webnovel

Bekerja di Tempat Hiburan

Mutia kembali bekerja di toko seperti biasanya sambil mencari pekerjaan tambahan. Uni, sahabatnya belum memberitahu informasi lowongan pekerjaan kepadanya. Sepertinya memang sedang tidak ada lowongan yang buka. Mutia mendesah. Waktu yang tersisa tinggal dua hari lagi dan ia masih membutuhkan banyak uang.

Kedatangan Uni yang tiba-tiba mengejutkan Mutia. Gadis itu berseru kaget sambil mengelus dadanya yang hampir copot.

"Astaga, Uni! Kamu ngagetin saja," seru Mutia.

"Hehe, maaf ya Mutia. Habisnya aku lihat kamu melamun, jadi aku iseng deh kagetin kamu," sahut Uni sedikit terkekeh.

"Hufft, untung jantungku masih sehat, kalau nggak mungkin aku akan mati di tempat."

"Jangan bilang begitu, ucapan adalah doa loh," ujar Uni mengingatkan.

Mutia lantas cepat beristighfar. Menyebut nama Tuhan dan meminta maaf.

"Gini, Mut, aku ada lowongan tapi kerjanya di tempat hiburan. Gimana, kamu mau nggak?"

"Tempat hiburan gimana maksudnya?" tanya Mutia bingung.

"Tempat karaoke," singkat Uni.

Mutia sedikit terkejut. Ia tidak mungkin akan bekerja di tempat seperti itu.

"Kamu jangan berburuk sangka dulu. Tenang, kamu nggak akan jadi penghiburnya, kamu cukup berdiri di belakang meja bar dan membuatkan minuman untuk pengunjung," tambah Uni yang melihat gurat kekhawatiran di wajah sahabatnya. "Gajinya juga lumayan loh per hari. Kamu bisa datang setelah dari toko sampai jam sepuluh malam saja."

Mutia bimbang.

Di satu sisi ia sangat membutuhkan uang untuk melunasi utang orang tuanya, sedangkan di sisi lain hati kecilnya menolak lowongan tersebut. Mutia adalah gadis baik yang tidak pernah pulang larut malam. Ia akan pulang sebelum magrib tiba dan berdiam diri di rumah ketika malam.

Ia juga tidak tahu bagaimana situasi dunia malam yang sesungguhnya. Mutia takut hal-hal buruk akan datang kepadanya. Namun, jika ia tidak mengambil kesempatan ini maka nasib rumahnya akan rata dengan tanah dan mereka akan kehilangan tempat perlindungan.

"Aku mau bekerja di sana, Ni," putusnya kemudian setelah berpikir cukup lama. Ia menyakinkan diri bahwa tidak akan ada hal yang terjadi selama bisa menjaga diri dan berperilaku baik.

Uni tersenyum senang. "Oke, nanti aku bilang ke temannya abangku ya. Mulai nanti malam kamu udah bisa bekerja. Ini alamatnya," kata Uni sambil menyodorkan selembar kertas bertuliskan alamat tempat bekerja Mutia yang baru.

"Terima kasih ya, Uni."

"Sama-sama. Kalau ada hal-hal buruk terjadi sama kamu, bilang saja sama teman abangku, namanya Doni. Dia orangnya baik kok," ucapnya lagi mencoba menenangkan kekhawatiran sahabatnya.

Mutia hanya mengangguk dan menyimpan alamat tersebut di saku pakaian kerjanya.

Setelah jam kerja di toko selesai, Mutia lantas datang ke alamat yang diberikan oleh Uni. Dia menemui seseorang bernama Doni yang menjabat sebagai manajer tempat tersebut.

Doni menyambut Mutia dengan baik, dia menjelaskan pekerjaan Mutia selama di sana dan apa saja yang harus dilakukannya.

Mutia mengiyakan. Dia adalah pembelajar yang baik dan cepat memahami pekerjaannya.

"Kalau ada apa-apa bilang sama saya ya. Kamu adalah sahabat Uni, jadi saya memiliki tanggung jawab untuk jaga kamu juga," ujar Doni sebelum ia meninggalkan Mutia di balik meja bar.

