webnovel

Rencana

Seorang pria berusia hampir tiga puluh tahun sedang menerima telepon dari seseorang. Ia berjalan menuju kursinya lantas duduk di sana sambil memutuskan sambungan teleponnya. Pria itu memanggil seorang lelaki dengan badan kekar, memberinya instruksi, dan kemudian pergi. Dia tersenyum miring memikirkan rencana yang dibuatnya akan membuahkan hasil yang baik.

Tidak berselang lama, seorang pria gendut dengan kemeja bermotif yang dua kancing teratasnya dilepaskan, memamerkan bagian dadanya datang dengan langkah siap. Lelaki itu melaporkan kejadian yang baru saja dia dapatkan.

"Jadi, mereka minta kelonggaran waktu lagi?"

Pria gendut itu mengiyakan.

"Mereka memiliki seorang putri yang cukup cantik, Bos," imbuhnya kemudian.

"Aku sudah menyuruh anak buahku untuk menyelidikinya. Kita akan tahu siapa gadis yang kamu maksud itu."

Si pria gendut menganggukkan kepalanya dan berpamitan pergi meninggalkan pimpinannya yang sedang duduk menikmati informasi yang baru saja didapatkannya itu.

Ada kilat ketertarikan yang terpancar dari kedua matanya yang tajam. Bibirnya tersungging, menampilkan seutas senyum miring yang cukup mengerikan.

Lima jam kemudian, lelaki itu pulang ke rumah memenuhi panggilan ayahnya yang menyuruhnya segera pulang. Seperti biasanya, keadaan rumahnya selalu ramai dipenuhi orang-orang yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan.

Ayahnya adalah orang paling kaya di desa. Hidup yang bergelimangan harya membuat ayahnya menginginkan lebih banyak harta lagi dengan cara memutarkan uang yang ia miliki untuk dipinjamkan kepada warga miskin di desanya yang rata-rata perekonomiannya sangat kurang.

Sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarganya dan sebagai penerus tentulah dia setuju dengan pemikiran sang ayah. Tidak ada salahnya menjalankan bisnis tersebut yang pastinya akan sangat menguntungkan.

Dermawan dan baik adalah kesan yang warga desanya agung-agungkan untuk ayahnya. Ia terkadang merasa geli mendengarkan berbagai macam pujian baik untuk sang ayah yang ternyata tidak sesuai dengan pemikiran mereka. Ayahnya adalah seorang lelaki tegas yang cukup kejam dan sedikit jahil. Beliau terkadang akan sedikit bermain dengan para warga yang meminjam uang kepadanya.

Dia juga diajarkan oleh sang ayah untuk bertindak demikian, agar suatu hari nanti ketika ada salah satu warga yang telat membayar maka ia sudah tahu harus berbuat apa untuk menghukum orang tersebut.

Kini, di ruang tamu yang megah dan luas, ayahnya sedang duduk di sofa kebanggaannya bersama ibu dan saudara perempuannya. Ia lantas bergabung di sana, duduk di sebelah ayahnya dan menyimak peristiwa yang sedang terjadi.

"Anda datang dari desa mana?" tanya sang ayah kepada sepasang suami istri yang datang ke rumah mereka setelah melewati antrean panjang di depan rumah.

Ya. Setiap harinya akan ada orang yang mengantre di depan rumah mereka, memenuhi halaman rumah yang luas untuk membayar pinjaman atau pun meminjam uang. Dan pasangab suami istri itu adalah salah satu orang yang datang kepada ayahnya.

Ia menampilkan senyuman hangat kepada pasangan suami istri tersebut. Mendengarkan alasan mereka meminta bantuan kepada ayahnya.

"Saya dari Desa Batur, Pak. Saat di pasar saya diberitahu oleh seseorang bahwa Bapak bisa membantu keluarga saya," jawab si suami.

"Lantas apa masalah yang keluarga Pak Maula hadapi ini?"

"Begini, Pak, kami datang kemari hendak meminjam uang kepada keluarga Bapak," kata orang itu.

Ayahnya terlihat menyunggingkan senyuman licik yang hanya sekilas.

