webnovel

Jawaban Ferian

Selang satu Minggu dari peristiwa kecelakaan Maula, lelaki tua itu akhirnya bisa pulang ke rumah. Kabar baik itu Uni sampaikan kepada Mutia. Mutia bahkan sempat mengobrol sebentar dengan ayah dan ibunya ditelepon sebelum ponsel milik Mutia diambil oleh Astuti.

"Bu, tolong kembalikan ponsel saya," ucap Mutia memohon.

Dia tadi sedang asyik berbincang dengan ayah dan ibunya di dalam kamar. Astuti mendengarkan obrolannya lalu mengetuk pintu kamar Mutia dan menyita ponsel miliknya.

"Jadi, selama ini kamu diam-diam bermain ponsel tanpa kami ketahui?" tanyanya garang. "Mulai hari ini, ponselmu akan Ibu sita. Kamu tidak perlu bermain gawai lagi!"

"Tetapi kenapa, Bu? Saya hanya menelepon dengan orang tua dan sahabat saya."

"Kamu tidak perlu tahu kabar mereka, Mutia. Hidupmu sudah berbeda dengan mereka. Jangan membuat malu keluarga!"

Seketika Mutia terdiam mendengar ucapan ibu mertuanya. Apakah begini rasanya menjadi menantu orang kaya sebab ia berasal dari keluarga miskin?

Astuti lantas keluar kamar dengan membawa ponsel Mutia, meninggalkan perempuan itu yang terdiam di tempat sambil menahan tangis.

Satu-satunya cara agar ia bisa tahu kabar keluarganya telah diambil oleh Astuti. Kini perempuan itu sudah tidak bisa berkabar dengan sahabatnya lagi. Mutia terisak menyadari bahwa dia tidak boleh berhubungan dengan orang lain meski itu ayah dan ibunya sendiri.

Oleh sebab itukah, dia dikurung di rumah ini?

Astuti dan Dini berpamitan pergi ke rumah teman Astuti kala menjelang malam. Mereka berkata akan makan malam di luar juga. Mutia hanya mengiyakan tanpa meminta ponselnya dikembalikan. Dia tahu, Astuti tidak akan mengembalikan gawai miliknya—gawai milik Doni yang diberikan untuknya.

Berbicara tentang lelaki itu, bahkan Mutia belum sempat menghubungi Doni dan menanyakan kabarnya. Apakah lelaki itu sudah memiliki gadis pujaan hatinya dan bahagia sekarang?

Ferian pulang kerja menjelang magrib seperti biasanya. Begitu masuk rumah, lelaki itu menanyakan keberadaan Weni yang biasanya ia lihat di ruang keluarga bermain ponsel.

"Weni di mana?" tanya Ferian.

Mutia menggeleng. "Aku tidak tahu, Mas," jawabnya.

Sejak siang, Mutia memang tidak melihat wanita itu. Hari ini Mutia merasa tenang karena Weni tidak mengganggu pekerjaannya.

"Mas mau mandi sekarang? Biar kusiapkan airnya," tanya Mutia yang hanya diangguki oleh Ferian.

Perempuan itu lantas menyiapkan air hangat untuk Ferian mandi, menuangkannya di bak mandi serta menyiapkan handuk. Rumah terlihat sangat sepi karena ibu mertua dan kakak iparnya pergi, hanya ada Mutia dan Ferian di rumah itu.

Tiba-tiba Mutia merasa gugup mengingat hanya ada dirinya dan Ferian di rumah. Dia tidak bisa membayangkan betapa canggungnya berdekatan dengan Ferian, apalagi saat makan malam tiba. Kesempatan tersebut seharusnya menjadi peluang yang bagus untuk Mutia mendekatkan diri kepada suaminya. Sejauh ini mereka tidak pernah mengobrol bersama atau bermesraan layaknya suami dan istri. Namun, mengingat peristiwa malam itu membuat Mutia enggan berdekatan dengan Ferian.

"Ibu dan Mbak Dini ke mana?" Ferian sudah selesai mandi. Mengenakan kaos oblong dan celana pendek lelaki itu berjalan santai menuju meja makan dan duduk di salah satu kursi saat Mutia sedang menyajikan makanan.

