webnovel

Benci

Sejak kali pertama Mutia menyambut kedatangannya bersama Ferian, Weni benar-benar tidak menyukai perempuan itu saat kedua matanya menangkap sosok perempuan yang mengkhawatirkan kondisi suaminya. Mutia memang istri pertama Ferian, namun hanya tertulis dalam buku nikah saja, setelahnya hanya dirinyalah yang menjadi istri Ferian seutuhnya.

Weni menduga bahwa perempuan itu bodoh dan mau-maunya dijebak dalam rencana jahat Ferian. Dia akan sedikit ikut bermain bersama buruan yang telah berhasil terjebak dalam perangkap. Memperlakukan perempuan itu layaknya seorang babu yang harus menuruti semua perintahnya. Weni sangat berusaha keras agar perempuan itu segera dikeluarkan dari rumah, namun usahanya harus membutuhkan lebih banyak kerja keras lagi.

Darahnya mendidih ketika pintu di hadapannya tidak kunjung dibuka. Pemilik kamar tersebut justru sengaja menulikan pendengarannya agar tidak terganggu oleh panggilan Weni. Weni kembali berteriak, mengetuk pintu tersebut dengan keras sembari menggedor dan mencoba membuka kenop. Sayang, tenaganya tidak sebesar tenaga laki-laki, jika saja dulu ia rajin berolahraga dan ikut kegiatan bela diri, mungkin akan dengan mudahnya ia mendobrak penghalang tersebut.

Ia mendesah kesal. Hari di mana dia ingin membuat perempuan itu kapok justru gagal. Ia sangat ingin Mutia menderita lantas menyerah dengan rumah tangganya dan memilih keluar dari rumah ini. Bila Weni tidak bisa mengeluarkan perempuan itu, maka ia harus membuat perempuan tersebut angkat kaki dengan sendirinya.

Ferian pulang kerja menjelang magrib seperti biasanya. Lelaki itu lantas melepaskan semua pakaiannya dan langsung membersihkan diri. Weni duduk menunggu suaminya selesai sambil memainkan gawainya. Ada satu pesan dari seorang teman yang mengajaknya pergi bersama. Lelaki tersebut adalah sumber keuangan Weni selain Ferian, dan tentu saja dia tidak menolak ajakan tersebut.

Ferian selesai mandi ketika Weni sudah menghapus pesan miliknya. Dia meletakkan gawainya di atas ranjang lantas bergegas berdiri mendekati suaminya. Dia memeluk Ferian sambil mengendus aroma yang menguar dari tubuh suaminya.

"Kamu wangi, Mas," ucap Weni. Tangannya membelai perut Ferian yang belum berpakaian. Lelaki itu masih mengenakan handuk yang melilit tubuh bawahnya.

"Jangan nakal kamu, Yang. Aku baru saja pulang dan lapar. Mari kita makan, setelah itu kamu bisa bermain sepuasnya," ajak Ferian membuat Weni tersenyum girang.

Perempuan itu lantas mengambilkan kaos dan celana boxer untuk Ferian, ikut memakaikannya, dan keluar kamar bersamaan.

Meja makan masih terlihat kosong, ibu dan kakak Ferian bahkan masih asyik menonton televisi sambil menikmati beberapa camilan. Ferian mengernyit heran, biasanya makanan akan terhidang ketika dia pulang bekerja.

"Bu, makanan belum ada?" tanya Ferian.

"Belum. Mutia masih sakit, sejak tadi dia tidak keluar kamar," jawab Astuti.

"Lantas malam ini mau makan apa?"

Dini mengalihkan pandangannya dari acara televisi yang sedang ia tonton. "Aku sama Ibu sudah makan, barusan selesai. Kalian terserah mau makan apa. Di dapur masih ada bahan makanan kok, kamu suruh saja Weni buat masak."

"Ih, kok begitu?" Weni protes. Ia tidak suka bila disuruh memasak, karena ia tidak bisa melakukannya.

Dini mengendikkan bahunya tak acuh. Kembali fokus pada acara televisi sambil memakan camilan.

"Mas, bangunkan Mutia sana!"

Ferian mengernyit heran. "Loh, kok aku, sih?"

"Dia kan masih istrimu, suruh dia masak untuk kita."

"Kamu juga istriku, Yang. Kamu harus latihan masak sama dia, agar jika hal ini terjadi lagi, ada kamu yang siap membuatkan makanan untukku," ujar Ferian.

"Kan ada Ibu sama Mbak Dini, kenapa nggak minta tolong saja?" sahut Weni setengah berbisik.

