webnovel

Kecelakaan

Uni buru-buru keluar kamar ketika kakak laki-lakinya memanggil namanya dan menyuruhnya agar segera ke rumah orang tua sahabatnya. Bergegas perempuan itu berlari menyusul kakaknya yang pergi lebih dulu. Tiba di depan gubuk kecil milik orang tua Mutia, dia melihat banyak tetangga yang sudah datang lebih dulu di sana.

Rasa penasarannya semakin menjadi ketika ia melewati beberapa tetangganya. Jantungnya berdetak kencang membuat seluruh tubuhnya terasa dingin dan bergetar. Uni terus mengalihkan pikiran negatifnya dan masuk ke dalam rumah.

Hatinya mencelos melihat Saminem menangis sesenggukan di samping Maula yang terbaring tak sadarkan diri. Ia mendekati wanita tua itu, menepuk bahunya pelan, dan ikut duduk di sebelahnya.

"Apa yang terjadi, Mbok?" tanya Uni sedih. Melihat keadaan orang tua sahabatnya membuat matanya berembun.

"Bapak tertabrak sebuah mobil saat mau berangkat kerja, Nak Uni. Pengemudinya kabur setelah menabrak Bapak," ucap Saminem menangis.

Uni lantas membawa tubuh Saminem pada pelukannya. Dia mengelus punggung wanita tua itu pelan. Ada beberapa luka di tubuh Maula, satu di kepala dan sisanya di tangan serta kakinya.

Uni lalu menyuruh Saminem untuk tenang dan meminta kakaknya agar membawa Maula ke puskesmas. Saminem menolak. Wanita itu tidak berani membawa suaminya ke tempat pengobatan karena tidak adanya biaya. Hal tersebut yang membuat para tetangga yang menemukan tubuh Maula tergeletak di jalanan lantas membawanya pulang lantaran menuju puskesmas terdekat.

"Simbok nggak usah khawatir ya, Uni akan bantu biayanya. Sekarang ayo kita ke puskesmas agar Bapak segera mendapatkan perawatan dan sadarkan diri."

Uni memapah tubuh renta Saminem menuju mobil milik tetangga yang akan mengantar mereka menuju puskesmas, sedangkan kakak laki-lakinya Uni beserta beberapa tetangga bergotongroyong membopong tubuh Maula yang belum sadarkan diri.

Di puskesmas, ayah Mutia mendapatkan perawatan oleh para perawat dna dokter yang bertugas. Uni mencoba menghubungi Mutia namun tidak mendapatkan jawaban. Dia harus memberitahukan perihal ayahnya yang mengalami kecelakaan, namun mengingat Mutia yang tidak bisa dihubungi membuat Uni hanya meninggalkan pesan singkat dengan harapan sahabatnya segera membaca pesan tersebut.

Sudah sangat lama ia dan Mutia tidak berhubungan. Sejak Mutia menikah, ia tidak berkirim pesan dengan perempuan itu dan memilih fokus bekerja. Toh, Mutia pasti sudah bahagia bersama suaminya, jadi Uni tidak mau mengganggu rumah tangga sahabatnya.

***

Mutia menghela napas lelah. Perempuan yang sedang duduk santai di meja makan membuatnya berkali-kali harus menahan emosi dan bersabar. Pasalnya, Mutia yang sedang membersihkan rumah selalu saja diganggu oleh Weni. Kini perempuan itu tengah duduk sambil memberikan banyak nasihat kepada Mutia.

"Kenapa Mas Ferian tidak mau tidur denganmu, apa kamu tidak penasaran dengan hal itu?"

Weni mulai memancing rasa penasaran Mutia, namun perempuan itu tidak menghiraukannya meski sesungguhnya Mutia penasaran akan hal tersebut.

"Jika aku jadi kamu, sejak awal aku akan pergi dari rumah ini, apalagi ketika hari pertama menjadi seorang istri, Mas Ferian membawa perempuan lain," ucapnya lagi. Weni sedikit terkekeh membayangkan betapa lucunya ekspresi Mutia saat melihat kedatangannya pertama kali di kediaman Ferian. "Aku tahu kamu cemburu. Sangat tahu malah," lanjutnya tertawa keras.

Mutia menghentikan aktivitasnya, ia menghela napas berat untuk kesekian kalinya. Bagaimana pun Mutia hanyalah seorang manusia biasa yang memiliki batas kesabaran. Mendengar perkataan Weni yang jelas-jelas digunakan untuk memancing amarahnya pun berjalan sukses.

"Jadi mau kamu aku pergi dari rumah ini, begitu?" tanya Mutia datar.

Weni terlihat menganggukkan kepalanya semangat. "Tentu saja dong! Apa gunanya kamu di rumah ini? Statusmu sebagai istri hanya ada dalam buku nikah saja, sesungguhnya kamu tidak pernah dijadikan istri olehnya," jawab Weni dengan tatapan sinis.

Mutia terdiam mendengar penuturan tersebut. Lidahnya kelu dan ia tidak memiliki jawaban untuk menimpali ucapan Weni.