Mutia sedikit terkejut dengan kedatangan Ferian. Penampilan Ferian yang segar karena seusai mandi membuat Mutia gugup. "Ibu dan Mbak Dini sedang pergi ke rumah teman Ibu. Mereka akan makan malam di luar, Mas," jawab Mutia yang lalu pergi ke dapur untuk mengambil makanan lagi.

Ferian tidak membalas ucapan Mutia. Lelaki itu hanya mengamati gerak-gerik Mutia yang menyiapkan makanan untuknya. Mutia yang menyiapkan piring dan sendok untuknya, mengambilkan nasi serta sayur dan lauk untuk Ferian. Semua tak luput dari pengawasan Ferian.

Hal-hal seperti itu membuat darah lelaki itu berdesir. Ada sesuatu yang muncul saat ia mengamati Mutia. Sejak mereka menikah, Ferian bahkan tidak pernah melihat perempuan itu selama ini. Dia disibukkan dengan Weni yang menjadi candu untuknya.

Ferian berdeham kecil membuang semua pikiran tentang Mutia dan mulai menyantap makan malamnya. Masakan Mutia selalu terasa lezat untuknya, dia tidak pernah bosan jika setiap hari harus makan masakan perempuan itu. Hal itu pun yang membuat Ferian selalu pulang tepat waktu dan jarang makan di luar.

"Mas sudah menghubungi Weni?" tanya Mutia kala Ferian tengah makan.

Ferian menggeleng.

"Ke mana ya dia?" Mutia mendadak cemas. Andai saja gawai miliknya tidak diambil oleh Astuti, ingin rasanya dia mencoba menghubungi wanita itu.

Ferian menatap Mutia yang cemas. Ada rasa khawatir di wajah polos perempuan itu. Wajah teduh yang selalu membuat Ferian merasa tenang.

Lama Ferian memandang Mutia dalam lamunan hingga ia melupakan makannya. Mutia yang tersadar sedang ditatap oleh Ferian seketika terdiam kikuk. Dia lantas menyadarkan suaminya untuk segera menyelesaikan makan malamnya.

"Kamu tidak makan?" tanya Ferian.

"Nanti saja setelah Weni pulang. Aku akan makan bersamanya," ujar Mutia yang masih setia berdiri di samping meja makan menunggu Ferian.

"Kenapa tidak duduk?"

Mutia terkesiap. "Tidak apa-apa. Mas lanjutkan saja makannya."

Pertanyaan Ferian berhasil membuat degup jantung Mutia berdetak lebih keras. Perhatian kecil itu membuat Mutia berbunga-bunga. Setidaknya Ferian masih menunjukkan sedikit perhatiannya untuk Mutia.

***

Suasana rumah yang sepi membuat Ferian menyalakan televisi sesudah makan malam sendirian. Mutia lantas membersihkan peralatan makan agar tidak menumpuk. Dia juga membuatkan camilan sederhana sebagai teman menonton Ferian. Pisang goreng hangat yang masih mengepulkan asap panas Mutia sajikan untuk suaminya. Berjarak cukup jauh, perempuan itu ikut duduk menemani Ferian.

"Bolehkah aku duduk di sini, Mas?" tanya Mutia saat meletakkan pisang goreng di meja.

Ferian mengangguk. "Duduklah."

Mutia duduk dengan perasaan sedikit gusar dan gugup. Ini kali pertama ia duduk bersama Ferian setelah menikah. Ia juga ragu ingin bertanya beberapa hal yang mengganggunya.

"Mas, aku mau bertanya suatu hal," kata Mutia ragu. Ia meremas jari-jemarinya menunggu jawaban dari Ferian.

Lelaki itu hanya memberikan respon singkat, "Bertanyalah."

"Maaf kalau aku lancang, kenapa sikap Mas sekarang berubah?"

Pertanyaan Mutia berhasil membuat Ferian menolehkan kepalanya. Dia menatap Mutia dengan pandangan yang sulit diartikan. "Apa maksudmu?"

"Sikap Mas sebelum dan sesudah menikah kepadaku sangat berbeda. Apa benar yang dikatakan Weni, kalau aku adalah pengganggu hubungan kalian?"

Ferian terkejut mendengar pertanyaan Mutia selanjutnya. Dia seketika diam beberapa saat.

