webnovel

Pelunasan Utang

Mutia sampai di rumah pukul sebelas malam dengan keadaan rumah yang sudah gelap. Maula dan Saminem sudah tidur lebih dulu karena kelelahan mengunjungi desa sebelah untuk mendapatkan pinjaman.

Doni langsung pulang begitu sampai di pekarangan rumah Mutia.

Mutia menghela napasnya lelah sembari meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Bekerja seharian penuh membuat tubuhnya belum terbiasa dengan aktivitas barunya ini. Ia lantas menyimpan upah yang didapatkan barusan ke dalam laci meja rias dan menyatukannya dengan uang yang sudah ia kumpulkan sebelumnya.

Gadis itu lantas membaringkan tubuhnya setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia mengabaikan badannya yang terasa lengket akibat berkeringat seharian ini agar tidak mandi di malam hari meski pada awalnya ia sulit memejamkan matanya. Mutia lantas tertidur pulas, mengistirahatkan tubuhnya yang sudah bekerja keras.

Keesokan paginya, rumah terasa sepi ketika Mutia beranjak bangun menuju kamar mandi. Ia melongok ke arah dapur yang hanya ditempati oleh beberapa alat masak dan tungku kayu. Di ruang tamu pun ia tidak menemukan ayahnya yang setiap pagi akan minum kopi sambil merokok.

Mutia mengernyitkan keningnya heran. Kemanakah kedua orang tuanya pagi ini? Bahkan di meja makan pun belum ada satu makanan pun yang tersaji di sana. Ia lantas segera menanak nasi dan menggoreng tahu dan tempe untuk sarapan pagi ini dengan tak lupa menyisakan makanan untuk Maula dan Saminem ketika pulang nanti.

Seusai sarapan, Mutia lalu bergegas berangkat bekerja seperti biasa. Pagi ini sebenarnya ia ingin memberitaku perihal pekerjaannya kepada Maula dan Saminem. Berhubung mereka tidak ada di rumah maka Mutia akan memberitahunya ketika pulang bekerja nanti. Ia akan menyempatkan pulang lebih dulu sebelum bekerja di tempat hiburan.

Sesampainya di toko, Uni yang melihat kedatangan sahabatnya lantas menginterogasi perihal pekerjaannya.

"Gimana, semalam aman kan?"

Mutia mengangguk. Ia meletakkan tasnya di loker lalu mengambil kain lap untuk membersihkan etalase.

"Syukurlah kalau begitu. Semalam aku khawatir kamu kenapa-kenapa," ujar Uni sambil tersenyum ceria. "Bang Doni orangnya baik kan?"

Mutia mengangguk lagi. "Semalam aku merepotkan dia," ucap Mutia.

"Merepotkan apa?" Uni terlihat sangat penasaran.

"Bang Doni jauh-jauh harus mengantarku pulang karena aku nggak dapat angkot untuk pulang." Wajah Mutia seketika muram. Ia mengingat kejadian semalam yang entah kenapa masih terasa mengganjal di hatinya. Ada rasa sungkan dan tak enak hati kepada Doni.

Uni merengkuh tubuh Mutia, tangannya menepuk-nepuk bahu Mutia. "Nggak apa-apa kok. Toh, Bang Doni mau mengantarmu pulang."

"Tetapi aku nggak enak hati sama beliau, masa di hari pertama kerja aku malah merepotkannya."

Uni tersenyum manis. Ia lantas kembali bekerja dan meninggalkan Mutia yang masih muram.

***

Mutia pulang ke rumah lebih dulu setelah menutup toko. Maula dan Saminem kebetulan tengah duduk mengobrol menikmati sore di teras rumah mereka.

"Assalamualaikum, Pak, Mbok," ucap Mutia lalu menyalami tangan kedua orang tuanya.

"Waalaikumsalam, Nduk. Kamu sudah pulang?" tanya Maula.

Mutia mnegiyakan. Ia lalu duduk di sebelah Maula.

"Semalam kamu pulang jem berapa toh, Nduk? Simbok dan Bapak khawatir sekali karena kamu tidak segera pulang padahal Uni sudah pulang seperti biasanya," ujar Maula menatap Mutia lembut.

"Maafkan Mutia, Pak. Kemarin aku lupa nggak bilang dan izin sama Bapak dan Simbok," katanya menyesal. "Kemarin Mutia bekerja tambahan, Pak. Gajinya lumayan per harinya," sambung Mutia kemudian.

"Kamu kerja di mana, Nduk?" tanya Saminem.

"Di tempat hiburan, Mbok. Mutia jadi peracik minuman dan kasir di sana."

Maula dan Saminem terkejut mendengar ucapan Mutia. Wajah mereka seketika menengang dan memerah.

"Kenapa kamu kerja di sana?" tanya Maula datar. Lelaki tua itu menahan amarahnya.

"Mutia terpaksa, Pak. Demi menulasi uang maka Mutia ambil saja pekerjaan itu." Mutia menunduk. Mengutarakan kerisauan hatinya.

"Apa yang akan orang-orang bilang kalau sampai mereka tahu, Pak?" tanya Saminem panik. "Kamu lebih baik keluar dari pekerjaan itu, Nduk. Malu kalau tetangga sampai tahu kamu kerja di sana!"

"Tapi Mbok, ini darurat. Demi menulasi utang saja, Mbok, setelah itu aku akan keluar dari pekerjaan itu."

Mutia membujuk ayah dan ibunya.

"Benar apa kata Simbok, lebih baik kamu tidak bekerja di sana. Masalah utang, sudah kami lunasi semua," kata Maula kemudian.

Kini berganti Mutia yang terkejut mendengar kabar tersebut.

"Bagaimana bisa, Pak? Kalian dapat uang sebanyak itu dari mana?"

Maula lalu menceritakan perihal saudagar kaya dari sdesa sebelah yang mau menolongnya. Pagi tadi, ia dan istrinya datang ke rumah penagih utang yang beberapanhari lalu datang ke rumah mereka untuk melunasi semua utang-utangnya. Kini, utang mereka telah lunas dan nasib rumah mereka tidak akan diratakan dengan tanah.

"Lalu bagaimana kita akan membayar kepada saudagar itu, Pak?"

Maula mendesah. "Masalah itu biar kita pikirkan nanti, sekarang kamu masuk ke dalam, masak untuk makan malam," perintahnya.

Mutia menggeleng. "Nggak bisa, Pak. Kita harus segera cari jalan keluarnya dari sekarang. Kita bahkan tidak tahu bahwa saudagar itu benar-benar baik atau tidak. Mutia nggak mau karena kita lalai membayar utang, keluarga kita jadi terancam, Pak."

Maula dan Saminem terdiam.

"Sudahlah, Nduk. Apa yang mau dikhawatirkan? Jelas-jelas keluarga itu memang baik, buktinya mereka mau menolong kita." Saminem masih tetap pada keyakinannya.

"Izinkan Mutia tetap bekerja untuk melunasi utang pada saudagar itu, Pak, Mbok. Aku mohon."

Gadis itu memelas, memohon izin kepada orang tuanya sambil terisak.

"Bapak sudah katakan tidak boleh. Apa kamu tidak dengar, Nduk?" Maula marah, ia lantas menyeret tubuh Mutia masuk ke dalam kamarnya lalu menguncinya.

Bersambung ...