"Kamu adalah perempuan bod*h yang pernah kutemui, Mutia." Sudah tidak ada panggilan hormat lagi yang Weni berikan untuk Mutia. Perempuan itu tidak peduli jika Mutia masih menjadi madu dan istri pertama suaminya. "Sejak awal, Mas Ferian hanya ingin menikah denganku, namun sialnya dia malah bertemu dengan perempuan sepertimu yang tidak tahu untung!"

"Kenapa kamu menyalahkanku yang jelas-jelas tidak tahu perihal tersebut?"

"Kamu tidak tahu? Harusnya kamu memastikannya lebih dulu sebelum mempercayai ucapan orang lain!"

Mutia terkesiap, dia merasa tertampar dengan ucapan Weni. Apa yang dikatakan Weni adalah benar bahwa ia mudah percaya kepada orang lain tanpa memastikan alasan di baliknya.

"Dengar, Mutia, mana ada seorang istri yang tidak pernah disentuh oleh suaminya sendiri sepertimu? Harusnya kamu sadar dan minta Mas Ferian agar menceraikanmu. Apa gunanya hidup satu rumah dengannya tetapi kamu tidak pernah mendapatkan nafkah batin darinya?" Weni berdecih mengejek. Dalam hatinya dia bersorak menang.

"Aku tidak akan meminta cerai dari Mas Ferian jika hanya itu masalahnya. Dan aku tidak akan pernah percaya ucapanmu yang belum tentu kebenarannya. Aku tahu kamu membenciku dan mencoba membuatku pergi dari sini tetapi coba kamu pikirkan juga, bagaimana kamu akan mengurus rumah ini apabila aku pergi?"

Weni tidak menyangka jika Mutia akan menimpali ucapannya dan memberinya pertanyaan yang konyol. Dia tertawa mengejek.

"Tanpa kamu, tentu saja aku bisa mengurus rumah ini dengan baik, Mutia. Cari seorang pembantu akan menyelesaikan semua masalah di rumah ini."

"Benarkah?" tanya Mutia ragu. "Apakah Ibu akan membiarkannya? Apa gunanya seorang menantu di rumah jika mengurus rumah saja harus memakai jasa asisten rumah tangga? Bukankah demikian?"

Weni terdiam di tempat. Badannya sedikit gemetar menahan amarah mendengarkan ucapan Mutia yang sangat menyebalkan. Mulutnya terdengar suara gemelutuk seiring amarahnya yang memuncak.

Mutia tersenyum simpul. Dia lantas segera menyelesaikan pekerjaannya dan masuk ke kamarnya karena tidak ingin berdebat lagi dengan Weni.

Di kamar, Mutia mengembuskan napas lega sambil mengelus dadanya yang berdegup kencang. Berdebat dengan Weni membuat tubuhnya gugup memikirkan jawaban untuk menghentikan ucapan perempuan itu. Bertengkar bukanlah hal yang Mutia suka, apalagi dia dan Weni adalah istri Ferian. Namun, jika Mutia tetap diam, perempuan itu khawatir akan meluapkan semua emosinya kepada Weni dan membuat pertengkaran besar di rumah.

Mutua meraih gawai di atas nakas yang terasa dingin karena jarang disentuh. Dia menyalakan gawainya yang memang selalu ia matikan jika tidak digunakan. Begitu benda pipih itu berhasil menyala kembali, ada beberapa notifikasi yang masuk di antaranya satu panggilan tak terjawab dan pesan singkat.

Perempuan itu mengernyitkan keningnya penasaran dengan panggilan dan pesan tersebut. Dia lantas mengecek nama penelpon dan semakin penasaran saat nama yang tertera berasal dari sahabatnya. Mutia lalu membuka pesan singkat dari Uni dan mencelos ketika membaca pesan tersebut.

Tangan yang memegang gawai bergerak cukup kencang, dada Mutia berdegup kencang membuat seluruh tubuhnya terasa lemas. Air mata perlahan menggenang di ujung mata dan jatuh satu per satu membasahi pipinya. Perempuan itu meletakkan gawainya sembarang dan mengusap pipinya yang basah sebelum keluar kamar.

Dia mencari ibu mertua dan kakak iparnya yang sedang duduk minum teh di teras rumah.

"Bu ..." panggil Mutia lirih.

Dini dan Astuti menoleh bersamaan mendapati sosok Mutia yang berdiri di depan pintu.

"Ada apa?" tanya Dini cuek.

"Saya mau minta izin ke puskesmas untuk menjenguk Bapak yang kecelakaan, Mbak."

"Tanya Ferian saja nanti," ucap Astuti sesudah menyesap teh miliknya.

"Tetapi Mas Ferian baru akan pulang saat magrib, Bu, jam besuk puskesmas terbatas," timpal Mutia memberitahu, berharap wanita itu memberinya izin pergi.

"Suami kamu Ferian, minta izinlah kepadanya."

Mutia hanya menunduk sedih memperoleh jawaban tidak menyenangkan dari ibu mertuanya. Perempuan itu dengan sabar menunggu kepulangan Ferian dengan perasaan yang mengkhawatirkan kondisi sang ayah.

