webnovel

Istri Kedua

Weni sangat terpukul mendengar kabar bahwa Ferian akan menikahi gadis lain. Dia tidak menyangka jika lelaki yang dicintainya itu justru mengkhianati hatinya. Sejauh ini pun dia tahu bahwa lelaki itu sangat mencintainya dan akan selalu bersamanya. Namun, rasa kecewa yang teramat sangat menggerogoti hati Weni. Dia bahkan enggan menatap wajah lelaki itu yang duduk di sebelahnya sambil memohon kepadanya.

"Dengarkan aku dulu, Sayang," pinta Ferian meraih jemari gadis pujaannya. "Aku akan menikah dengan perempuan itu hanya untuk membuatnya menderita. Kamu tahu, aku cinta sama kamu dan aku nggak bisa hidup sama kamu. Jadi, tolong dengarkan aku dulu, ya?"

Weni bergeming. Dia masih mengalihkan pandangannya. Bibirnya maju beberapa senti dengan tatapan yang sesekali melirik Ferian.

"Aku menikahinya hanya ingin membuat gadis itu dan keluarganya kapok. Kamu tahu kalau mereka punya utang yang banyak pada keluargaku? Aku ingin mereka menderita, Sayang. Di saat aku sudah menikahinya, maka hari itu juga aku akan menikahimu tanpa sepengetahuannya. Dan kamu, akan menjadi istriku satu-satunya. Aku tidak akan pernah menyentuh perempuan itu. Kamu mengerti?"

Hatinya meluluh, dia membalikkan badan menghadap ke Ferian. Tatapannya melembut dan berhambur ke pelukan lelaki itu.

"Benarkah begitu?"

Ferian menggerakkan kepalanya. "Benar. Aku sangat mencintaimu, Sayang." Lelaki itu meninggalkan kecupan ringan di kening Weni membuat si empu tersenyum malu.

***

Malam sebelum hari pernikahan Ferian dan gadis miskin, Weni pergi bersenang-senang melepas status kelajangannya bersama beberapa teman perempuan dan laki-lakinya. Tempat yang biasa ia kunjungi bersama mereka adalah klub malam dengan musik yang berdentum keras. Weni menghabiskan banyak minuman dan tertawa gembira bersama mereka.

Kehidupan malamnya sudah ia jalani sejak lama, tepat setelah ia lulus sekolah menengah. Saat itu, Weni hanya diajak oleh seorang teman, namun lama-kelamaan dia menjadi pecandu dan terus datang ke tempat tersebut. Tidak ada yang bisa melarang sikap buruk Weni. Keluarganya sangat memanjakannya bak seorang putri dan bebas bertindak apa pun selagi tidak ada insiden yang bisa membuat keluarganya malu.

Hamil di luar nikah adalah larangan terbesar bagi Weni. Keluarganya akan mengeluarkannya dari kartu keluarga dan mengusirnya dari rumah tanpa sepeser uang. Tentu saja dia tidak mau jika harus diusir dengan tidak terhormat. Oleh karena itu, Weni selalu mempersiapkan sesuatu dengan baik sebelum melakukan hubungan yang menyenangkan tersebut bersama tan laki-lakinya.

Malam pernikahannya, Weni telah duduk menunggu kedatangan Ferian dengan wajah yang dirias cantik. Kebaya putih dengan sanggul milimalis membuatnya terlihat sangat anggun. Malam ini adalah malam pernikahannya yang hanya dilaksanakan akad saja, namun Weni merasa sangat bahagia karena sebentar lagi Ferian akan menjadi miliknya.

Ferian adalah putra dari keluarga kaya dari desa sebelah. Awal pertemuan mereka ketika Weni hendak keluar dari klub, sedangkan Ferian yang baru saja masuk. Mereka bertabrakan dengan tidak sengaja dan saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Lelaki itu tidak mempermasalahkan gadis yang disukainya memiliki kebiasaan bermain di tempat tersebut. Dia akan tetap menerima Weni apa adanya.

Tamu undangan dan penghulu sudah hadir di kediaman keluarga Weni. Ferian beserta keluarganya pun sudah datang sejak dua puluh menit yang lalu. Lelaki itu tengah menatap kecantikan Weni tanpa berkedip. Menatap gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya dari ujung kelapa hingga kaki.

"Cantik."

Weni tersenyum senang mendengar pujian tersebut. Mereka beriringan berjalan menuju meja akad untuk melangsungkan janji suci.