"Ogah sekali aku memasakkan kamu, Wen. Kamu perempuan dan tugas istri membuatkan makanan untuk suaminya!"

Weni menatap tak suka kepada Dini, sedangkan perempuan itu balas menatapnya dengan tatapan menantang. Weni berdecak, ia menghentakkan kakinya kesal dan duduk di meja makan. Ferian menyusulnya. Lelaki itu tampak berdiri ragu di depan pintu kamar Mutia.

Weni memberikan isyarat kepada suaminya akan segera mengetuk pintu tersebut dan membangunkannya Mutia. Beberapa kali Ferian membunyikan pintu kayu di hadapannya, tidak ada respon yang ia dapat. Namun ketika dia akan mengetuknya lagi, pintu terbuka dan menampilkan Mutia yang hendak keluar kamar dengan wajah pucat.

"Ada apa, Mas?" tanya Mutia lirih. Ia menatap wajah suaminya dari jarak yang cukup dekat membuat wajah tampan Ferian terlihat jelas olehnya.

"Bisakah kamu membuatkanku makanan?"

Mutia mengangguk. Ia berjalan pelan menuju dapur dan memulai mengambil beberapa bahan makanan untuk diolah.

"Mas, mau makan sama tumis kangkung? Sayurannya tersisa kangkung saja, untuk lauk nanti kugorengkan ayam, ya?"

Ferian mengiyakan. Perutnya sudah sangat lapar dan ia akan memakan apa pun masakan yang dibuat oleh Mutia. Sesungguhnya Ferian sangat menyukai masakan Mutia karena sesuai dengan seleranya. Bila dirasakan lebih dalam, masakan Mutia hampir sama dengan masakan ibunya. Andai saja Weni mau belajar memasak, mungkin istrinya itu juga akan bisa memasak seperti Mutia.

Masakan Mutia telah siap, perempuan itu membawa sepiring tumis kangkung dan ayam goreng ke meja makan. Tidak lupa mengambilkan nasi untuk Ferian. Mutia ikut duduk di hadapan suaminya, dia mengambil makanan untuk mengisi perutnya yang mulai lapar.

"Kamu ngapain ikut duduk di sini?" tanya Weni ketus.

"Aku mau makan, seharian ini aku belum makan," ujar Muria.

"Tidak boleh! Kamu makan di dapur saja sana! Makanan ini hanya untukku dan Mas Ferian."

"Tapi bahan makanan di kulkas sudah habis."

"Bukan urusanku!"

Weni mengambil piring milik Mutia dan memakannya. Mutia hanya bisa memandang perempuan itu dengan tatapan sedih. Ia melirik ke arah suaminya yang hanya bisa diam melihat sikap istri keduanya.

Dini datang lantas mengambil piring Weni, menyerahkannya kepada Mutia. "Ini makanan Mutia karena dia yang memasaknya. Kamu kalau mau makan, buatlah sendiri!" Dini menatap marah kepada Weni yang protes. Seperti biasanya, perempuan itu mengadu kepada Ferian.

"Mas!" ujar Weni berdramatis.

Ferian mengembuskan napas kasar. "Bisa tidak kamu diam saja, Yang? Setiap hari aku mendengar teriakanmu itu membuatku terganggu. Aku hanya ingin makan dengan tenang, oke?"

Dini tersenyum miring melihat respon Ferian yang menasihati istrinya.

"Kamu nggak membelaku, Mas? Aku ini istrimu!"

"Mutia juga istri Ferian, ingat?" Dini kembali mengingatkan. "Mutia berhak makan karena dia sedang sakit. Kamu yang sehat malah malas-malasan, sukanya menindas. Beginilah kalau sejak kecil selalu dimanja oleh keluarganya, bebas bergaul dengan pria mana pun atau malah tidur bersama. Cih!"

Wajah Weni memerah menahan marah. Ia sangat benci kepada Dini yang sejak awal menunjukkan ketidaksukaannya. Ia mengepalkan tangannya kuat, berniat membalas semua perkataan Dini yang menyebalkan, namun Astuti lebih cepat melerai.

"Hentikan, Dini! Ini sudah malam, jangan bertengkar lagi."

Ferian diam melihat ibunya marah. Ia lantas menyuruh Weni untuk berbagi makanan dengan Mutia. Weni menerima dengan pandangan tidak suka. Mengingat dia tidak bisa menahan lapar, akhirnya dia pasrah dan berbagi makanan dengan Mutia.

Bersambung ...