia bisa menikahi lelaki yang berasal dari kalangan atas yang akan memperlakukannya bak seorang ratu.

Tiba di rumah Ferian, gadis itu digiring oleh suaminya menuju kamar mereka yang berukuran besar. Ferian menyuruhnya untuk berganti pakaian dan istirahat. Mutia mengiyakan. Dia tidak memedulikan suaminya yang kemudian keluar kamar tanpa mengucapkan sepatah kata. Mungkin Ferian akan menemui keluarganya di ruang keluarga sambil menunggunya berganti pakaian.

Setelah Mutia selesai mengganti pakaian dengan pakaian rumah, ia keluar kamar dan mencari batang hidung suaminya. Hari ini rencananya ia ingin berkenalan dengan semua penghuni di rumah ini dan berharap suaminya itu mau mengenalkan rumah yang akan menjadi tempatnya pulang itu.

Kini gadis itu sudah tidak bekerja lagi di toko. Ferian memintanya untuk keluar dan fokus mengurus rumah serta suaminya. Mutia mengiyakan tanpa berpikir dua kali. Selagi suaminya masih mampu memberinya nafkah, maka ia akan senang hati mematuhi semua perintah Ferian.

Rumah besar itu terlihat sepi, tidak ada siapapun di rumah selain dirinya. Mutia lantas berkeliling mencari keberadaan para penghuni rumah barunya. Ia menuju dapur, berharap ada asisten rumah tangga yang sedang memasak di sana. Namun, dapur terlihat kosong, peralatan masak pun tersusun rapi di tempatnya.

Mutia mengernyit, ia bingung ke mana semua orang di rumah ini dan kenapa tidak ada satupun asisten rumah tangga yang ada di rumah. Tadi sewaktu Mutia tiba di rumah, Ferian memang membuka pintu sendiri dan tidak nampak seorang pun di dalam rumah. Ibu mertua dan kakak iparnya pun lantas bergegas menuju kamar masing-masing. Mungkinkah mereka sedang diliburkan hari ini mengingat adalah hari pernikahannya dengan Ferian?

Lama Mutia menunggu kedatangan Ferian dan keluarganya hingga malam tiba, perutnya mulai keroncongan sebab setelah acara selesai ia belum sempat makan siang. Akhirnya Mutia memberanikan diri mencari bahan makanan di dapur untuk diolah, siapa tahu saat jam makan malam tiba mereka akan pulang. Pukul sepuluh malam, rumah itu masih saja kosong. Tidak ada satu pun yang tiba di rumah, makan malam yang sudah ia siapkan pun akhirnya Mutia simpan di kulkas untuk dihangatkan besok pagi.

Seketika Mutia merasa dirinya bodoh. Selama bersama Ferian, ia tidak sekalipun meminta nomor telepon suaminya, maka di saat seperti inilah dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu suaminya pulang. Mutia menunggu suaminya hingga kelelahan dan tidur di kamarnya seorang diri. Hatinya merasa gelisah membayangkan sesuatu yang buruk terjadi kepada keluarganya. Namun ia hanya bisa berdoa dan memutuskan untuk tidur.

Keesokkan harinya ketika Mutia bangun, rumah masih saja kosong. Ia lantas menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah sembari menunggu mereka pulang. Ketika ia sedang mengepel, bel rumah berbunyi, dengan segera Mutia bergegas membukakan pintu dan terkejut melihat kedatangan mereka. Ibu mertua dan kakak iparnya akhirnya pulang, ia mencium tangan ibu mertuanya yang langsung berlalu begitu saja.

Pandangannya lantas menangkap sosok suaminya yang turun dari mobil, ia tersenyum senang namun senyumannya berubah suram ketika melihat seorang perempuan cantik yang juga turun bersama Ferian. Dilihatnya Ferian menggandeng tangan perempuan itu dengan senyum manisnya. Hati Mutia mendadak sesak melihat pemandangan tersebut, namun segera ia tepis dan mencoba berpikir positif.

