webnovel

Berikan Ibu Cucu!

Weni yang melihat suaminya masih terlelap lantas menghela napas lega. Dia melepas pakaiannya tanpa menimbulkan suara berisik yang bisa membangunkan Ferian. Perlahan, dia lalu ikut merebahkan diri di sebelah suaminya yang tanpa busana.

Perempuan itu memeluk tubuh hangat suaminya dengan erat, meletakkan kepalanya pada dada bidang Ferian. Gerakan kecil itu lantas membuat Ferian memeluk tubuh Weni yang tanpa busana. Mereka memang terbiasa tidur tanpa memakai busana setiap malamnya.

Jika hari libur tiba, Ferian selalu berada di rumah untuk beristirahat dari aktivitas pekerjaannya. Dia menghabiskan lebih banyak waktu berdiam diri di rumah, mengobrol bersama ibu dan kakak perempuannya.

Seperti sekarang ini, Mutia tengah membawakan teh manis hangat menuju ruang keluarga di mana keluarganya tengah duduk berbincang sambil menonton televisi. Mutia tidak berani bergabung bersama mereka dan selama tinggal di kediaman keluarga barunya, wanita itu pun belum pernah mengobrol layaknya seorang menantu. Sejauh ini, Mutia hanya bisa mencuri-curi dengar apa yang mereka bicarakan dan melakukan pekerjaan rumah setiap harinya.

"Nak, kapan kamu punya momongan? Pernikahanmu sudah satu tahun, loh."

Begitu Mutia selesai meletakkan teh di atas meja dan berlalu pergi, Astuti melanjutkan pembicaraannya. Meski lirih, Mutia tetap bisa mendengarkan perkataan ibu mertuanya itu.

"Sabar ya, Bu, sebentar lagi. Aku sedang berusaha bersama Weni," jawab Ferian lembut.

"Mau sampai kapan Ibu harus menunggu? Ibu sudah semakin tua, Nak. Ibu mau gendong cucu seperti teman-teman Ibu lainnya." Astuti tetap memaksakan permintaannya.

"Ibu benar, Ferian. Kalau saja aku bisa hamil, aku ingin memberikan Ibu cucu secepatnya. Namun, aku tidak bisa melakukannya," ucap Dini menimpali. Suaranya sedikit tercekat dan bergetar. Ada satu kesedihan yang terselip di sana.

Astuti menggenggam tangan putrinya erat, mengusapnya lembut seolah-olah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Tahun depan aku dan Mas Indra ingin mengadopsi seorang anak. Doakan kami ya, Bu."

"Pasti, Nak. Ibu selalu mendukungmu apa pun yang terjadi."

Ferian hanya tersenyum simpul merasakan kesedihan yang dialami oleh kakak perempuannya. Lima tahun pernikahan Dini menciptakan kekosongan dalam rumah tangganya. Tumor yang diderita oleh Dini mengharuskan perempuan itu melakukan pengangkatan rahim dan membuatnya tidak bisa memiliki anak.

Duka tersebut berlangsung hampir satu tahun lamanya jika saja suami Dini bisa membantu istrinya pulih dari depresi. Perempuan itu ternyata sungguh kuat menerima ujian hidupnya. Dia bangkit dari keterpurukannya dan mengikhlaskan semua yang dialaminya, bangkit bersama Indra yang memulai bekerja di luar negeri.

"Apa kalian benar-benar berusaha?" tanya Astuti kemudian.

Ferian mengiyakan.

"Jika benar, seharusnya istrimu sudah hamil sejak awal, Nak. Coba kamu ajak Weni periksa kandungan dan konsultasi dengan dokter agar cepat hamil," putusnya kemudian yang diangguki oleh Ferian.

Mutia yang mendengarnya lamat-lamat dari dapur hanya bisa mengelus dada sambil menahan air mata. Sesak yang menderanya kala mendengarkan obrolan tersebut membuatnya berpikir bahwa kehadirannya di keluarga Ferian tidaklah diharapkan sebagai seorang menantu. Hanya Weni yang menjadi satu-satunya menantu perempuan di keluarga Ferian.

