webnovel

Sakit

Usai peristiwa kalung Astuti yang ditemukan di dalam kamar Mutia, wanita itu selalu mengabaikan Mutia yang berusaha meminta maaf kepadanya. Mutia berusaha keras membuat mertuanya mau memaafkan dirinya, namun Astuti tidak pernah merespon perkataannya bahkan wanita itu tidak mau memakan masakannya.

Biasanya Astuti akan memberinya uang belanja seminggu sekali kepada Mutia, namun digantikan oleh kakak iparnya. Mutia bahkan mencoba memohon kepada Dini agar wanita itu membantunya meminta maaf kepada ibu mertuanya, namun Dini menolak. Perempuan itu memang tidak peduli kepada Mutia dan Weni dan cenderung tidak menyukai keduanya, oleh karena itu Dini terkadang hanya diam jika ada perdebatan.

Dia adalah orang pertama yang menolah pernikahan Ferian dengan kedua istrinya. Dia tidak menyukai mereka yang asal-usul keduanya tidak begitu jelas. Dini hanya pernah mendengarkan cerita sang ibu dan adiknya bahwa Weni berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Letak desa adik iparnya itu memang cukup jauh dari desa mereka yang membuat Dini tidak yakin dengan perempuan itu. Sedangkan Mutia, dia sangat tahu bagaimana Ferian bisa mengenal gadis itu dan latar belakang keluarga Mutia yang berutang kepada keluarganya.

Ia tidak habis pikir dengan keputusan Ferian yang bersedia menikahi Mutia yang jelas-jelas masih memiliki utang yang belum terbayarkan kepada mereka. Namun, ibunya memaksa agar ia tetap menyetujui pernikahan ketiganya. Sejujurnya, Astuti menyukai wajah Mutia yang cukup manis, namun mengingat betapa banyaknya utang orang tua Mutia, membuatnya membenci perempuan itu. Ia juga menyukai Weni yang cantik dan memiliki badan yang terawat. Weni sangat cocok bersanding dengan anak lelakinya.

Satu kebenaran yang akhirnya Dini ketahui tentang Weni, yakni perempuan itu rupanya bukanlah perempuan yang baik. Terbiasa dimanjakan oleh keluarganya, membuat Weni menjadi perempuan manja dan memiliki pergaulan bebas. Dari beberapa informasi yang ia dapatkan dari beberapa temannya, Weni sempat beberapa kali keluar-masuk ke tempat hiburan hampir setiap malam dan pulang ketika subuh tiba.

Membayangkan apa yang dilakukan perempuan itu membuat Dini bergidik ngeri dan merasa jijik jika melihat adik iparnya itu. Naluri kewanitaannya mengatakan bahwa Ferian bukanlah lelaki pertama untuk Weni.

***

Mutia terbangun ketika seseorang menggedor pintu kamarnya cukup keras. Dia mengumpulkan semua kesadarannya mendengarkan suara Weni yang mengagetkan tidurnya. Ia melirik jam weker di atas nakas dengan kepala yang berdenyut nyeri. Hampir saja dia terjatuh ketika beranjak bangun dan membuka pintu.

"Dasar kebo! Kenapa kamu baru bangun sekarang? Nggak sadar apa, kita semua menunggu sarapan?"

Mutia meringis, dia memegangi kepalanya yang berdenyut. "Maafkan aku, sepertinya aku sakit jadi bangun kesiangan."

"Tidak ada alasan! Cepetan sana masak! Mas Ferian mau berangkat kerja, Mutia!"

Perempuan itu mendorong Mutia menuju dapur membuat Mutia berjalan tertatih karena kepalanya yang berputar-putar. Ia lantas mengambil bahan makanan dari dalam kulkas dan mengolahnya sembari menahan pening yang semakin menekan kepalanya. Sengaja Mutia hanya mengolah beberapa telur dan tumis sederhana agar ia bisa segera beristirahat. Namun, Weni tidak membiarkan Mutia santai sejenak dan membuatnya harus tetap bekerja.

"Lelet banget sih, kamu, masak gitu doang!"

Weni membentak Mutia lagi ketika meletakkan makanan di atas meja.

Mutia tidak mendengarkan, dia bergegas ke dapur untuk mengambil peralatan makan dan minum.

"Kamu tuli ya, aku mengajakmu bicara, Mutia!" pekik Weni marah. "Kamu harus tahu diri di sini, hidupmu hanya menumpang jadi kamu harus bekerja keras di sini agar Mas Ferian tidak sia-sia bekerja mencari nafkah!"

"Sudah, Sayang. Jangan dilanjutkan, ini masih pagi, tidak enak didengar sama tetangga," bujuk Ferian menenangkan istrinya.

"Mas, mau bela dia?"

"Bukan begitu, Sayang."

Dini yang geram mendengar keributan akibat ulah Weni dan Mutia akhirnya pun bersuara. Dia memukul meja makan dengan keras, menatap tajam Weni dan Mutia bergantian.

"Bisa diam tidak? Kamu juga harusnya sadar, Wen. Kamu istri Ferian sama seperti Mutia, siapkan makanan untuk suami yang mau bekerja, bukannya menyuruh orang lain. Ini di rumah mertua, bukan rumah keluargamu. Jadi, berhenti manja kepada adikku!"

"Kok Mbak Dini malah menyalahkan aku? Jelas-jelas di sini Mutia yang salah, dia bangun kesiangan. Menyiapkan makanan kan sudah jadi tugasnya dia, kenapa aku harus membantunya juga?"

"Aku tidak menyuruhmu membantunya, setidaknya siapkan makanan untuk suamimu sendiri jika Mutia tidak bisa menyiapkannya. Kamu kira tugas istri hanya di atas ranjang, mendesah dengan sepuasnya?"