Ia segera berlari menghampiri Ferian dan menyalami tangan lelaki itu.

"Mas, semalam ke mana saja, kenapa baru pulang?" tanya Mutia.

Lelaki itu hanya menatapnya, sedangkan perempuan yang bergandengan dengan Ferian menyerahkan koper miliknya kepada Mutia.

"Mbak, tolong bawakan ke kamarku ya," ucapnya.

Mutia menatap koper dan perempuan itu bergantian. "Kamu siapa?" tanya Mutia.

"Sudah bawakan saja ke kamarku, nanti kamu juga tahu," ujar Ferian dingin membuat Mutia membeku di tempat.

Dia lantas menuruti perintah suaminya dan mengekori mereka dengan hati yang memanas. Mutia meletakkan koper perempuan itu di kamar suaminya, kamar yang ditempati oleh Mutia semalam.

"Mulai hari ini kamu pindah kamar ke belakang ya, kamar ini akan kami gunakan," kata Ferian santai. Ia menyelipkan anak rambut ke belakang telinga perempuan itu dengan senyum bahagia.

"Iya, t-tapi kenapa, Mas? Bukankah aku akan tidur denganmu di sini?"

"Siapa yang akan tidur denganmu, Mutia?"

Itu suara ibu mertua Mutia yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu bersama kakak iparnya. Suara yang cukup menggelegar itu mengejutkan Mutia, membuat perempuan itu berjingkat kaget dan membalikkan badan.

"Kamar ini milik Ferian dan istrinya, Weni. Sekarang cepat pindahkan semua barang-barangmu ke kamar belakang!"

"Maksud Ibu apa? Tolong jelaskan dan siapa perempuan bernama Weni ini? Istri Mas Ferian? Bukankah itu saya, Bu?"

Astuti mendengus mengejek. "Kamu memang istrinya Ferian, namun Weni juga istri Ferian. Karena kamu istri pertama, maka kamu harus mengalah untuk Weni. Biarkan dia tidur di kamar ini sedangkan kamu di kamar belakang."

Hati Mutia bagai tersambar petir mendengar penuturan tersebut. Jadi dia dimadu di hari pernikahannya? Air mata Mutia berlinangan juga, ia menatap Ferian penuh penjelasan, memohon bahwa apa yang sudah didengarnya dari ibu mertua adalah salah.

"Sudahlah, Mutia Sayang, kamu tidak usah menangis. Lebih baik turuti saja perkataan Ibu agar aku bisa segera istirahat dengan tenang."

"Jadi, semua ini benar? Kamu menikah tanpa izinku, Mas?"

"Aku bisa menikah tanpa izinmu, Mutia. Sudahlah, segera kemasi barangmu dan keluar dari kamar ini!"

Mutia kembali berjingkat mendengar suara Ferian yang membentaknya. Air matanya kembali menderas, ia tidak percaya bahwa suaminya memarahinya untuk pertama kali. Segera Mutia mengambil tasnya dan membawanya keluar kamar menuju kamar belakang yang biasa dipakai oleh asisten rumah tangga. Rumah tangga bahagia yang menjadi impiannya kini sudah hancur di hari kedua ia menjadi seorang istri.

"Jangan lupa, setelah ini kamu siapkan makan siang dan makan malam untuk kami. Mulai saat ini tidak ada asisten rumah tangga lagi dan semua urusan kebersihan adalah tanggungjawabmu, Mutia."

Hatinya benar-benar sakit, bukan hanya dimadu namun ia juga dijadikan babu oleh keluarga suaminya. Keluarga yang menyambutnya dengan sangat baik saat kali pertama Ferian mengenalkannya kepada keluarga ini ternyata hanyalah kebohongan. Sama seperti suaminya yang ternyata mempermainkan perasaannya.

Bersambung ...