Ferian menghampiri istrinya yang sedang duduk bersandar di ranjang sembari bermain ponsel. Seharian ini perempuan itu tidak keluar kamar setelah selesai makan siang. Lelaki itu lantas memposisikan dirinya di sebelah Weni dan menyandarkan kepalanya pada bahu indah perempuan itu.

"Yang, aku mau seorang anak," ucap Ferian tiba-tiba.

Weni yang sedikit terkejut mendengarnya sontak menjauhkan ponselnya dan menatap suaminya heran. "Kenapa tiba-tiba?"

"Nggak tiba-tiba dong, Sayang. Pernikahan kita sudah satu tahun, memangnya kamu nggak mau punya anak?"

"Aku belum siap, Mas."

"Maka dari itu, kita persiapkan dari sekarang, ya? Besok kita ke dokter yuk, konsultasi tentang program kehamilan. Kamu mau kan?"

Weni menggeleng. "Sudah kubilang, aku belum siap, Mas," jawabnya penuh penekanan.

Wajah Ferian berubah tegang. Dia segera menjauhkan diri dari Weni. "Kenapa?"

"Karena aku masih ingin menikmati masa-masa romantis kita, Mas. Aku nggak mau karena kehadiran seorang anak membuat kamu mengalihkan perhatianmu padaku!"

"Itu nggak akan terjadi, Sayang. Percayalah padaku, ya?"

"Lupakan perihal anak, Mas. Keputusanku masih sama, aku belum siap."

"Ibu ingin segera memiliki cucu, Wen. Apa kamu tega sama Ibu?" Suara Ferian melirih, ia menatap istrinya penuh permohonan. "Ya sudahlah, kalau itu mau kamu. Aku tidak akan membantumu jika Ibu kembali menagih perihal cucu kepadamu."

Lelaki itu lantas beranjak turun dari ranjang dan keluar kamar dengan wajah yang kecewa. Sedangkan Weni hanya menatapnya datar. Perempuan itu tak acuh dengan suaminya yang kecewa karena sikapnya.

***

Satu tahun sudah usia pernikahan Mutia dan Ferian, selama itu juga ia tidak berkunjung ke rumah orang tuanya. Mutia merasakan rindu kepada ayah dan ibunya, namun setiap kali ia ingin mengunjungi rumah orang tuanya, Ferian selalu melarangnya pergi.

Satu hal yang Mutia rasakan sejak menikah adalah ketidakbebasan. Perempuan itu tidak diberikan akses untuk bepergian selain ke pasar. Rasa rindu pada keluarga selalu ia pupus dalam doa, mendoakan mereka agar dalam keadaan sehat.

Selama itu juga, ia tidak menjalin komunikasi dengan sahabatnya. Mutia tidak tahu bagaimana kabar Uni dan Doni sekarang. Di samping Mutia yang jarang bermain gawai dan sibuk dengan pekerjaan rumah. Bisnis online-nya pun hanya bisa dijalankan saat waktu senggang di malam hari, setidaknya usahanya mampu membuat satu-dua orderan masuk kepadanya.

Perempuan itu keluar kamar saat waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia ingin mengecek pintu depan telah terkunci sepenuhnya, namun justru mendapati Ferian yang duduk sendirian di ruang keluarga dengan lampu yang dipadamkan serta televisi yang menyala tanpa suara. Mutia sedikit mengabaikannya, ia memilih mengecek pintu lebih dulu dan menghampiri suaminya setelah semua rumah telah tertutup rapat.

"Mas?"

Panggilan lembut Mutia mampu menolehkan kepala Ferian dari layar televisi. Lelaki itu menatap Mutia sekilas lantas kembali pada acara televisi yang ditontonnya. Mutia memutuskan mendekati Ferian, duduk agak jauh di sebelah suaminya.