"Baik, Bang."

Seusai memberikan seragam kerja kepada Mutia, lelaki tinggi itu lantas pergi menyelesaikan pekerjaannya.

Malam ini, Mutia bekerja bersama seorang teman baru yang sudah lama bekerja di tempat itu. Dia seorang lelaki yang usianya lebih muda dari Mutia. Ardi adalah seorang mahasiswa dan karyawan di sana. Lelaki muda itu pun sangat baik kepada Mutia, mau mengajari gadis itu meracik beberapa minuman bersoda maupun alkohol.

"Mbak, belum terbiasa sama alkohol ya?" tanya Ardi yang melihat ekspresi wajah Mutia ketika ia menuangkan alkohol ke dalam gelas untuk pelanggan.

Mutia menggeleng cepat. Ia bahkan belum pernah melihat minuman terlarang tersebut secara langsung.

"Wajar kok, Mbak. Nanti kalau Mbak Mut udah lama di sini juga akan terbiasa. Dulu aku juga begitu, Mbak."

"Iya, Ar. Kalau saja aku nggak butuh uang banget, aku nggak akan menerima kerjaan ini."

Ardi mengangguk. "Semangat ya, Mbak. Kita sama-sama berjuang cari recehan."

Mutia tersenyum.

Malam pertama Mutia bekerja di sana berlalu dengan baik. Sejauh ini tidak ada hal aneh yang menimpa dirinya. Ia sekarang paham bahwa semua pekerjaan itu baik dan bagaimana cara ia mengerjakannya.

Jam kerja Mutia berakhir, ia segera merapikan meja bar dan bergegas pulang. Ia tidak mau membuat orang tuanya resah menunggu.

Mutia terhenyak. Ia menepuk dahinya pelan. Bahkan dia tidak sempat bilang kepada ayah dan ibunya bahwa ia akan pulang malam dan mendapat pekerjaan tambahan. Mutia memaki dirinya sendiri, ia terkadang menjadi bodoh jika mendapatkan hal-hal yang membuat hatinya senang.

"Kenapa Mbak?"

Ardi, lelaki itu sudah berdiri di samping Mutia ketika selesai absensi pulang.

"Nggak apa-apa, aku harus segera pulang takut orang tua mencariku. Tadi aku lupa nggak bilang sama mereka karena langsung ke sini setelah tutup toko," jawab Mutia.

"Ya sudah, lekaslah pulang Mbak. Nanti mereka khawatir loh."

"Iya. Kalau begitu aku duluan ya, Ar," pamit Mutia.

"Hati-hati di jalan, Mbak."

Mutia lantas menuju ke halte terdekat untuk menunggu bus atau angkot yang lewat. Jarak tempat bekerja dengan rumahnya cukup jauh dan membutuhkan waktu dua puluh menit perjalanan dengan kendaraan.

Dia menunggu dalam waspada dan khawatir. Malam semakin larut dan jalanan terlihat mulai sepi. Ia takut tidak bisa mendapat kendaraan yang membawanya pulang. Jika hal tersebut terjadi maka Mutia terpaksa jalan kaki selama empat puluh menit agar sampai rumah.

Mutia tidak berhenti menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, berharap ada satu kendaraan yang mau mengantarnya pulang. Hampir tiga puluh menit ia berdiri di halte mengamati jalanan yang kosong. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan kaki daripada menunggu lebih lama karena sudah dipastikan tranportasi umum telah berhenti beroperasi.

Mutia hendak melangkahkan kakinya menjauhi halte, sebuah suara yang tidak asing memanggilnya. Doni menghentikan laju motornya di trotoar, memanggil Mutia dan mengajaknya pulang.

"Ikut saya saja, Mutia. Kalau malam memang sudah nggak ada angkot yang lewat. Daripada kamu pulang kemalaman mending kuantar saja."

"Saya nggak enak, Bang."

"Udah, nggak apa-apa. Aku tahu rumah Uni, rumahmu dekat kan sama rumahnya?"

Mutia mengiyakan. Ia lantas naik ke motor Doni dan pulang bersama lelaki itu.

Bersambung ...