Perempuan itu tersenyum dengan wajah berbinar mendengar kedua saksi mengucapkan kata sah kepada mereka. Dia mencium tangan Ferian penuh perasaan bahagia dan semakin bahagia kala suaminya mencium keningnya untuk yang ke sekian kali. Weni menatap Ferian penuh binar kebahagiaan. Dia mendekatkan wajahnya dan mencuri satu ciuman dari bibir lelaki itu.

Ferian terperanjat kaget, namun dia tersenyum manis. Wajahnya sedikit memerah akibat perlakukan Weni yang tiba-tiba dan dilakukan di hadapan orang banyak.

Usai akad, mereka pun makan malam bersama. Weni dan Ferian makan dalam satu piring berdua dengan banyak lauk-pauk. Mereka pun saling suap-menyuapi, menikmati masa halal antara keduanya. Tamu pun satu per satu mulai meninggalkan kediaman Weni. Kedua insan berbahagia tersebut lantas masuk ke dalam kamar pengantin. Berganti pakaian, menghapus riasan, lantas beristirahat.

Pada malam itu juga, Ferian meminta haknya sebagai seorang suami. Tentu saja Weni memberikannya dengan percuma. Sudah sangat lama dia menginginkan Ferian dan malam ini pun menjadi malam yang sangat berharga untuknya.

Ferian menghela napas lelah dan ambruk di sebelah istrinya, dia menatap langit-langit kamar sambil menetralkan pernapasannya. Weni mendekat dan memeluk tubuh suaminya erat, menenggelamkan kepalanya di dada bidang Ferian. Lelaki itu pun balas memeluknya dan mengelus lembut kepala Weni.

"Apa kamu puas malam ini?" tanya Weni. Dia mendongakkan wajahnya agar bisa menatap suaminya.

Ferian mengangguk. "Tentu saja, Sayang." Dia menjawil hidung istrinya gemas. Tatapannya berubah, dia terlihat memikirkan sesuatu.

"Kamu kenapa? Kamu memikirkan istrimu itu ya?" tanya Weni mengeruvutkan bibirnya cemburu.

"Tidak. Hanya saja saat aku melakukan itu bersamamu seperti ada sesuatu yang kulupakan," ujarnya membuat Weni ikut mengerutkan kening dan berpikir.

"Apa itu? Kurasa tidak ada yang salah. Semua berjalan lancar dan menyenangkan, Sayang," ucap Weni menenangkan suaminya.

Ferian masih berpikir. Lelaki itu merasakan keanehan pada istrinya. "Apa di bawah saja sakit?" tanyanya polos.

Weni menggeleng. "Mau lagi?"

"Bukan. Yang kudengar dari beberapa temanku yang sudah menikah, biasanya perempuan akan merasa sakit jika melakukannya. Apa kamu tidak merasakannya?"

Gelengan kepala adalah jawaban Weni. Perempuan itu asyik memejamkan matanya sambil memeluk tubuh hangat suaminya.

"Apakah ini bukan pertama kalinya untukmu?" Ferian ragu hendak mengatakannya. Dia takut jika Weni akan marah kepadanya, namun terpaksa harus ia katakan untuk mengetahui kebenarannya.

"Aku adalah perempuan bebas, Sayang, bahkan aku memulainya setelah selesai sekolah. Tentu saja ini bukan pertama kali untukku. Kamu merasakan kenikmatan itu, bukan?"

Ferian terdiam. Lidahnya terasa kelu, jantungnya seperti berhenti berdetak, dan aliran darahnya terasa panas di kepalanya. "Kenapa kamu tidak pernah bilang kepadaku?" tanya Ferian dingin.

Perempuan itu perlahan mengurai pelukannya, sedikit menjauh dari tubuh suaminya. "Bukankah kamu mau menerimaku apa adanya? Setelah kamu menikah dan tidur denganku, apakah kamu menyesal sekarang?"

"Bukan itu maksudku, Sayang." Ferian merengkuh tubuh Weni dan memeluknya kembali. Dia mengelus kepalanya penuh kelembutan. "Kalau kamu bilang padaku, maka aku tidak akan berpikir demikian karena ini adalah kali pertama untukku. Aku tidak mempermasalahkan dengan siapa kamu melepas kehormatanmu, namun setidaknya bilang kepadaku agar aku tahu."

Weni tersenyum manis, dia mengeratkan pelukannya lagi. Sementara Ferian, hati kecilnya merasa bertolakbelakang dengan apa yang dikatakan olehnya.

"Aku sangat senang, Mas, akhirnya bisa menjadi istrimu, meski aku menikah denganmu setelah kamu menikahi perempuan lain. Aku senang karena aku menjadi perempuan pertama yang menghangatkanmu di ranjang."

Bersambung ...