"Jadi, Pak Maula dan Bu Saminem ini datang jauh-jauh kemari untuk meminjam uang kepada kami?" tanyanya yang kemudian diiyakan oleh pasangan suami istri tersebut.

"Kami sedang mempunyai masalah, Pak. Kami sangat menyesal dengan perbuatan kami. Kami berjanji akan melunasinya kepada anda segera setelah Bapak memberikan pinjaman kepada kami," kata Pak Maula. Wajahnya terlihat memelas dan memohon agar ayahnya mau membantu mereka.

Lelaki botak itu menghela napas berat, ia bimbang hendak memberikan pinjaman kepada Maula dan Saminem karena nominalnya sangat besar.

"Saya kasihan melihat putri kami bekerja keras untuk melunasi utang-utang kami, Pak. Dia bahkan tidak sempat bersenang-senang bersama teman-temannya.

Lelaki itu beserta keluarganya menyimak ucapan Maula dengan rasa prihatin. Ia lalu menganggukkan kepalanya. Menyuruh seorang lelaki bertubuh kekar yang berdiri tegap untuk mengambilkan uang.

Akhirnya sang ayah mau memberikan pinjaman kepada Maula dengan bunga yang tidak terlalu besar seperti perkataan warga desa lainnya.

Ia melihat Pak Maula menangis haru yang sedang ditenangkan oleh ayahnya dengan senyum licik.

"Yang penting Bapak harus melunasinya tepat waktu ya," ujar ayahnya mengingatkan bahwa setiap bulan mereka harus membayar lima ratus ribu rupiah kepadanya.

Pasangan suami istri itu menyanggupi semua kesepakatan yang ada dan lantas bergegas pulang ke rumah mereka.

"Nominal itu sangat besar, Ayah. Kenapa Ayah meminjamkannya?" tanyanya begitu mereka meninggalkan rumah mereka.

Sang ayah menatapnya dengan sorot mata yang tajam. "Kamu tahu apa maksud Ayah," ucapnya dengan penuh penekanan.

Ia mengangguk sambil tersenyum manis dan mengalihkan pandangannya kepada warga lain yang sudah duduk di sofa setelah diantar oleh anak buah sang ayah yang bertugas menjaga ketertiban.

***

Malam harinya keadaan rumahnya sudah tidak seramai tadi siang, kini tinggal beberapa warga saja yang tersisa. Setelah semua warga mendapatkan bantuan dari ayahnya, ia mendekati sang ayah yang tengah meregangkan badannya yang pegal akibat seharian penuh duduk menemui para warga.

"Ayah, ada yang ingin kuceritakan kepada Ayah," ucapnya yang lantas duduk di sofa di seberang ayahnya.

"Ada apa denganmu?"

Ia menggeleng. "Ini perihal suami istri yang datang tadi siang."

Ayahnya terdiam menatap wajah putra satu-satunya itu. Diamnya sang ayah adalah tanda bahwa ia harus mengatakannya segera mungkin.

"Sebenarnya mereka memiliki utang kepadaku. Mereka sudah telat enam bulan dan harus menulasinya dalam waktu tiga hari beserta bunganya."

"Tiga hari? Apa mereka tidak memikirkan itu?" tanya ayahnya.

Ia menggeleng. "Putri mereka yang meminta waktu itu sendiri, Ayah. Mau tidak mau kami pun menyetujuinya dengan ancaman rumah mereka akan kuratakan dengan tanah. Dan sesuai rencanaku, akhirnya dia datang juga kemari hari ini," lanjutnya sambil tersenyum sinis.

"Ah, jadi kamu mau memanfaatkan mereka?

"Benar, Ayah. Jadi bolehkah aku sedikit bermain dengan leluarga itu? Kudengar putri mereka cukup cantik."

Sang ayah lantas menyetujui rencananya. Mereka pun tertawa bersama membayangkan jika rencana tersebut berjalan lancar maka akan ada kepuasan tersendiri bagi mereka. Lagi pula, hanya pasangan suami istri tersebut yang berani meminjam uang sebanyak itu. Tentu saja tidak akan keberatan bagi mereka menerima permainan dari keluarga kaya seperti mereka bukan?

Bersambung ...