***

Ferian pulang pukul enam sore dengan Mutia yang membukakan pintu untuknya. Perempuan itu memanggil suaminya dengan ragu dan memberitahu kabar kecelakaan ayahnya.

"Aku baru saja pulang, Mutia, tidak bisakah kamu bicara nanti?"

"Bapak kecelakaan dan dirawat di puskesmas, Mas. Aku ingin menjenguknya, izinkan aku pergi, ya?" pinta Mutia memohon.

Ferian mendesah. "Bilang sama Ibu saja, sana!"

"Aku sudah bilang tetapi Ibu menyuruhku untuk izin kepadamu," jawab Mutia jujur.

"Apa kamu harus khawatir begitu?" Astuti keluar kamar setelah mendengar obrolan keduanya. "Masih ada Simbokmu yang bisa merawatnya. Kamu tidak perlu datang ke sana. Lebih baik pergilah ke dapur dan siapkan makan malam!"

"Tetapi Bu, saya juga ingin memastikan kondisi Bapak dan Simbok setelah satu tahun tidak bertemu dengan mereka." Ini kali pertama Mutia berani menyampaikan keluhannya.

Mendengar penentangan tersebut membuat Astuti menatap tajam ke arah Mutia, wajahnya menegang dan menyiratkan kemarahan, namun wanita itu tidak bersuara dan memilih duduk di meja makan.

Mutia kembali menundukkan kepalanya menahan air mata yang hendak tumpah. Ferian pun telah masuk ke dalam kamarnya setelah mendengar jawaban sang ibu. Akhirnya Mutia hanya bisa menuruti ucapan ibu mertuanya dan bergegas menyiapkan makanan meski rasa khawatir dan kecewanya membuncah.

Setelah semua keluarganya selesai makan malam, Mutia segera masuk ke kamarnya. Perempuan itu kehilangan rasa laparnya mengkhawatirkan ayah dan ibunya di tempat lain. Di saat seperti ini, tidak ada seorang pun di kediaman Ferian yang memberikan rasa simpati kepadanya.

Mutia lalu berinisiatif menghubungi sahabatnya untuk menanyakan kondisi sang ayah. Lama perempuan itu menunggu panggilan dijawab oleh Uni dengan rasa tidak sabar. Begitu sapaan di seberang telepon terdengar, senyum simpul terukir di wajah sedih itu.

"Halo, Uni, apa kabar? Maaf ya, aku baru bisa membaca pesanmu. Bagaimana kondisi Bapak?"

"Kabarku baik, Mutia. Bagaimana denganmu? Bapak sudah sadar setelah dibawa ke puskesmas, sekarang beliau harus dirawat untuk sementara sampai kondisinya benar-benar pulih," jawab Uni tenang. Dia tahu bahwa sahabatnya sangat mengkhawatirkan ayahnya.

"Syukurlah kalau begitu. Bagaimana keadaan Simbok, apa beliau makan dengan baik?" tanya Mutia khawatir.

"Tentu saja Simbok baik-baik saja, beliau sempat terkejut melihat Bapak kecelakaan, tetapi sekarang sudah tidak apa-apa. Kamu tenang saja ya di sana."

"Sampaikan salamku untuk mereka ya, aku minta maaf tidak bisa berkunjung meski pun aku sangat ingin bertemu mereka. Tolong jaga mereka ya, Ni. Beritahu aku biaya perawatannya, akan kuusahakan untuk membayarnya."

Uni terkekeh di seberang telepon. Tawa yang sangat dirindukan Mutia. "Aku ini sahabatmu, Mutia. Orang tuamu sudah kuanggap sebagai orang tuaku juga. Aku akan menjaga mereka seperti orang tuaku sendiri. Perihal biaya kamu tidak perlu memikirkannya, jaga kesehatanmu di sana ya?"

Kedua mata Mutia berkaca-kaca mendengar penuturan Uni yang menyentuh hatinya. Dia sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Uni dan sampai kapan pun Mutia tidak akan melupakan kebaikan perempuan itu.

"Terima kasih banyak, Ni. Aku selalu merepotkan mu," ucap Mutia tulus. Dia menyeka air matanya pelan.

"Jangan menangis! Aku tidak mau dengar tangisanmu setelah sekian lama," tolak Uni tegas. "Kamu baik-baik saja kan, di sana?" lanjut Uni yang tiba-tiba merasa khawatir kepada sahabatnya.

Mutia mengerjai cepat. Kepalanya mengangguk reflek. "Aku baik-baik saja, jangan khawatirkan aku. Aku bisa jaga diri."

"Syukurlah kalau begitu. Pasti kamu bahagia di sana."

Mutia tersenyum kecut. "Sudah dulu ya, ini sudah larut. Sekali lagi terima kasih ya, Ni, aku tidak akan melupakan kebaikanmu."

"Jangan berterima kasih begitu. Sudah semestinya aku membantumu sebagai sahabatku. Ya sudah, selamat istirahat ya, Mutia."

Bersambung ...