"Jika benar, maka aku minta maaf, Mas. Aku tidak tahu kalau sebenarnya kamu memiliki Weni. Andai saja aku tahu, maka aku tidak akan mau menikah denganmu, Mas."

"Lalu, kamu akan menikah dengan siapa selain aku?" Suara Ferian mendadak tinggi. Dia tidak menatap wajah Mutia dan memasang wajah datar. "Apa ada lelaki lain yang mau menikahimu? Jawab aku, Mutia!"

Mutia sedikit berjingkat ngeri mendengar betapa dinginkan kata-kata Ferian. Dia lantas menggelengkan kepalanya.

"Maka bersyukurlah karena aku mau menikahimu dan membuat hidupmu lebih baik di sini."

"Tetapi aku tidak bahagia, Mas. Kamu boleh menikah lagi, tapi setidaknya izin dulu kepadaku. Jujur saja, aku terluka saat kamu membawa Weni ke rumah ini," ujar Mutia sedih.

"Ini rumahku, Mutia. Apapun yang kulakukan itu terserah padaku," ucap Ferian tajam. "Sekarang pergilah ke kamarmu! Aku tidak mau mendengarkan pertanyaanmu lagi."

Mutia menatap Ferian dengan kecewa. Jawaban yang ia peroleh dari Ferian justru membuatnya semakin terluka. Perempuan itu lalu beranjak bangun untuk kembali ke kamarnya, namun pintu yang diketuk dan suara panggilan yang dikenalnya membuat Mutia bergegas membukakan pintu.

Weni pulang setelah lama bepergian tanpa pamit. Perempuan itu berlalu melewati Mutia tanpa sepatah kata dan langsung berhambur ke pelukan Ferian yang sedang menonton televisi.

"Dari mana saja kamu?" tanya Ferian ketika Weni melepas pelukannya.

Perempuan itu lalu menempatkan kepalanya di dada bidang Ferian yang sedang duduk santai. Tangannya mulai bergerilya menjamah tubuh suaminya. "Aku habis reunian sama teman sekolahku, Mas," jawabnya santai.

"Reuni? Kenapa tidak bilang padaku?"

"Ponselku tiba-tiba mati jadi aku tidak bisa memberitahumu," jawabnya lagi.

Tangan perempuan itu masih setia bergerilya menjamah tubuh Ferian, tak segan juga menyentuh bagian terlarang milik lelaki itu membuat Ferian mengerang kecil. Mutia yang masih berdiri di sana hanya bisa bergidik jijik melihat pemandangan di depannya. Hatinya seketika panas dan ia pun masuk ke dalam kamarnya.

"Aku mau kamu, Mas," kata Weni sensual tepat di telinga Ferian.

Ferian memandang Weni dengan tatapan menginginkan. Namun lelaki itu masih bisa menguasai diri. "Kamu belum mandi, Sayang. Makan saja dulu, ya?"

"Nggak mau," ucap Weni menolak. "Aku hanya mau kamu malam ini."

"Makanlah bersama Mutia, dia sejak tadi belum makan karena menunggumu," perintah Ferian sembari menyingkirkan tangan Weni yang berada di bagian terlarang miliknya. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan sedikit menjauh dari Weni.

"Jadi, sejak tadi kalian hanya berdua di rumah ini?" tanya Weni marah. Perempuan itu sudah mengerucutkan bibirnya seperti biasa. "Dapat banyak banget Mutia bisa berduaan denganmu. Apa kamu juga dirayu olehnya?"

Ferian menggeleng. "Dengarkan aku, Sayang. Tidak terjadi apa-apa antara aku dengannya. Dia hanya menyiapkan makan malam untukku, itu saja. Percayalah padaku "

"Benarkah?" tanya Weni ragu. Ferian mengangguk. "Kalau sampai dia merayumu, akan kupastikan dia menderita di rumah ini, Mas!"

"Sudahlah. Ayo mandi dulu, kusiapkan makan malam untukmu."

Ferian menuntun Weni menuju kamar dan menenangkan amarah perempuan itu. Sementara Mutia di dalam kamar mendengarkan perkataan Weni yang lamat-lamat terdengar sampai kamarnya.

"Betapa menjijikan sekali kamu, Wen. Bagaimana bisa seorang perempuan berbuat seperti itu?" gumam Mutia.

Bersambung ...