Dini geram. Dia mengepalkan tangannya kuat menatap tajam ke arah Weni yang melengos tidak suka. Astuti menenangkan putrinya agar menyelesaikan sarapannya, sedangkan Mutia tidak mendengarkan keributan di hadapannya. Dia diam merasakan sakit kepalanya. Kepalanya terus berputar hebat, tubuhnya mendadak lemas, dan dia terjatuh tidak sadarkan diri di lantai.

Semua orang terperanjat melihat Mutia pingsan. Astuti memekik, lantas mendekati menantunya, menepuk kedua pipi Mutia perlahan agar perempuan itu segera sadar. Dini mendekati Mutia yang terbaring di lantai, dia membawa minyak angin dan mengoleskannya di sekitar hidung Mutia. Cukup lama Mutia diam di lantai yang dingin, akhirnya Astuti menyuruh putranya untuk membawa Mutia ke kamarnya.

Weni sempat menghalangi Ferian yang hendak mengangkat tubuh Mutia, namun dengan cepat Dini membentak Weni yang memberingsut ketakutan melihat kemarahan kakak iparnya. Perempuan itu hanya bisa pasrah melihat suaminya menggendong tubuh Mutia.

Mutia pingsan cukup lama, setelah Ferian membaringkannya di atas ranjang, semua orang lantas bergegas keluar dan membiarkannya saja. Hanya Dini yang sempat meletakkan segelas air putih dan beberapa obat di meja nakas Mutia, selebihnya mereka hanya menunggu perempuan itu sadar dengan sendirinya.

Perempuan yang terbaring lemah di atas ranjang itu perlahan menggerakkan jemarinya, kesadarannya berangsung-angsur mulai memasuki raganya kembali. Pusing di kepala yang ia rasakan masih belum hilang, setidaknya tidak sekuat sebelumnya. Wajahnya pucat dan bibirnya kering. Mutia menelan salivanya kewalahan, dia menoleh ke arah nakas dan meraih air minum yang tersedia, meneguknya setengah.

Dia mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya. Sakit kepala, bangun tidur, Weni, dapur, meja makan, hingga kegelapan tiba-tiba menguasainya. Mutia menyadari bahwa dia sejak tadi pingsan. Suhu badannya pun masih terasa panas. Dia lantas beranjak dari kasur, berjalan perlahan membuka pintu kamar dan mendapati ibu mertua dan kakak iparnya sedang mencuci piring.

"Biarkan saya saja, Bu," ucap Mutia mendekati Astuti di depan wastafel. Ia mencoba menyingkirkan wanita itu dari sana agar bisa mengambil alih pekerjaannya.

"Sudah, diam saja di sana, jangan coba-coba menyentuhku!"

Mutia diam mendengar larangan Astuti dan hanya melihat kegiatan yang dilakukan wanita itu.

"Kamu sudah makan?" tanya Dini yang sedang membersihkan meja makan.

Mutia menggeleng. Dia tidak memiliki rasa lapar sedikitpun.

"Makanlah sedikit, lalu minum obat di kamarmu agar kamu bisa segera membersihkan rumah ini," ujarnya perhatian namun dilafalkan dengan intonasi yang tegas dan memerintah.

Mutia hanya mengiyakan. Dia akan makan ketika perutnya lapar. Mutia tahu kalau dia belum melakukan pekerjaan rumah hari ini, maka dia pun meraih sapu dan melakukan pekerjaannya seperti biasa.

"Nah, begitu dong!"

Perempuan itu datang tiba-tiba, mengambil minum dengan melewati Mutia lantas mencibir. "Walau sakit tetap harus bekerja. Sakit bukan waktunya bermalas-malasan tahu!"

"Aku benci kalau kamu sampai jatuh sakit apalagi pingsan lagi seperti tadi. Karena ulahmu, aku jadi kena marah oleh Mbak Dini! Mas Ferian pun ikut-ikutan membantumu. Jangan senang hati karena dia mau menggendongmu ke dalam kamar. Dia hanya tidak ingin terkena marah Mbak Dini yang pemarah itu."

Mutia memilih diam. Tidak ada gunanya ia merespon omongan Weni yang tidak perlu itu. Sakit kepala yang dideranya membuat tubuhnya lemas tidak bertenaga, Mutia tidak ingin menambah sakitnya dengan bertengkar dengan perempuan itu.

Weni benar-benar perempuan yang sangat mengesalkan. Jika saja Mutia tidak memiliki kesabaran yang besar, kemungkinan akan terjadi perang di kediaman Ferian. Perempuan itu seharian ini membuat Mutia kewalahan, dia tidak membiarkan Mutia santai di kala sakit.

Istri kedua Ferian itu selalu menyuruh Mutia untuk ini dan itu, membuatkan makanan simpel bahkan sulit sekalipun, jika rasa tidak sesuai dengan lidahnya, maka Weni akan membuang makanan tersebut ke lantai dan menyuruh Mutia untuk memasaknya lagi dengan enak serta membersihkannya juga.

Mutia sempat ingin melawan. Dia berdiam diri di kamar, namun Weni tidak berhenti berteriak dan menggedor pintu kamarnya. Atau jika Mutia sedang duduk sebentar maka perempuan itu akan menyeretnya melakukan pekerjaan lagi. Mutia mendesah lelah, tubuhnya sudah sangat lemas karena dia belum sempat makan.

Dengan langkah yang sangat perlahan, Mutia berjalan sambil berpegangan pada dinding menuju kamarnya. Dia menelan obat yang diberikan oleh Dini hingga kantuk menyergapnya. Dia tidak mendengar teriakan Weni lagi dan kehilangan kesadarannya dengan harapan ketika membuka mata nanti dia akan sembuh.

Bersambung ...