"Kenapa belum tidur? Besok Mas harus bekerja kembali," tanya Mutia pelan.

"Tidak apa-apa. Istirahatlah sana, aku tidak akan menganggu siapa pun yang sedang tidur."

Mutia merapatkan bibirnya sebentar, menatap wajah Ferian dari samping yang terkena sorot cahaya televisi. "Apa Weni sudah tidur?"

Ferian hanya mengangguk. "Aku akan tidur di sini malam ini. Pergilah ke kamarmu, aku akan segera tidur."

Merasakan ada sedikit masalah yang terjadi antara Ferian dan Weni membuat Mutia menawari kamarnya sebagai tempat istirahat Ferian sedangkan ia akan tidur di sofa.

"Mas bisa tidur di kamarku, aku akan tidur di sini."

Ferian mengernyitkan keningnya heran. "Tidak perlu. Aku akan tidur di sini. Pergilah!"

Mutia memilih mengalah. "Baiklah, selamat istirahat, Mas," ucapnya sebelum meninggalkan Ferian di ruang keluarga.

Lelaki itu menatap kepergian punggung Mutia dalam gelap hingga lenyap di balik pintu kamar. Ada rasa yang sulit ia jelaskan jika melihat wanita itu. Perhatian yang selalu ia dapatkan dari Mutia membuat hatinya bergejolak. Namun, Ferian berhasil menepisnya dan menyangkal bahwa wanita yang dicintainya hanya satu yakni Weni.

Pagi harinya, kediaman Ferian terdengar ramai obrolan yang cukup panas di meja makan. Mutia menyiapkan makanan sembari curi-curi dengar pembicaraan antara ibu mertua, Dini, Ferian, dan juga Weni. Mereka tengah membahas perihal Ferian yang tidur di luar dan terus menjalar pada kehamilan Weni serta keinginan Astuti menimang cucu.

Di meja makan itu, Weni duduk di sebelah Ferian dengan mata yang melirik sebal ke arah mertuanya, raut wajahnya terlihat kesal dan tidak terkondisikan lagi. Sedangkan Ferian mengabaikan sikap istrinya dan menunggu Mutia selesai menyiapkan makanan sebelum berangkat bekerja.

"Ibu rasa kamu sudah tahu dari Ferian perihal keinginan Ibu memiliki seorang cucu. Jadi, kapan kamu mau hamil?"

"Bu, perihal anak urusannya sama Tuhan, mungkin belum rezeki Weni sama Mas Ferian buat dikasih momongan," jawabnya tidak acuh. "Lagi pula, kenapa Ibu tergesa-gesa sekali, sih?"

"Ibu nggak buru-buru, Wen, ini juga demi kamu sama Ferian. Ibu capek ditanya sama tetangga kapan kamu hamil? Karena itu, Ibu minta kamu agar segera hamil. Pergilah ke dokter, lakukan konsultasi!"

"Kamu masih menstruasi kan, Wen?" tanya Dini.

Mendengar pertanyaan tersebut, darah di kepala Weni terasa mendidih. "Mbak mengejekku? Tentu saja aku masih menstruasi setiap bulan dengan lancar!" jawabnya ketus.

"Aku hanya memastikannya saja. Kalau menstruasimu lancar, seharusnya kamu bisa cepat hamil. Kamu nggak mengkonsumsi obat-obatan penghambat kehamilan kan?"

"Tentu saja tidak! Buat apa aku minum obat seperti itu?"

"Baguslah kalau begitu, Wen. Ibu tahu kamu sehat dan semoga kamu lekas diberi kehamilan, ya?"

Senyum di wajah Astuti pun terbit. Ucapannya penuh penekanan agar menantunya segera mengabulkan keinginannya. Namun, Weni justru mendengus sebal karena keluarga Ferian tidak semenyenangkan saat awal pernikahannya, bahkan pagi ini suaminya tidak mau membelanya sedikit pun.

Bersambung ...